Kesultanan Peureulak

kerajaan di Asia Tenggara
(Dialihkan dari Kerajaan Perlak)

Kesultanan Peureulak atau Kesultanan Perlak adalah kerajaan Islam di Indonesia dan merupakan kesultanan yang berkuasa di sekitar wilayah Peureulak, Aceh Timur, Aceh sekarang disebut-sebut antara tahun 840 sampai dengan tahun 1292. Peureulak atau Perlak terkenal sebagai suatu daerah penghasil kayu perlak, jenis kayu yang sangat bagus untuk pembuatan kapal, dan karenanya daerah ini dikenal dengan nama "Negeri Perlak".[1]

Kesultanan Peureulak
کسلطانن ڤورولق

Kesultanan Perlak
840–1292
Peta kerajaan Islam Peureulak dan Pasai.
Ibu kotaPureulak
Bahasa yang umum digunakanAceh, Melayu
Agama
Islam
PemerintahanMonarki
Sultan 
• 860–864
Sultan Alaiddin Syed Maulana Abdul Aziz Shah
• 1267–1292
Sultan Makhdum Alaiddin Malik Abdul Aziz Johan Berdaulat
Sejarah 
• Didirikan
840
• Digabungkan dengan Samudera Pasai
1292
Digantikan oleh
Samudera Pasai
Sekarang bagian dari Indonesia
Sunting kotak info
Sunting kotak info • Lihat • Bicara
Info templat
Bantuan penggunaan templat ini

Hasil alam dan posisinya yang strategis membuat Perlak berkembang sebagai pelabuhan niaga yang maju pada abad ke-8, disinggahi oleh kapal-kapal yang antara lain berasal dari Arab dan Persia. Hal ini membuat berkembangnya masyarakat Islam di daerah ini, terutama sebagai akibat perkawinan campur antara saudagar muslim dengan perempuan setempat.[2]

Geografis Kerajaan Peureulak

sunting

Selat Malaka sejak zaman dahulu terkenal sebagai jalur perdagangan utama Nusantara. Pedagang dari berbagai penjuru dunia berlayar melalui selat tersebut untuk melakukan perdagangan, dari selat tersebut masuk lah ajaran agama-agama baru ke Nusantara.

Sebelum berdirinya Kesultanan Malaka, pelayaran selat Malaka tidak melalui pantai Semenanjung Malaya, melainkan melalui sisi barat Selat Malaka menyisiri pantai-pantai Sumatera. Kota pelabuhan terpenting pada waktu itu adalah Melayu yang terletak di muara Sungai Batanghari, Jambi.

Pada bulan Desember-Maret di sebelah utara khatulistiwa bertiup lah angin musim timur laut, yang memungkinkan kapal-kapal dagang India dan negeri Cina berlayar ke perairan Selat Malaka. Kapal-kapal tersebut bertahan di perairan Selat Malaka hingga bulan Mei, sebelum mereka berlayar untuk kembali ke negeri masing-masing dengan memanfaatkan angin musim barat daya.[3]

Hasil bumi Sumatera turut meramaikan perdagangan internasional di Selat Malaka. Daerah penghasil lada yang utama pada waktu itu adalah Aceh. Menurut para pedagang Arab dan Cina penanaman lada di Aceh telah dimulai sejak abad ke-9, yakni di daerah-daerah Perlak, Lamuri, dan Samudra.

Meskipun demikian lada bukan lah tanaman asli Aceh, melainkan tanaman dari Malagasi (Madagaskar). Para pedagang dari Arab dan Persia membawa lada ke Aceh dan mencoba menanamnya di daerah tersebut. Dari percobaan tersebut ternyata tanah dan iklim Aceh sangat cocok untuk membudidayakan tanaman lada.

Dalam waktu singkat Aceh pun tumbuh menjadi daerah penghasil dan pengekspor terbesar lada pada masa itu. Bandar Perlak dijadikan bandar utama di pantai timur Sumatera bagian utara. Wilayah tersebut terus tumbuh dan berkembang hingga menjadi kota perdagangan internasional, yang banyak disinggahi pedagang dari penjuru dunia, termasuk pedagang muslim.[4]

Hikayat Aceh

sunting

Naskah Hikayat Aceh mengungkapkan bahwa penyebaran Islam di bagian utara Sumatra dilakukan oleh seorang ulama Arab yang bernama Syaikh Abdullah bin Arif pada tahun 506 H atau 1112 M. Lalu berdirilah kesultanan Peureulak dengan sultannya yang pertama Alauddin Syah yang memerintah tahun 520–544 H atau 1161–1186 M. Sultan yang telah ditemukan makamnya adalah Sulaiman bin Abdullah yang wafat tahun 608 H atau 1211 M.[5]

Buku Zhufan Zhi (諸蕃志), yang ditulis Zhao Rugua tahun 1225, mengutip catatan seorang ahli geografi, Chou Ku-fei, tahun 1178 bahwa ada negeri orang Islam yang jaraknya hanya lima hari pelayaran dari Jawa.[6] Mungkin negeri yang dimaksudkan adalah Peureulak, sebab Zhufan Zhi menyatakan pelayaran dari Jawa ke Brunei memakan waktu 15 hari. Eksistensi negeri Peureulak ini diperkuat oleh musafir Venesia yang termasyhur, Marco Polo, satu abad kemudian. Ketika Marco Polo pulang dari Tiongkok melalui laut pada tahun 1291, dia singgah di negeri Ferlec yang sudah memeluk agama Islam.[7]

Perkembangan dan pergolakan

sunting

Sultan pertama Perlak adalah Sultan Alaiddin Syed Maulana Abdul Aziz Shah bin Ali Al-Muktabar bin Muhammad Ad-Dibaj bin Al-Imam Ja'far Ash-Shadiq bin Al-Imam Muhammad Al-Baqir bin Al-Imam Ali Zainal Abidin bin Sayyidina Husein Asy-Syahid bin Sayyidina Ali Karramallahu Wajhah menikahi Sayyidatina Fatimah Az-Zahra Putri Rasulullah Shallallahu Alaihi Wasallam, sedangkan nasab dari ibunya Sultan Alaiddin Syed Maulana Abdul Aziz Shah bin Makhdum Tansyuri binti Pangeran Salman Al-Husaini yang beraliran Syi'ah merupakan keturunan Rasulullah Shallallahu Alaihi Wasallam ayahnya menikah dengan perempuan setempat di aceh yaitu anak sultan perlak aceh, yang mendirikan Kesultanan Perlak pada 1 Muharram 225 H (840 M). Ia mengubah nama ibu kota kerajaan dari Bandar Perlak menjadi Bandar Khalifah. Sultan ini bersama istrinya, Putri Meurah Mahdum Khudawi, kemudian dimakamkan di Paya Meuligo, Peureulak, Aceh Timur.[8]

Pada masa pemerintahan sultan ketiga, Sultan Alaiddin Syed Maulana Abbas Shah, islam mulai luas dikenal ke Perlak. Setelah wafatnya sultan pada tahun 363 H (913 M), terjadi perang saudara antara kaum muslimin korban adu domba sehingga selama dua tahun berikutnya tak ada sultan.

Sultan Ali Mughat Shah yang beraliran Syi'ah memenangkan perang dan pada tahun 302 H (915 M), Sultan Alaiddin Syed Maulana Ali Mughat Shah naik tahta. Pada akhir pemerintahannya terjadi lagi pergolakan antara kaum muslimin sebab adu domba yang kali ini dimenangkan oleh Sultan Abdul Malik Shah Johan Berdaulat, sehingga sultan-sultan berikutnya diambil dari golongan Johan Berdaulat.

Pada tahun 362 H (956 M), setelah meninggalnya sultan ketujuh, Sultan Makhdum Alaiddin Abdul Malik Shah Johan Berdaulat, terjadi lagi pergolakan selama kurang lebih empat tahun antara kuaum muslimin yang diakhiri dengan perdamaian dan pembagian kerajaan menjadi dua bagian:

  • Perlak Pesisir (Syi'ah) dipimpin oleh Sultan Alaiddin Syed Maulana Shah (986988)
  • Perlak Pedalaman (Sunni) dipimpin oleh Sultan Makhdum Alaiddin Malik Ibrahim Shah Johan Berdaulat (986 – 1023)

Sultan Alaiddin Syed Maulana Shah meninggal sewaktu Kedatuan Sriwijaya menyerang Perlak dan seluruh Perlak kembali bersatu di bawah pimpinan Sultan Makhdum Alaiddin Malik Ibrahim Shah Johan Berdaulat yang melanjutkan perjuangan melawan Sriwijaya hingga tahun 1006.[9]

Serangan Sriwijaya

sunting

Pada tahun 986 M, Kedatuan Sriwijaya (Kerajaan bercorak Buddha di Nusantara) menyerang Kesultanan Peureulak Pesisir. Peperangan hebat pun pecah yang melibatkan pasukan kedua kerajaan tersebut. Dalam perang ini, Sultan Peureulak Pesisir, yaitu Sultan Alaiddin Syad Maulana Mahmud Syah gugur dalam peperangan.

Pascagugurnya Sultan Peureulak Pesisir, wilayah kesultanan Perlak secara keseluruhan akhirnya dikuasai oleh Sultan Peureulak Pedalaman. Kehadiran pasukan Sriwijaya di wilayah Peureulak, segera direspon oleh Sultan Malik Ibrahim Syah dengan mengobarkan semangat rakyat Peureulak untuk melawan Sriwijaya.

Pertempuran besar pun terjadi selama bertahun-tahun. Perang antara kedua kerajaan itu baru berakhir pada tahun 1006 M, ketika Sriwijaya memutuskan mundur dari pertempuran untuk bersiap menghadapi serangan raja Dharmawangsa dari Kerajaan Medang di Jawa.

Dengan berakhirnya perang antara Kesultanan Peureulak dan Kedatuan Sriwijaya, wilayah Peureulak secara keseluruhan dipimpin oleh keturunan Sultan Malik Ibrahim Syah. Pada masa ini kondisi Kesultanan Perlak relatif damai, tanpa adanya peperangan melawan kerajaan luar..[10]

Penyatuan dengan Samudera Pasai

sunting

Pada tahun 1225 M, Sultan Makhdum Alaiddin Malik Muhammad Amin Shah II Johan Berdaulat selaku Sultan ke-17 Perlak mulai memerintah hingga tahun 1263 M.[11] Selama masa kekuasaannya, ia menjalankan politik persahabatan dengan menikahkan dua orang putrinya dengan penguasa negeri tetangga Peureulak:

Sultan terakhir Perlak adalah sultan ke-18, Sultan Makhdum Alaiddin Malik Abdul Aziz Johan Berdaulat (memerintah 12671292).[butuh rujukan] Setelah ia meninggal, terjadi penyatuan Kesultanan Perlak ke dalam wilayah Kesultanan Samudera Pasai. Kedua wilayah ini kemudian di bawah kekuasaan putra dari Sultan Malikussaleh, yakni Sultan Muhammad Malik azh-Zhahir.[12]

Daftar Sultan Perlak

sunting

Sultan-sultan Perlak dapat dikelompokkan menjadi dua dinasti: dinasti Syed Maulana Abdul Azis Shah dan dinasti Johan Berdaulat. Berikut daftar sultan yang pernah memerintah Perlak.[13]

  1. Sultan Marhum ‘Alauudin Sayyid Maulana ‘Abdul ‘Aziz Syah Zhillullah fil ‘Alam pada tahun 225 hijriah (810 M).[14]
  2. Sultan ‘Alauddin Sayyid Maulana ‘Abdurrahim Syah Zhillullah fil ‘Alam 249 hijriah (833 M).[14]
  3. Sultan Marhum ‘Alauddin Sayyid Maulana ‘Abbas Syah Zhillullah fil ‘Alam 285 hijriah (868 M).[14]
  4. Sultan Marhum ‘Alauddin Sayyid ‘Ali Mughayat Syah Zhillullah fil ‘Alam 302 hijriah ( 885 M).[14]
  5. Sultan Marhum ‘Alauddin ‘Abdul Qadir Syah Johan Berdaulat Zhillullah fil ‘Alam 305 hijriah ( 887 M).[14]
  6. Sultan Marhum ‘Alauddin Muhammad Amin Syah Zhillullah fil ‘Alam 309 hijriah (892 M).[14]
  7. Marhum ‘Alauddin ‘Abdul Malik Syah Zhillullah fil ‘Alam 327 hijriah (909 M).[14]
  8. Sultan Marhum ‘Alauddin Sayyid Mahmud Syah Zhilullah fil ‘Alam 349 hijriah (930 M).[14]

Referensi

sunting
  1. ^ "3 Kerajaan Islam Berpengaruh di Aceh". Republika Online. 2016-08-29. Diakses tanggal 2020-06-12. 
  2. ^ "Sejarah Kerajaan Perlak - Pengertian, Perkembangan dan Pergolakan". RuangGuru.co (dalam bahasa Inggris). 2020-05-13. Diakses tanggal 2020-06-12. 
  3. ^ "Mengenal 5 Kerajaan Islam Tertua di Indonesia". Kelas Pintar (dalam bahasa Inggris). 2019-08-29. Diakses tanggal 2020-06-12. 
  4. ^ "Kesultanan Perlak, Negara Islam Pertama di Tanah Melayu (840 – 1292 M)". IslamToday (dalam bahasa Inggris). 2019-06-24. Diakses tanggal 2020-06-12. 
  5. ^ Teuku Iskandar, Hikayat Aceh, Martinus Nijhoff, ‘s-Gravenhage, 1958. Suwedi Montana, “Nouvelles donees sur les royaumes de Aceh”, Archipel, 53, 1997, hh. 85-95.
  6. ^ F. Hirth dan W. W. Rockhill, h. 76.
  7. ^ Sir Henry Yule, The Book of Marco Polo, II, London, 1903, h. 284.
  8. ^ Siti Rahmah. Perempuanku Sayang, Perempuanku Malang. Diarsipkan 2011-01-06 di Wayback Machine.
  9. ^ "Perlak, Kerajaan Islam Pertama di Indonesia". Diakses tanggal 2020-06-12. 
  10. ^ "Minta Merdeka, Sriwijaya Menyerang Kesultanan Peureulak". Sejarah Cirebon. Diakses tanggal 2020-06-12. 
  11. ^ Adan, Hasanuddin Yusuf (2013). Islam dan Sistem Pemerintahan di Aceh Masa Kerajaan Aceh Darussalam (PDF). Banda Aceh: Lembaga Naskah Aceh dan Arraniry Press. hlm. 124. ISBN 978-602-7837-64-5. 
  12. ^ Sidiq, R., Najuah, dan Lukitoyo, P. S. (2020). Sejarah Indonesia Periode Islam (PDF). Yayasan Kita Menulis. hlm. 20–21. ISBN 978-623-6761-12-0. 
  13. ^ Fathoni, Rifai Shodiq (2016-12-28). "Kesultanan Perlak (840-1292 M)". Wawasan Sejarah (dalam bahasa Inggris). Diakses tanggal 2020-06-12. 
  14. ^ a b c d e f g h Musafir Zaman, Mapesa Aceh (April 09, 2016). "Lembaran Naskah "Izhharul Haq"". Mapesa Aceh, Masyarakat Peduli Sejarah Aceh. Diakses tanggal 12-12-2019. 

Catatan Kaki

sunting
  • SKI Fakultas Adab UIN Yogyakarta, Sejarah Peradaban Islam di Indonesia, Yogyakarta: Penerbit PUSTAKA, 2006.
  • Daliman. A. 2012. Islamisasi dan Perkembangan Kerajaan-Kerajaan Islam di Nusantara. Yogyakarta: Ombak.
  • Darmawijaya. 2010. Kesultanan Islam Nusantara. Jakarta: Pustaka al-Kautsar.
  • De Graaf. “South East Asian Islam to The Eighteenth Century”. Dalam P. M. Holt dkk. 1970. The Cambridge History of Islam Volume II. Cambridge: Cambridge University Press.

Pranala luar

sunting