Naskah Tanjung Tanah adalah kitab undang-undang yang dikeluarkan oleh kerajaan Melayu pada abad ke-14. Naskah ini merupakan naskah Melayu yang tertua, dan juga satu-satunya yang tertulis dalam aksara Sumatera Kuno yang juga disebut sebagai aksara Malayu. Selain bahasa Melayu, naskah ini juga menggunakan bahasa Sanskerta.[1]

Naskah Tanjung Tanah dibersihkan secara simbolis dalam acara kenduri sko di Tanjung Tanah pada 13 Mei 2022

Penemuan

sunting

Naskah ini ditemukan di Tanjung Tanah di Mendapo Seleman (terletak sekitar 15 kilometer dari Sungai Penuh, Kerinci) dan masih disimpan sampai sekarang oleh pemiliknya. Naskah Tanjung Tanah sebetulnya ditemukan dua kali, pertama pada tahun 1941 oleh Petrus Voorhoeve yang pada saat itu menjabat sebagai taal ambtenar (pegawai bahasa pada zaman kolonial) untuk wilayah Sumatra dan kemudian didaftarkan oleh sekretarisnya dengan nomor 252 di dalam Tambo Kerinci.[2][3] Penemuan kedua oleh Uli Kozok pada tahun 2002.[1] Kozok lalu membawa sampel naskah ini ke Wellington, Selandia Baru, untuk diperiksa di laboratorium menggunakan metode penanggalan radiokarbon. Hasil pengujian ini memperkuat dugaan Kozok bahwa naskah Tanjung Tanah adalah naskah Melayu yang tertua.

Tarikh penangggalan naskah secara penanggalan radiokarbon diperoleh kisaran antara tahun 1304 dan 1436, dan berdasarkan data sejarah kemungkinan ditulis sebelum tahun 1397. Mengingat bahwa pada periode tersebut, yaitu antara 1377 dan 1397, ditandai oleh ketidakpastian dan diwarnai peperangan, dapat diduga bahwa naskah ini malahan ditulis sebelum tahun 1377, yaitu selama masa pemerintahan Adityawarman.[4]

Bahan Naskah Tanjung Tanah

sunting

Naskah Tanjung Tanah ini telah diteliti oleh Tokyo Restoration & Conservation Center pada Oktober 2004, dan hasilnya menunjukan bahwa bahannya adalah daluang (Broussonetia papyrifera (L.) L'Hér. ex Vent).[5][6] Daluang, juga disebut dluwang atau daluwang, merupakan salah satu bahan yang telah digunakan sejak dahulu sebagai kain (tapa) atau sebagai bahan tulis.[7] Pemeriksaan mikroskop juga menunjukkan bahwa naskah ini tidak diolesi dengan kanji, dan pada seratnya masih terdapat pektin serta hemiselulosa. Biasanya serat kayu yang utuh selalu dibalut oleh serat larut pektin dan hemiselulosa. Pada proses pemurnian kulit kayu daluang untuk digunakan menjadi bahan tulis, kadar kedua hidrat arang biasanya menyusut sehingga tinggal serat murni. Adanya kadar pektin serta hemiselulosa dalam sampel naskah Tanjung Tanah menjadi indikator bahwa proses pembuatan naskah termasuk sederhana. Di samping itu, permukaan daluang Tanjung Tanah juga termasuk kasar dibandingkan dengan naskah daluang lainnya yang diperiksa sebagai bahan pembandingnya.[4]

Analisis radiokarbon

sunting

Sampel kecil yang dengan izin pemilik naskah Tanjung Tanah diambil dari salah satu halaman yang kosong (yang tidak mengandung tulisan), dikirim ke Rafter Radiocarbon Laboratory di Wellington, Selandia Baru,[4] untuk dianalisis dengan menggunakan spektrometer pemercepat masa, accelerator mass spectrometry (AMS).[8] AMS dapat disebut terobosan baru dalam metode pengukuran radiokarbon karena memungkinan analisis radiokarbon pada sampel yang sangat kecil volumenya. Dengan menggunakan spektrometer, akurasi penentuan umur menjadi semakin tingi karena metode tersebut mampu melacak unsur C-14 dari bahan uji coba yang amat kecil. Analisis sampel naskah Tanjung Tanah yang diadakan di Laboratorium Rafter menghasilkan umur radiokarbon 553 ± 40 tahun before present (BP) yang sama dengan tahun 1397 M ± 40 tahun (1357 – 1437 M) karena tahun 1950 dianggap sebagai present — (sesuai dengan ketentuan konvensi yang berlaku). Akan tetapi umur yang konvensional tersebut tidak persis sama dengan umur yang sebenarnya karena waktu paruh karbon-14 adalah 5.730 tahun. Dimana waktu paruh adalah waktu yang diperlukan untuk meluruhkan setengah dari inti atom. Artinya apabila proses peluruhan dimulai pada satu kilogram material radioaktif, material tersebut akan luruh menjadi setengah kilogram dari unsur tersebut. Selanjutnya setengah kilogram material tersebut akan menjadi setengahnya lagi setelah waktu paruhnya dan seterusnya. Setelah memperhatikan faktor-faktor yang memengaruhi karbon-14 dan selanjutnya penye¬suaian dilakukan dengan menggunakan kalibrasi INTCAL98.[9] Setelah diadakan kalibrasi maka terdapat dua kemungkinan tentang umur naskah Tanjung Tanah: Dengan probabilitas 95,4% naskah Tanjung Tanah jatuh pada kurun waktu 1304 dan 1370 M (44,3%), atau antara tahun 1380 dan 1436 M (51,7%). Persentase yang di kurung adalah distribusi probabilitas yang untuk kedua kurun waktu hampir sama sehingga kita harus menerima kenyataan bahwa penanggalan tidak dapat diadakan dengan sangat tepat. Namun jelas bahwa pohon yang digunakan untuk menghasilkan kertas daluang ditebang antara tahun 1304 dan 1436 Masehi.

Naskah Kitab Undang-Undang Tanjung Tanah

sunting

Transliterasi naskah Tanjung Tanah[4] telah disajikan dalam dua versi, yaitu transliterasi kritis dan transliterasi diplomatis. Transliterasi kritis merupakan salinan teliti secara huruf demi huruf, tanda demi tanda, sedapatnya mencerminkan setiap ciri atau kekhususan teks asli. Sedangkan transliterasi diplomatis yang merupakan salinan luwes yang bertujuan memperkirakan bagaimana bacaan teks tersebut sebagaimana yang dimaksudkan.

Arti beberapa kata

sunting

Beberapa kata-kata yang terdapat di dalam UU Tanjung Tanah, jika ditelusuri masih digunakan oleh masyarakat yang berada di sekitar kawasan tersebut, di Sumatera yakni di wilayah Kerinci, di tempat ditemukannya Naskah undang-undang ini, serta wilayah yang berdekatan dengan Kerinci (termasuk Minangkabau):

  • Anjing Mawu:[4] Kata mawu sampai saat ini masih digunakan oleh Masyarakat Kabupaten Solok, Sumatera Barat dalam percakapan sehari-hari untuk binatang yang telah terlatih dengan baik[10]. Boleh jadi masyarakat Kerinci masih menggunakan kata-kata tersebut untuk pengertian yang sama. Anjing mawu artinya anjing terlatih. Burung mawu artinya burung peliharaan yang akan segera berbunyi jika kita bersiul. (Silakan rujuk Naskah UU Tanjung Tanah pada alih bahasa nomor 10). Jika merujuk kepada teks tersebut, jelas sekali anjing mawu berbeda dendanya dengan anjing biasa jika dicuri (maling). Denda untuk anjing mawu (terlatih) dua kali lipat (10 mas) dibandingkan anjing biasa (5 mas). Denda menggunakan emas ini masih lestari di kalangan masyarakat adat baik di kawasan Minangkabau[11] dan Masyarakat Adat di Kerinci [12].

Referensi

sunting
  1. ^ a b Kozok, U., (2004), The Tanjung Tanah code of law: The oldest extant Malay manuscript, Cambridge: St Catharine's College and the University Press.
  2. ^ Voorhoeve, Petrus, (1941), Tambo Kerinci, In Stukken uit Kerintji / verzameld door P. Voorhoeve. Leiden: KITLV Library.
  3. ^ Voorhoeve, Petrus, (1970), Kerintji Documents, Bijdragen tot de Taal- Land en Volkenkunde. 126: 369-399.
  4. ^ a b c d e Kozok, Uli, (2006), Kitab Undang-Undang Tanjung Tanah: Naskah Melayu yang Tertua, Jakarta: Yayasan Obor Indonesia, ISBN 979-461-603-6.
  5. ^ www.rarefruit.org Broussonetia papyrifera Diarsipkan 2010-12-19 di Wayback Machine. (diakses pada 15 Juli 2010)
  6. ^ plants.usda.gov Broussonetia papyrifera (diakses pada 15 Juli 2010)
  7. ^ Teygeler, René, (1995), Dluwang, van bast tot boek, Den Haag: Koninklijke Bibliotheek.
  8. ^ Budzikiewicz H., Grigsby R.D. (2006). "Mass spectrometry and isotopes: a century of research and discussion". Mass spectrometry reviews. 25 (1): 146–57. doi:10.1002/mas.20061. PMID 16134128. 
  9. ^ Stuiver M., P.J. Reimer, E. Bard, J.W. Beck, G.S. Burr, K.A. Hughen, B. Kromer, G. McCormac, J. van der Plicht and M. Spurk., (1998), INTCAL98 Radiocarbon age calibration, 24000-0 cal BP, Radiocarbon, 40:1041-1083.
  10. ^ http://limpato.blogspot.com/2024/04/anjing-mawu-anjing-terlatih-dan-denda.html
  11. ^ https://www.researchgate.net/publication/334278276_Undang_dan_Pelembagaan_Mahkamah_Adat_Minangkabau
  12. ^ http://tasman1959.blogspot.com/2014/09/membongkar-adat-lamo-pusako-usang-27.html

Bacaan lanjut

sunting
  • Kozok, Uli, (2006), Kitab Undang-Undang Tanjung Tanah: Naskah Melayu yang Tertua, Jakarta: Yayasan Obor Indonesia, ISBN 979-461-603-6.
  • ulikozok.com Alih Bahasa