Khaled Abou el Fadl

(Dialihkan dari Khaled Abou El Fadl)

Khaled Abou el Fadl adalah cendekiawan hukum Islam asal Kuwait keturunan Mesir. Ia bekerja sebagai profesor di UCLA School of Law, Amerika Serikat. Khaled dikenal sebagai salah satu tokoh Islam moderat yang menggunakan nilai-nilai moral dan kemanusiaan untuk membela hak-hak perempuan.

Keluarga

sunting

Nama lengkap dari Khaled Abou el-Fadhl adalah Khaled Medhiat Abou el-Fadhl.[1] Khaled Abou el Fadl lahir di Kuwait pada tanggal 23 Oktober 1963. Namun kedua orang tuanya berasal dari Mesir.[2] Nama ayahnya adalah Abou el Fadl dan nama ibunya adalah Afaf el-Nimr.[3] Kedua orang tuanya bekerja sebagai pengacara.[3] Orang tua dari Khaled Abou el Fadl merupakan muslim yang memiliki pemikiran yang terbuka.[4]

Pendidikan

sunting

Khaled Abou el Fadl menyelesaikan pendidikan dasar dan pendidikan menengah di Kuwait. Ayahnya juga memberikannya pengajaran mengenai permasalahan hukum khususnya hukum Islam. Khaled Abou el Fadl juga belajar menghafal Al-Qur'an mengikuti tradisi hafalan bangsa Arab. Ia telah menghafal Al-Qur'an sejak usia 12 tahun. Khaled Abou el Fadl  juga mengikuti kelas-kelas ilmu Al-Qur'an dan ilmu syariat Islam di Masjid Al-Azhar Kairo. Kelas yang paling sering diikutinya adalah kelas yang diajarkan oleh Muhammad al-Ghazâlî.[5] Khaled Abou el Fadl melanjutkan pendidikan tinggi di Mesir.[5]

Pekerjaan

sunting

Khaled Abou El Fadl bekerja sebagai profesor di bidang hukum Islam di UCLA School of Law, Amerika Serikat.[4] Pekerjaan Khaled Abou el-Fadl selalu dikaitkan dengan tradisi Islam klasik. Ia memiliki koleksi kitab-kitab klasik yang disimpannya pada perpustakaan pribadi yang ada di rumah maupun di kantor tempatnya bekerja.[6]

Perjuangan

sunting

Khaled Abou el-Fadl dikenal sebagai cendekiawan dalam bidang hukum Islam yang sering mengemukakan pandangannya ke publik. Ia banyak menulis tulisan ilmiah dalam bidang agama menggunakan pendekatan nilai-nilai moral dan kemanusiaan. Khaled Abou el-Fadl juga dikenal sebagai aktivis pembela hak-hak perempuan yang sangat menentang puritan Islam dan Wahabisme.[7]

Pemikiran

sunting

Pemaknaan kitab suci

sunting

Khaled Abou el Fadl menyatakan bahwa moral yang dimiliki oleh pembaca menentukan pemaknaannya atas sebuah teks suci. Suatu teks suci dapat dimaknai dengan sikap intoleran dan penuh kebencian ketika moral yang dimiliki oleh pemberi maknanya juga demikian.[8]

Moderasi

sunting

Khaled Abou El Fadl mengartikan moderasi sebagai sesuatu yang mirip sekaligus berbeda dengan modernis, progresif, dan reformis. Ia memilih menggunakan istilah moderasi dalam menggambarkan perbandingan kelompok dengan kelompok puritan. Ia menjadikan istilah moderasi sebagai perwakilan sikap yang dipilih oleh mayoritas umat Islam pada masa modern. Khaled Abou El Fadl tidak menggunakan istilah modernis karena menurutnya istilah ini berarti satu kelompok yang berusaha mengatasi tantangan permasalahan modernitas. Ia juga tidak menggunakan istilah progresif karena berkaitan dengan isu liberalisme, reformasi dan kemajuan. Menurutnya, progresivitas dan reformisme tidak mewakili mayoritas umat Islam dan hanya mewakili kaum elite.[9]

Khaled Abou El Fadl memilih moderasi dengan melandasinya dari tindakan Nabi Muhammad yang selalu memilih jalan tengah jika memiliki dua pilihan yang sifatnya ekstrem.[9] Ia kemudian mengartikan moderasi sebagai tindakan yang tidak ekstrem kanan maupun ekstrem kiri.[10]

Pembacaan hadis-hadis misoginis

sunting

Khaled Abou El Fadl mengemukakan enam tahapan dalam pembacaan hadis-hadis misoginis. Tahapan pertama adalah mengumpulkan hadis-hadis yang temanya sama. Tujuannya untuk mengetahui perbedaan dan variasi matan hadis dan penambahannya. Tahapan kedua adalah menganalisis redaksi matan pada teks. Fokus analisisnya pada struktur teks dan asosiasi simbolis. Tahapan ketiga adalah membandingkan hadis-hadis ini dengan Al-Qur'an dan hadis lainnya. Tahapan keempat adalah menganalisis konteks hadis sesuai dengan kondisi kehidupan Nabi Muhammad di lingkungan masyarakat Arab. Tahapan kelima adalah menganalisis kredibilitas dari Sahabat Nabi yang menjadi perawi pertama di tiap hadis. Tahapan keenam adalah mempertimbangkan pengaruh hadis secara teologis, moral dan sosial ketika diterapkan.[11]

Karya tulis

sunting

The Great Theft: Wrestling Islam From the Extremist

sunting

The Great Theft: Wrestling Islam From the Extremist membahas tentang paham salafiyah dan kekurangannya.[7]

Referensi

sunting
  1. ^ Ansori (2011). "Islam dan Demokrasi: Telaah atas Pemikiran Khaled Abou el-Fadl". Mukaddimah. 17 (2): 182. 
  2. ^ Raisul (2015). "Pemikiran Hukum Islam Khaled Abou el Fadl" (PDF). Mazahib: Jurnal Pemikiran Hukum Islam. XIV (2): 146. ISSN 1829-9067. 
  3. ^ a b Sofyan, Muhammad (2015). "Konsep Hermeneutika Otoritatif Khaled Abou el-Fadl". Kalam: Jurnal Studi Agama dan Pemikiran Islam. 9 (2): 375. 
  4. ^ a b Mubarok, Zaki (2017). "Hermeneutika Abou El Fadl Tentang Otoritas dalam Hukum Islam". Adzkiya: Jurnal Hukum dan Ekonomi Syariah. 05 (2): 334. 
  5. ^ a b Matswah, Akrimi (2013). "Hermeneutika Negosiatif Khaled M. Abou El Fadl terhadap Hadis Nabi" (PDF). ADDIN. 7 (2): 253. 
  6. ^ Ulya (2015). "Studi Kritis terhadap Ide Khaled Abou el-Fadl dalam Speaking in God's Name". Hermeneutik. 9 (1): 142. 
  7. ^ a b Fathony, Alvan (2019). "Hermeneutika Negosiatif Khaled Abou el-Fadl: Menangkal Otoritarianisme Tafsir Agama dalam Hukum Islam". At-Turāṡ: Jurnal Studi Keislaman. 6 (1): 121. 
  8. ^ Wahab, Abdul Jamil (2015). Harmoni di Negeri Seribu Agama: Membumikan Teologi dan Fikih Kerukunan. Jakarta: Penerbit PT Elex Media Komputindo. hlm. 3. ISBN 978-602-02-6974-0. 
  9. ^ a b Hasan, Mohammad (2017). Afandi, Moh., ed. Moderasi Islam Nusantara (Studi Konsep dan Metodologi) (PDF). Duta Media Publishing. hlm. 65. 
  10. ^ Munir, A., dkk. (2020). Sirajuddin, ed. Literasi Moderasi Beragama di Indonesia (PDF). Bengkulu: Penerbit CV. Zigie Utama. hlm. 35. ISBN 978-623-7558-45-3. 
  11. ^ Marhumah (2019). Hadis Misoginis: Resepsi, Negosiasi dan Pergolakan Pemikiran antara Tradisi dan Modernitas di Indonesia (PDF). Yogyakarta: Universitas Islam Negeri Sunan Kalijaga. hlm. 24–25.