Kitab Kematian

teks pemakaman Mesir kuno


Kitab Kematian (Bahasa Mesir:𓂋𓏤𓈒 𓏌𓏤 𓉐𓂋 𓏏𓂻 𓅓 𓉔𓂋 𓅱 𓇳𓏤,bahasa Inggris: Book of the Dead) adalah sebuah teks pemakaman Mesir kuno, yang digunakan dari awal Kerajaan Baru (sekitar 1550 SM) hingga sekitar 50 SM.[1] Nama asli Mesir untuk teks tersebut, ditransliterasikan: rw nw prt m hrw[2] yang berarti Kitab Keberangkatan Setiap Hari (Book of Coming Forth by Day).[3][a] Terjemahan lain adalah Kitab Menuju Cahaya (Book of Emerging Forth into the Light). "Kitab" adalah istilah paling dekat untuk menggambarkan koleksi teks-teks lepas tersebut, yang terdiri dari sejumlah mantra magis yang dimaksudkan untuk memandu perjalanan orang yang meninggal melewati Duat, atau dunia bawah, dan ke alam baka serta ditulis oleh banyak pendeta selama sekitar 1000 tahun.

Kitab Kematian
Anch dan Sunwheel dari Kitab Kematian, awalnya dibuat oleh penulis Mesir Ani.
Judul aslirw nw prt m hrw
NegaraMesir Kuno
BahasaBahasa Mesir Kuno
SubjekDuat
Ritual pemakaman
Tanggal terbit
sekitar 1550 SM
Jenis mediaPapirus
D21
Z1
N33A
W24
Z1
O1
D21
X1
D54
G17O4
D21
G43N5
Z1

rw nw prt m hrw
Kitab Keberangkatan Setiap Hari
Era: Kerajaan Baru
(1550–1069 BC)
Hieroglif Mesir

Kitab Kematian merupakan bagian dari tradisi teks pemakaman yang mencakup Teks Piramida dan Teks Peti Mati, yang dituliskan pada objek, bukan papirus. Beberapa mantra diambil dari karya-karya yang lebih tua dan berasal dari milenium ke-3 SM. Mantra lainnya disusun kemudian pada Periode Menengah Ketiga (abad ke 11 hingga 7 SM). Beberapa mantra yang menyusun kitab tersebut masih terus diukir pada dinding makam dan sarcophagi, seperti mantra asalnya. Kitab Kematian diletakkan dalam peti mati atau ruang pemakaman orang yang meninggal.

Tidak ada Kitab Kematian yang tunggal atau resmi. Papirus yang masih bertahan berisi beragam pilihan teks keagamaan dan magis serta sangat bervariasi dalam ilustrasinya. Beberapa orang tampaknya memesan salinan Kitab Kematian mereka sendiri, mungkin dengan pemilihan mantra yang mereka anggap paling penting demi pencapaian mereka di alam baka. Kitab Kematian biasanya ditulis dalam aksara hieroglif atau hieratik pada gulungan papirus, dan sering diilustrasikan dengan sketsa yang menggambarkan mendiang dan perjalanannya ke alam baka.

Perkembangan

sunting
 
Bagian dari Teks Piramida, pendahulu Kitab Kematian, terukir di makam Teti

Kitab Kematian dikembangkan dari tradisi manuskrip pemakaman yang berasal dari Kerajaan Lama Mesir. Teks pemakaman pertama adalah Teks Piramida, digunakan untuk pertama kalinya dalam Piramida Raja Unas dari dinasti kelima, sekitar 2400 SM.[4] Teks-teks ini diukir di dinding ruang pemakaman di dalam piramida, dan secara eksklusif hanya untuk Firaun (sejak dinasti keenam, juga untuk Ratu). Teks Piramida ditulis dengan gaya hieroglif yang tidak biasa; banyak hieroglif yang mewakili manusia atau hewan yang tidak lengkap atau digambar terpotong-potong, kemungkinan besar untuk mencegah mereka merusak jasad firaun yang meninggal.[5] Tujuan dari Teks Piramida adalah untuk membantu agar para Raja yang telah meninggal memiliki tempat di kalangan dewa-dewa, khususnya untuk menyatukannya kembali dengan ayah sucinya Ra; pada periode awal sejarah Mesir ini, kehidupan alam baka dianggap berada di langit, bukan dunia bawah yang dijelaskan dalam Kitab Kematian.[5] Menjelang akhir Kerajaan Lama, Teks Piramida tidak lagi menjadi hak istimewa pihak kerajaan, sehingga juga diadopsi oleh gubernur regional dan pejabat tinggi lainnya.

Pada Kerajaan Pertengahan, muncul jenis teks pemakaman baru, Teks Peti Mati. Teks Peti Mati menggunakan versi bahasa yang lebih baru, mantra-mantra baru, serta menyertakan ilustrasi untuk pertama kalinya. Teks Peti Mati umumnya ditulis pada permukaan bagian dalam peti mati, meskipun kadang-kadang ditemukan di dinding makam atau papirus.[5] Teks Peti Mati tersedia untuk orang-orang kaya, sehingga meningkatkan jumlah orang yang bisa berharap memiliki kehidupan lain di alam baka; sebuah proses yang digambarkan sebagai "demokratisasi alam baka".[6]

Kitab Kematian pertama kali dikembangkan di Thebes pada awal Periode Menengah Kedua, sekitar 1700 SM. Penampakan mantra pertama yang diketahui terkandung dalam Kitab Kematian adalah dari peti mati Ratu Mentuhotep, dari dinasti ke-13, di mana mantra-mantra baru dimasukkan bersama dengan bagian dari Teks Piramida dan Teks Peti Mati. Beberapa mantra yang diperkenalkan masa ini tampaknya memiliki asal yang lebih tua; misalnya dalam kasus mantra untuk mantra 30B, yang menyatakan bahwa itu ditemukan oleh Pangeran Hordjedef selama masa pemerintahan Raja Menkaure, ratusan tahun lebih awal dari catatan-catatan arkeologi.[7]

Selama dinasti ke-17, Kitab Kematian telah menyebar luas tidak hanya untuk anggota keluarga kerajaan, tetapi juga kepada para pejabat istana dan pejabat lainnya. Pada tahap ini, mantra-mantra umumnya ditulis pada kain linen yang melilit jasad, meskipun kadang-kadang juga ditemukan pada peti mati atau papirus.[3]

Selama Kerajaan Baru penggunaan Kitab Kematian berkembang dan menyebar lebih jauh. Mantra 125 yang terkenal, Penimbangan Jantung, muncul untuk pertama kalinya pada masa pemerintahan Hatshepsut dan Thutmose III, sekitar 1475 SM. Dari periode ini dan seterusnya, Kitab Kematian biasanya ditulis pada gulungan papirus, dan teksnya diilustrasikan dengan sketsa. Selama dinasti ke-19 khususnya, sketsa yang dibuat cenderung mewah, kadang-kadang dengan mengorbankan teks sekitarnya.[8]

Pada Periode Menengah Ketiga, Kitab Kematian mulai muncul dalam skrip hieratik, serta dalam hieroglif tradisional. Gulungan hieratik adalah versi yang lebih murah, kurang ilustrasi dengan hanya sketsa kecil pada prinsipnya, dan diproduksi dengan papirus yang lebih kecil. Pada saat yang sama, banyak penguburan menggunakan teks pemakaman tambahan, misalnya Amduat.[9]

Selama dinasti ke-25 dan ke-26, Kitab Kematian diperbarui, direvisi dan distandarkan. Mantra secara konsisten disortir dan diberi nomor untuk pertama kalinya. Versi standar ini yang sekarang dikenal sebagai Saite recension, oleh dinasti Saite (dinasti ke-26). Pada periode Akhir dan Ptolemaik, Kitab Kematian dipertahankan atas dasar revisi ini, meskipun semakin diringkas menjelang akhir periode Ptolemaik. Teks pemakaman baru kemudian muncul, termasuk Kitab Pernapasan dan Kitab Melintasi Keabadian. Penggunaan terakhir Kitab Kematian adalah pada abad ke-1 SM, meskipun beberapa motif artistik yang diilhami darinya masih digunakan pada zaman Romawi.[10]

 
Mantra 17, dalam Papirus Ani. Sketsa di atas menggambarkan, dari kiri ke kanan, dewa Huh sebagai representasi Laut; pintu gerbang ke alam Osiris; Mata Horus; sapi selestial Mehet-Weret; dan kepala manusia bangkit dari peti mati, dijaga oleh empat Putra-Putra Horus.[11]

Mantra

sunting

Kitab Kematian terdiri dari serangkaian teks individu yang disertai dengan ilustrasi. Sebagian besar sub-teksnya dimulai dengan kata ro, yang dapat berarti "mulut", "ucapan", "mantra", "ungkapan", "jampi", atau "sebuah bab dari sebuah buku". Ambiguitas ini mencerminkan kesamaan dalam pemikiran Mesir antara ucapan ritual dan kekuatan magis.[12] Dalam konteks Kitab Kematian, biasanya diterjemahkan sebagai "bab" atau "mantra". Dalam artikel ini, kata "mantra" digunakan.

Saat ini, sekitar 192 mantra sudah diketahui,[13] meskipun tidak ada satu manuskrip yang memuat semuanya. Mereka digunakan untuk berbagai tujuan. Beberapa diantaranya dimaksudkan untuk memberikan pengetahuan mistik untuk orang yang meninggal di alam baka, atau mungkin untuk mengidentifikasi mereka kepada para dewa: misalnya, mantra 17 adalah deskripsi yang tidak jelas dan panjang tentang dewa Atum.[14] Yang lainnya adalah mantra untuk memastikan bahwa elemen-elemen yang berbeda dari orang yang meninggal dijaga dan dipersatukan kembali, atau juga untuk memberikan kontrol atas dunia di sekelilingnya. Yang lain lagi melindungi mendiang dari kekuatan musuh atau membimbingnya melewati berbagai rintangan dunia bawah. Yang paling terkenal adalah dua mantra yang mengacu pada pengadilan dalam ritual Penimbangan Jantung.

Mantra 26-30, dan terkadang mantra 6 dan 126, berhubungan dengan jantung dan ditorehkan pada scarab.[15]

Teks-teks dan gambar-gambar dari Kitab Kematian keduanya magis dan religius. Sihir adalah aktivitas yang sah seperti berdoa kepada para dewa, bahkan jika sihir itu bertujuan mempengaruhi dewa-dewa itu sendiri.[16] Memang, ada sedikit perbedaan bagi orang Mesir Kuno antara praktik magis dan religius.[17] Konsep sihir (heka) juga terkait erat dengan kata-kata lisan dan tertulis. Tindakan mengucapkan formula ritual adalah suatu tindakan penciptaan;[18] ada kesadaran bahwa tindakan dan pengucapan adalah satu dan hal yang sama.[17] Kekuatan magis kata-kata tersebut diperluas ke kata-kata tertulis. Orang Mesir percaya bahwa hieroglif itu merupakan penemuan dewa Thoth, dan hieroglif itu sendiri sangat kuat. Kata-kata tertulis menyampaikan kekuatan penuh dari mantra.[18] Hal ini efektif bahkan ketika teks dipersingkat atau dihilangkan, seperti yang sering terjadi dalam gulungan terakhir Kitab Kematian, terutama jika ada gambar yang menyertainya.[19] Orang Mesir juga percaya bahwa mengetahui nama sesuatu memberi mereka kekuasaan atasnya; dengan demikian, Kitab Kematian melengkapi pemiliknya dengan nama-nama mistik dari banyak entitas yang akan dia temui di alam baka, memberinya kekuasaan atas mereka.[20]

Mantra Kitab Kematian menggunakan berbagai teknik magis yang juga bisa digunakan di wilayah lain kehidupan Mesir. Sejumlah mantra untuk jimat magis, yang bisa melindungi mendiang dari bahaya. Selain digambarkan dalam papirus Kitab Kematian, mantra-mantra ini muncul pada jimat yang dibungkus dengan mumi.[16] Sihir setiap hari juga banyak menggunakan jimat-jimat. Barang-barang lain yang bersentuhan langsung dengan jasad di makam, seperti sandaran kepala, juga dianggap memiliki nilai amuletik.[21] Beberapa mantra juga merujuk pada kepercayaan Mesir tentang kekuatan penyembuhan magis pada air liur.[16]

Penyusunan

sunting

Hampir setiap Kitab Kematian itu unik, karena berisi campuran mantra yang berbeda yang diambil dari seluruh teks yang tersedia. Untuk sebagian besar sejarahnya kitab tersebut tidak memiliki susunan atau struktur yang pasti.[3] Bahkan, sejak studi awal Paul Barguet tahun 1967 tentang tema-tema umum di antara teks-teks yang berbeda,[22] para ahli Mesir menyimpulkan bahwa tidak ada struktur internal sama sekali.[23] Hanya dari periode Saite (dinasti ke-26) dan seterusnya ada urutan yang ditentukan.[24]

Kitab Kematian dari periode Saite cenderung mengatur Bab menjadi empat bagian:

  • Bab 1–16 Mendiang memasuki makam dan turun ke dunia bawah, dan jasadnya mendapatkan kembali kekuatan gerakan dan ucapannya.
  • Bab 17–63 Penjelasan asal dan tempat mitis para dewa. Mendiang dihidupkan kembali agar dia dapat bangkit, dilahirkan kembali, bersama matahari pagi
  • Bab 64–129 Mendiang berjalan melintasi langit di tabut matahari sebagai salah satu orang meninggal yang diberkati. Di malam hari, mendiang melakukan perjalanan ke dunia bawah untuk muncul di hadapan Osiris
  • Bab 130–189 Setelah dibuktikan kebenarannya, mendiang mengasumsikan kekuasaan di alam semesta sebagai salah satu dewa. Bagian ini juga mencakup berbagai bab tentang jimat pelindung, penyediaan makanan, dan tempat-tempat penting.[23]
 
Sebuah sketsa dalam Papirus Ani, dari Mantra 30B: "Mantra agar jantungnya tidak melawannya, dalam Domain para Dewa", yang berisi penggambaran ba dari mendiang

Konsep Mesir tentang kematian dan alam baka

sunting

Mantra dalam Kitab Kematian mencerminkan kepercayaan Mesir tentang sifat kematian dan alam baka, menjadikannya sebagai sumber informasi penting tentang kepercayaan Mesir untuk bidang ini.

Pengawetan

sunting

Menurut kepercayaan Mesir, salah satu aspek kematian adalah disintegrasi berbagai kheperu, atau bentuk keberadaan,[25] sehingga ritual pemakaman bertujuan untuk mengintegrasikan kembali berbagai aspek yang berbeda ini. Mumifikasi dilakukan untuk melestarikan dan mengubah tubuh jasmani menjadi sah, wujud yang diidealkan dengan aspek-aspek suci;[26] Kitab Kematian mengandung mantra-mantra yang bertujuan untuk melestarikan jasad mendiang, yang mungkin dibacakan selama proses mumifikasi.[b] Jantung, yang dianggap sebagai aspek yang mengandung kecerdasan dan ingatan, juga dilindungi dengan mantra, dan jika terjadi sesuatu pada jantung fisik, biasanya lazim mengubur permata scarab jantung bersama jasad sebagai penggantinya. ka, atau daya kehidupan, tetap di makam bersama jasadnya, dan membutuhkan penghidupan melalui persembahan makanan, air dan dupa. Jika para pendeta atau kerabat tidak memberikan persembahan ini, maka Mantra 105 akan memastikan bahwa ka terpuaskan.[27] Nama orang yang meninggal, yang merupakan individualitas mereka diperlukan untuk kekekalan, ditulis di beberapa tempat di seluruh Kitab, dan Mantra 25 memastikan mendiang agar mengingat namanya sendiri.[28] Ba adalah aspek kekuatan batin dari mendiang, digambarkan sebagai burung berkepala manusia, yang bisa "keluar tiap hari" dari makam ke dunia; Mantra 61 dan 89 berperan untuk melestarikannya.[29] Akhirnya, shut, atau wujud bayangan mendiang, dijaga oleh Mantra 91, 92 dan 188.[30] Jika semua aspek dari saeseorang ini dapat dilestarikan, diingat, dan dipuaskan, maka mendiang akan hidup dalam bentuk akh. Akh adalah roh yang diberkati dengan kekuatan gaib yang akan tinggal di antara para dewa.[31]

Alam baka

sunting

Rupa dan keadaan alam baka yang dialami orang yang meninggal sulit untuk ditentukan, terutama karena perbedaan tradisi dalam agama Mesir Kuno. Dalam Kitab Kematian, orang yang meninggal dibawa ke hadapan dewa Osiris, dewa yang hanya berada di alam bawah Duat. Ada juga mantra yang ditujukan untuk mengaktifkan ba atau akh orang yang meninggal untuk bergabung dengan Ra saat ia melakukan perjalanan melintasi langit di atas bahtera mataharinya, dan membantunya melawan Apep.[c] Selain persatuan dengan para dewa, Kitab Kematian juga menggambarkan orang yang meninggal yang hidup di "Padang Ilalang", tempat mirip surga di dunia nyata.[d] Padang Ilalang digambarkan sebagai versi dari Mesir yang subur dan berlimpah. Ada ladang, tanaman, lembu, manusia dan sungai. Orang yang meninggal diperlihatkan menghadap Ennead Agung, sekelompok dewa, serta kerabatnya sendiri. Meskipun Padang Ilalang digambarkan menyenangkan dan melimpah, jelas juga bahwa diperlukan pekerjaan manual, itulah sebabnya ritual pemakaman memasukkan banyak patung-patung kecil bernama shabti, atau ushebti. Patung-patung ini diukir dengan mantra, yang juga termasuk dalam Kitab Kematian, yang fungsinya adalah untuk melakukan pekerjaan manual apa pun yang dibutuhkan mendiang di alam baka.[32] Juga jelas bahwa orang yang meninggal tidak hanya pergi tempat di mana para dewa berdiam, tetapi juga memperoleh karakteristik suci itu sendiri. Oleh karena itu dalam Kitab Kematian nama mereka sering disebutkan sebagai "Osiris - [Nama]".

 
Dua 'mantra gerbang'. Di daftar atas, Ani dan istrinya menghadapi 'Tujuh pintu gerbang Rumah Osiris'. Di bawah, mereka menemukan sepuluh dari 21 'portal misterius Rumah Osiris di Padang Ilalang'. Semua dijaga oleh pelindung yang menakutkan.[33]

Sebagaimana yang digambarkan Kitab Kematian, jalan menuju alam baka penuh dengan kesulitan. Mendiang daharuskan untuk melewati serangkaian pintu gerbang, gua-gua dan gundukan yang dijaga oleh makhluk-makhluk gaib.[34] Entitas mengerikan ini dipersenjatai dengan pisau besar dan diilustrasikan dalam bentuk yang aneh, biasanya sebagai sosok manusia dengan kepala binatang atau kombinasi binatang buas yang berbeda. Nama-nama mereka—misalnya, "Dia yang hidup di antara ular" atau "Dia yang menari dengan darah"—sama anehnya. Makhluk-makhluk ini harus ditenangkan dengan pembacaan mantra yang tepat dalam Kitab Kematian; jika telah ditenangkan mereka tidak akan menimbulkan ancaman lebih lanjut, dan bahkan dapat menambah perlindungan kepada mendiang.[35] Trah lain dari makhluk gaib ini adalah 'para penjagal' yang membunuh orang yang sesat atas nama Osiris; Kitab Kematian mengajari pemiliknya untuk menghindari perhatian mereka.[36] Selain entitas-entitas gaib ini, ada juga ancaman dari hewan nyata atau gaib, termasuk buaya, ular, dan kumbang.[37]

 
Ritual Penimbangan Jantung, ditunjukkan dalam Kitab Kematian oleh Sesostris

Penghakiman

sunting

Jika semua rintangan Duat dapat diatasi, mendiang akan dinilai dalam ritual "Penimbangan Jantung", digambarkan dalam Mantra 125. Mendiang dibimbing oleh dewa Anubis ke hadapan Osiris. Di sana, mendiang bersumpah bahwa ia tidak melakukan dosa apa pun dari daftar 42 dosa,[38] membaca sebuah teks yang dikenal sebagai "Pengakuan Negatif". Kemudian jantung mendiang ditimbang pada skala terhadap dewi Maat, perwujudan kebenaran dan keadilan. Maat sering diwakili oleh bulu burung unta, tanda hieroglif untuk namanya.[39] Pada titik ini, ada risiko bahwa jantung mendiang akan bersaksi dan mengungkapkan dosa yang dilakukan dalam kehidupan; Mantra 30B berguna untuk mencegah hal ini. Jika timbangannya seimbang, ini berarti mendiang telah menjalani hidup yang baik. Anubis akan membawanya ke Osiris dan mereka akan menemukan tempat mereka di alam baka, menjadi maa-kheru, yang berarti "dibuktikan kebenarannya" atau "kebenaran suara".[40] Jika jantung tidak seimbang dengan Maat, maka hewan buas menakutkan lainnya yang disebut Ammit, sang Pelahap, siap untuk menelannya dan menyebabkan alam baka mendiang berakhir lebih awal dan tidak menyenangkan.[41]

Adegan ini luar biasa tidak hanya karena kejelasannya tetapi juga karena ini adalah salah satu dari beberapa bagian Kitab Kematian dengan isi moral yang eksplisit. Penghakiman mendiang dan Pengakuan Negatif adalah representasi dari kode moral konvensional yang mengatur masyarakat Mesir. Untuk setiap "Saya tidak ..." dalam Pengakuan Negatif, adalah mungkin untuk mengeja "Thou shalt not" yang tidak diekspresikan.[42] Sementara Sepuluh Perintah etika Judeo-Kristen adalah aturan perilaku yang ditetapkan oleh wahyu ilahi, Pengakuan Negatif lebih merupakan penegakan ilahi moralitas sehari-hari.[43] Pandangan berbeda-beda di kalangan Ahli Mesir tentang seberapa jauh Pengakuan Negatif merepresentasikan moralitas absolut, dengan kemurnian etis yang diperlukan untuk kemajuan di alam baka. John Taylor mencatat bahwa kata-kata dalam Mantra 30B dan 125 menunjukkan pendekatan pragmatis terhadap moralitas; dengan mencegah jantung untuk menentangnya dengan kebenaran yang tidak menyenangkan, tampaknya mendiang bisa masuk ke alam baka bahkan jika hidup mereka belum sepenuhnya bersih.[41] Ogden Goelet mengatakan "tanpa adanya teladan dan moral, tidak ada harapan untuk kehidupan alam baka yang sukses",[42] sementara Geraldine Pinch menunjukkan bahwa Pengakuan Negatif pada dasarnya mirip dengan mantra yang melindungi dari setan, dan bahwa keberhasilan Penimbangan Jantung bergantung pada pengetahuan mistik tentang nama-nama hakim yang sebenarnya dan bukan pada perilaku moral mendiang.[44]

 
Bagian dari Kitab Kematian Pinedjem II. Teksnya dalam hieratik, kecuali untuk hieroglif dalam sketsa. Terlihat pemakaian pigmen merah, juga sambungan antara papirus.

Pembuatan Kitab Kematian

sunting
 
Penampakan Papirus Ani, dengan teks hieroglif kursif

Sebuah papirus Kitab Kematian disusun oleh para juru tulis sesuai pesanan. Mereka ini ditugaskan oleh orang-orang yang sedang mempersiapkan pemakaman mereka sendiri, atau oleh kerabat seseorang yang baru saja meninggal. Kitab ini merupakan barang mahal; karena pemesan menghargainya sebesar satu deben perak untuk satu gulungan Kitab Kematian,[45] jumlah yang mungkin setara dengan setengah gaji tahunan seorang pekerja.[46] Papirus sendiri harganya mahal, karena ada banyak contoh penggunaan bekasnya sebagai dokumen sehari-hari, membuat palimpsests. Dalam suatu kasus, Kitab Kematian terkadang juga ditulis di papirus bekas.[47]

Sebagian besar pemilik Kitab Kematian jelas merupakan bagian dari kelas sosial elit; mereka awalnya tersedia hanya untuk keluarga kerajaan, tetapi kemudian ditemukan di makam para juru tulis, pendeta, dan pejabat. Sebagian besar pemiliknya adalah laki-laki, dan umumnya sketsa di dalamnya juga memuat istri si pemilik. Pada awal sejarah Kitab Kematian, terdapat perbandingan sekitar 10 salinan milik laki-laki untuk setiap satu salinan milik wanita. Namun, selama Periode Menengah Ketiga, 2/3 milik wanita; dan wanita memiliki kira-kira sepertiga dari papirus hieratik pada Periode Akhir dan Ptolemaik.[48]

Ukuran dari Kitab Kematian bisa sangat bervariasi; yang terpanjang adalah 40m sedangkan paling kecil seukuran 1m. Kitab tersusun dari lembaran papirus yang disatukan, masing-masing papirus bervariasi dari 15 cm hingga 45 cm. Para juru tulis yang mengerjakan papirus Kitab Kematian lebih memperhatikan pekerjaan mereka dibanding mengerjakan teks keduniawian; ketelitian juga dilakukan dalam membingkai teks pada tepi-tepinya, dan menghindari penulisan pada sambungan antar lembaran. Kata-kata peret em heru, atau 'datang hari demi hari' terkadang muncul di balik tepi luar, mungkin dijadikan sebagai label.[47]

Kitab-kitab biasanya dibuat di sanggar kerja pemakaman, dengan menyisakan ruang agar nama mendiang dapat ditulis kemudian.[49] Misalnya, dalam Papirus Ani, nama "Ani" muncul di bagian atas atau bawah kolom, atau segera mengikuti rubrik yang memperkenalkannya sebagai pembicara dalam sebuah blok teks; namanya muncul dalam tulisan tangan yang berbeda pada sisa naskah, dan di beberapa tempat terdapat kesalahan pengejaan atau dihilangkan seluruhnya.[46]

Teks Kitab Kematian Kerajaan Baru biasanya ditulis dalam hieroglif kursif, kebanyakan dari kiri ke kanan, tetapi juga kadang-kadang dari kanan ke kiri. Hieroglif berada di kolom yang dipisahkan oleh garis hitam – pengaturan yang serupa dengan hieroglif yang diukir di dinding makam atau monumen. Ilustrasi ditempatkan dalam bingkai di atas, di bawah, atau di antara kolom teks. Ilustrasi terbesar mengisi satu halaman penuh papirus.[50]

 
Kitab Kematian Goldworker of Amun, Sobekmose, 31.1777e, Brooklyn Museum

Dari Dinasti ke-21 dan seterusnya, ada lebih banyak salinan kitab yang dibuat dengan tulisan hieratik. Kaligrafinya serupa dengan manuskrip hieratik Kerajaan Baru lainnya; teks ditulis dengan garis horizontal lebar (sering kali lebar garis sebanding dengan lembaran papirus). Kadang-kadang Kitab Kematian hieratik berisi keterangan dalam hieroglif. Teks Kitab Kematian ditulis dengan tinta hitam dan merah, baik pada tulisan hieroglif atau hieratik. Sebagian besar teks berwarna hitam, dengan tinta merah yang digunakan untuk judul mantra, baigan pembuka dan penutup mantra, instruksi untuk melakukan mantra dengan benar dalam ritual, dan juga untuk nama-nama makhluk berbahaya seperti Apep.[51] Tinta hitam yang digunakan berbasis karbon, dan tinta merah dengan oker, yang dicampur dengan air.[52]

Gaya dan sifat dari sketsa yang digunakan untuk mengilustrasikan Kitab Kematian sangat bervariasi. Beberapa mengandung ilustrasi warna mewah, bahkan memanfaatkan daun emas. Yang lain hanya memuat gambar garis, atau satu ilustrasi sederhana pada bagian pembukaan.[53]

Papirus Kitab Kematian kebanyakan merupakan karya dari beberapa juru tulis dan seniman berbeda yang karyanya dilekatkan bersama-sama. membedakan gaya penulisan beberapa Biasanya mungkin untuk membedakan gaya penulisan beberapa juru tulis pada manuskrip tertentu, bahkan ketika naskahnya lebih pendek.[51] Teks dan ilustrasinya dibuat oleh juru tulis yang berbeda; ada beberapa Kitab di mana teksnya selesai tetapi ilustrasinya dibiarkan kosong.[54]

 
Karl Richard Lepsius, penerjemah pertama dari manuskrip lengkap Kitab Kematian.

Penemuan, penerjemahan, interpretasi dan pelestarian

sunting

Keberadaan Kitab Kematian sudah diketahui sejak Abad Pertengahan, jauh sebelum isinya dapat dipahami. Karena ditemukan di makam, jelas bahwa temanya adalah religius, dan ini menyebabkan kesalahpahaman yang meluas bahwa Kitab Kematian setara dengan Alkitab atau Al-Qur'an.[55]

Pada tahun 1842 Karl Richard Lepsius menerbitkan terjemahan manuskrip bertanggal era Ptolemaik dan menciptakan nama "Kitab Kematian" (das Todtenbuch). Dia juga memperkenalkan sistem penomoran mantra yang masih digunakan, mengidentifikasi 165 mantra yang berbeda.[13] Lepsius mempromosikan gagasan tentang edisi komparatif Kitab Kematian, dari semua naskah yang relevan. Proyek ini dilakukan oleh Édouard Naville, dimulai pada tahun 1875 dan selesai pada tahun 1886, menghasilkan karya tiga volume termasuk pemilihan sketsa untuk masing-masing dari 186 mantra yang digunakannya, variasi teks yang lebih signifikan dan komentar untuk masing-masing mantra. Pada tahun 1867, Samuel Birch dari British Museum menerbitkan terjemahan bahasa Inggris pertama yang ekstensif.[56] Pada 1876 ia menerbitkan salinan fotografis Papirus Nebseny.[57]

Karya E. A. Wallis Budge, pengganti Birch di British Museum, masih beredar luas - termasuk edisi hieroglif dan terjemahan bahasa Inggris Papirus Ani, meskipun yang terakhir sekarang dianggap tidak akurat dan ketinggalan zaman.[58] Terjemahan lebih baru dalam bahasa Inggris telah diterbitkan oleh T. G. Allen (1974) dan Raymond O. Faulkner (1972).[59] Karena lebih banyak analisis telah dilakukan pada Kitab Kematian, lebih banyak mantra telah diidentifikasi, dan totalnya sekarang mencapai 192.[13]

Pada 1970-an, Ursula Rößler-Köhler dari Universitas Bonn memulai kelompok kerja untuk pengembangan sejarah teks Kitab Kematian. Kelompok kerja ini kemudian menerima sponsor dari negara Jerman, North Rhine-Westphalia dan Yayasan Penelitian Jerman, pada tahun 2004 berada di bawah naungan Akademi Ilmu Pengetahuan dan Seni Jerman. Kini, Proyek Kitab Kematian ini memiliki basis data dokumentasi dan fotografi yang mencakup 80% salinan dan fragmen dari korpus teks Kitab Kematian, dan menyediakan bahan-bahan bagi Ahli Mesir saat ini.[60] Bahan-bahan ini disimpan di Universitas Bonn, dengan banyak materi yang tersedia secara online.[61] Para ahli yang berafiliasi menulis serangkaian studi monografi, Studien zum Altägyptischen Totenbuch, bersama dengan seri yang menerbitkan manuskrip-manuskrip itu sendiri, Handschriften des Altägyptischen Totenbuches.[62] Keduanya dicetak oleh Harrassowitz Verlag. Orientverlag juga merilis serangkaian monograf terkait lainnya, Totenbuchtexte, berfokus pada analisis, perbandingan sinoptik, dan kritik tekstual.

Pengerjaan studi pada Kitab Kematian selalu menimbulkan masalah teknis karena kebutuhan untuk menyalin teks hieroglif yang sangat panjang, yang awalnya direproduksi dengan tangan, dengan bantuan kertas kalkir atau kamera lucida. Pada pertengahan abad ke-19, font hieroglif tersedia dan membuat reproduksi litograf dari manuskrip menjadi lebih layak. Pada saat ini, hieroglif dapat ditampilkan dalam perangkat lunak desktop publishing dan dikombinasikan dengan teknologi cetak digital, sehingga biaya penerbitan Kitab Kematian dapat berkurang. Namun, banyak dari materi asli yang disimpan di museum tetap tidak dipublikasikan.[63]

 
Lembaran dari Kitab Kematian, sekitar 1075 - 945 SM, 37.1699E, Brooklyn Museum

Kronologi

sunting
  • sekitar 3150 SM - Hieroglif yang diawetkan pertama, pada label kecil di makam raja (di makam U-j) di Abydos
  • sekitar 3000 SM - Awal dari dinasti raja Mesir kuno yang dinomori
  • sekitar 2345 SM - Piramida kerajaan pertama, dari Raja Unas, mengandung Teks Piramida, yang terukir (hanya ditujukan untuk raja) dan merupakan basis literatur pemakaman di mana Kitab Kematian akhirnya dikembangkan
  • sekitar 2100 SM - Teks Peti Mati Pertama, pengembangan dari Teks Piramida dan sesekali dilukis pada peti mati rakyat jelata. Banyak mantra Kitab Kematian berasal dari teks ini
  • sekitar 1600 SM - Mantra paling awal dari Kitab Kematian, di peti mati Ratu Menthuhotep, keturunan raja dari Kerajaan Baru
  • sekitar 1550 SM - Sejak saat ini hingga permulaan Kerajaan Baru, salinan Kitab Kematian pada papirus digunakan sebagai pengganti mantra yang ditulis di dinding makam.
  • sekitar 600 SM - Kira-kira saat urutan mantra-mantra distandarkan
  • Abad ke-2 M - Kemungkinan salinan terakhir Kitab Kematian yang dihasilkan, tetapi ini adalah era sejarah yang tidak terdokumentasi dengan baik
  • 313 M - Kekristenan menyebar ke Mesir
  • 1798 - Invasi Napoleon ke Mesir membawa kepentingan Eropa di Mesir kuno; 1799, Vivant Denon menyerahkan salinan Kitab Kematian
  • 1805 - J. Marc Cadet membuat publikasi pertama, pada 18 pelat dari Kitab Kematian, Copie figurée d'un Roleau de Papyrus trouvé à Thèbes dans un Thombeau des Rois, accompagnèe d'une notice descriptive, Paris, Levrault
  • 1822 - Jean-François Champollion membeberkan kunci untuk penguraian tulisan hieroglif Mesir kuno, yang kemudian dikembangkan dalam terbitannya kemudian, yang meluas setelah kematiannya pada tahun 1832.
  • 1842 - C.R. Lepsius mempublikasikan studi besar pertama mengenai Kitab Kematian, memulai penomoran mantra-mantra atau babnya, dan memperkenalkan nama "Kitab Kematian" (Book of the Dead).[64]

Catatan kaki

sunting
  1. ^ atau mungkin "Ucapan Keberangkatan Setiap Hari" (D'Auria, Lacovara & Roehrig 1988, hlm. 187).
  2. ^ Sebagai contoh, Mantra 154 (Taylor 2010, hlm. 161).
  3. ^ Mantra 100–2, 129–131 dan 133–136 (Taylor 2010, hlm. 239–241).
  4. ^ Mantra 109, 110 dan 149. (Taylor 2010, hlm. 238–240).

Kutipan

sunting
  1. ^ Taylor (2010), hlm. 54.
  2. ^ Allen (2000), hlm. 316.
  3. ^ a b c Taylor (2010), hlm. 55.
  4. ^ Faulkner (1994), hlm. 54.
  5. ^ a b c Taylor (2010), hlm. 54
  6. ^ D'Auria, Lacovara & Roehrig (1988), hlm. 187.
  7. ^ Taylor (2010), hlm. 34.
  8. ^ Taylor (2010), hlm. 35–7.
  9. ^ Taylor (2010), hlm. 57–8.
  10. ^ Taylor (2010), hlm. 59 60.
  11. ^ Taylor (2010), hlm. 51.
  12. ^ Faulkner (1994), hlm. 145; Taylor (2010), hlm. 29.
  13. ^ a b c Faulkner (1994), hlm. 18
  14. ^ Taylor (2010), hlm. 51, 56.
  15. ^ Hornung & Lorton (1999), hlm. 14
  16. ^ a b c Faulkner (1994), hlm. 146
  17. ^ a b Faulkner (1994), hlm. 145
  18. ^ a b Taylor (2010), hlm. 30
  19. ^ Taylor (2010), hlm. 32–3;; Faulkner (1994), hlm. 148.
  20. ^ Taylor (2010), hlm. 30–1.
  21. ^ Pinch (1994), hlm. 104–5.
  22. ^ Barguet (1967).
  23. ^ a b Faulkner (1994), hlm. 141
  24. ^ Taylor (2010), hlm. 58.
  25. ^ Taylor (2010), hlm. 16-17.
  26. ^ Taylor (2010), hlm. 17 & 20.
  27. ^ Taylor (2010), hlm. 163-4.
  28. ^ Taylor (2010), hlm. 163.
  29. ^ Taylor (2010), hlm. 17, 164.
  30. ^ Taylor (2010), hlm. 164.
  31. ^ Taylor (2010), hlm. 17.
  32. ^ Taylor (2010), hlm. 242–245.
  33. ^ Taylor (2010), hlm. 143.
  34. ^ Taylor (2010), hlm. 135.
  35. ^ Taylor (2010), hlm. 136–7.
  36. ^ Taylor (2010), hlm. 188.
  37. ^ Taylor (2010), hlm. 184.
  38. ^ Taylor (2010), hlm. 208.
  39. ^ Taylor (2010), hlm. 209.
  40. ^ Taylor (2010), hlm. 215.
  41. ^ a b Taylor (2010), hlm. 212.
  42. ^ a b Faulkner (1994), hlm. 14.
  43. ^ Taylor (2010), hlm. 204–5.
  44. ^ Pinch (1994), hlm. 155.
  45. ^ Taylor (2010), hlm. 62.
  46. ^ a b Faulkner (1994), hlm. 142
  47. ^ a b Taylor (2010), hlm. 264
  48. ^ Taylor (2010), hlm. 62–3.
  49. ^ Taylor (2010), hlm. 267.
  50. ^ Taylor (2010), hlm. 266.
  51. ^ a b Taylor (2010), hlm. 270.
  52. ^ Taylor (2010), hlm. 277.
  53. ^ Taylor (2010), hlm. 267–8.
  54. ^ Taylor (2010), hlm. 268.
  55. ^ Faulkner (1994), hlm. 13; Taylor (2010), hlmn. 288 9.
  56. ^ Bunsen (1867).
  57. ^ Taylor (2010), hlm. 289 92.
  58. ^ Taylor (2010), hlm. 291.
  59. ^ Hornung & Lorton (1999), hlm. 15–16.
  60. ^ Müller-Roth (2010), hlm. 190-191.
  61. ^ Totenbuch-Projekt (2018).
  62. ^ Müller-Roth (2010), hlm. 191.
  63. ^ Taylor (2010), hlm. 292.
  64. ^ Kemp (2007), hlm. 112–113.

Daftar pustaka

sunting
  • Allen, James P. (2000). Middle Egyptian – An Introduction to the Language and Culture of Hieroglyphs (dalam bahasa Inggris) (edisi ke-1). Cambridge University Press. ISBN 0-521-77483-7. 
  • Allen, Thomas George (1960). The Egyptian Book of the Dead: Documents in the Oriental Institute Museum at the University of Chicago (dalam bahasa Inggris). Chicago: University of Chicago Press. 
  • Allen, Thomas George (1974). "The Book of the Dead or Going Forth by Day. Ideas of the Ancient Egyptians Concerning the Hereafter as Expressed in Their Own Terms". SAOC (dalam bahasa Inggris). Chicago: University of Chicago Press. 37. 
  • Assmann, Jan (2005) [2001]. Death and Salvation in Ancient Egypt (dalam bahasa Inggris). Diterjemahkan oleh Lorton, David. Cornell University Press. ISBN 0-8014-4241-9. 
  • Barguet, Paul (1967). Le Livre des morts des anciens Égyptiens (dalam bahasa French). Paris: Éditions du Cerf. 
  • Bunsen, Christian C. J. (1867). Egypt's Place in Universal History: an Historical Investigation in Five Books (dalam bahasa Inggris). Vol. 5. London: Longmans, Green, and Company. 
  • D'Auria, Sue; Lacovara, Peter & Roehrig, Catharine H. (1988). Mummies and Magic: the Funerary Arts of Ancient Egypt (dalam bahasa Inggris). Boston: Museum of Fine Arts. ISBN 0-87846-307-0. 
  • Faulkner, Raymond O; Andrews, Carol, ed. (1972). The Ancient Egyptian Book of the Dead (dalam bahasa Inggris). Austin: University of Texas Press. 
  • Faulkner, Raymond O. (1994). von Dassow, Eva, ed. The Egyptian Book of the Dead, The Book of Going forth by Day. The First Authentic Presentation of the Complete Papyrus of Ani (dalam bahasa Inggris). San Francisco: Chronicle Books. 
  • Hornung, Erik; Lorton, D (1999). The Ancient Egyptian books of the Afterlife (dalam bahasa Inggris). Cornell University Press. ISBN 0-8014-8515-0. 
  • Kemp, Barry (2007). How to Read the Egyptian Book of the Dead (dalam bahasa Inggris). New York: Granta Publications. 
  • Lapp, G (1997). The Papyrus of Nu (Catalogue of Books of the Dead in the British Museum) (dalam bahasa Inggris). London: British Museum Press. 
  • Müller-Roth, Marcus (2010). "The Book of the Dead Project: Past, present and future". British Museum Studies in Ancient Egypt and Sudan (dalam bahasa Inggris). British Museum Press (15): 189–200. 
  • Niwinski, Andrzej (1989). Studies on the Illustrated Theban Funerary Papyri of the 11th and 10th Centuries B.C. (dalam bahasa Inggris). Freiburg im Breisgau: Universitätsverlag. ISBN 3727806133. 
  • Pinch, Geraldine (1994). Magic in Ancient Egypt (dalam bahasa Inggris). London: British Museum Press. ISBN 0-7141-0971-1. 
  • Taylor, John H., ed. (2010). Ancient Egyptian Book of the Dead: Journey through the afterlife (dalam bahasa Inggris). London: British Museum Press. ISBN 978-0-7141-1993-9. 
  • Totenbuch-Projekt (2018). "Das Altagyptische Totenbuch: Ein Digitales Textzeugenarchiv". totenbuch.awk.nrw.de (dalam bahasa Jerman). Diakses tanggal 2018-07-24. 

Bacaan selanjutnya

sunting

Pranala luar

sunting