Kerajaan Kutai Martapura
Kerajaan Kutai Martapura adalah kerajaan bercorak Hindu di Nusantara yang memiliki bukti sejarah tertua berupa prasasti Yupa dan berdiri sekitar abad ke-4 Masehi.[1] Pusat kerajaan ini terletak di Muara Kaman, yang saat ini adalah sebuah kecamatan di Kabupaten Kutai Kartanegara, Provinsi Kalimantan Timur. Nama Kutai diberikan oleh para ahli mengambil dari nama tempat ditemukannya prasasti yang menunjukkan eksistensi kerajaan tersebut. Informasi nama Martapura diperoleh dari kitab Salasilah Raja dalam Negeri Kutai Kertanegara yang menceritakan pasukan Kerajaan Kutai Kertanegara dari Kutai Lama menyerang ibu kota kerajaan ini.[2]
Kerajaan Kutai Martapura | |||||||
---|---|---|---|---|---|---|---|
400–1635 | |||||||
Ibu kota | Muara Kaman, Kalimantan Timur | ||||||
Bahasa yang umum digunakan | Bahasa Sansekerta, Bahasa Kutai | ||||||
Agama | Hindu | ||||||
Pemerintahan | Monarki | ||||||
Sri Maharaja | |||||||
• Abad 4 masehi | Kundungga | ||||||
• Abad 4 masehi | Aswawarman | ||||||
• Abad 5 masehi | Mulawarman | ||||||
• Abad 16 masehi | Dermasatia | ||||||
Sejarah | |||||||
• Didirikan | 400 | ||||||
• Dianeksasi oleh Kutai Kertanegara | 1635 | ||||||
| |||||||
Sekarang bagian dari | Indonesia | ||||||
Bagian dari seri mengenai |
---|
Sejarah Indonesia |
Garis waktu |
Portal Indonesia |
Historiografi
suntingSumber primer sejarah Kerajaan Martapura adalah tujuh prasasti yupa yang ditemukan di Bukit Brubus, Muara Kaman.[3] Penemuan batu bertulis ini tidak sekaligus, melainkan dalam dua tahap dengan rentang waktu lebih dari setengah abad. Tahap pertama, empat prasasti ditemukan pada tahun 1879. Setahun kemudian, keempat prasasti tersebut diangkut ke Bataviaasch Genootschap van Kunsten en Wetenschappen (kini Museum Nasional, Jakarta). Tahap kedua, tiga prasasti lainnya ditemukan berselang 61 tahun kemudian, yakni pada 1940. Ketiganya disimpan di museum yang sama.[4]
Selain sumber prasasti yupa, terdapat kitab Surat Salasilah Raja dalam Negeri Kutai Kertanegara. Naskah Arab Melayu ini belum dibahas oleh Tim Nasional Penulisan Sejarah Indonesia sehingga perihal lanjutan riwayat dinasti Mulawarman tidak termuat dalam buku babon Sejarah Nasional Indonesia.
Penamaan
suntingNama kerajaan tertua di Nusantara yang umumnya diketahui oleh khalayak adalah Kutai. Tim Penyusun Sejarah Nasional Indonesia mengungkapkan, nama Kutai digunakan oleh para peneliti sejak zaman Belanda untuk menamakan kerajaan Dinasti Mulawarman berdasarkan lokasi penemuan prasasti yupa di wilayah Kesultanan Kutai. Namun, prasasti yupa sendiri tidak pernah menyebutkan nama kerajaannya dengan Kutai.[5]
Nama Kutai sendiri baru muncul sekitar abad XIII sebagai nama kerajaan yang berpusat di daerah hilir Sungai Mahakam, di Kutai Lama di Kecamatan Anggana. Kerajaan ini disebutkan dalam Nagarakretagama sebagai Kutei. Ibu kota Kutai ini kemudian dipindahkan ke Tenggarong. Pada 1635, Kerajaan Kutai Kartanegara menginvasi daerah Muara Kaman yang disebut sebagai Kerajaan Martapura. Nama Martapura inilah yang kemudian diduga sebagai nama kerajaan dinasti Mulawarman.[6]
Raja-raja
suntingHanya ada lima nama raja yang tercatat dalam sumber sejarah, yakni 3 orang di prasasti yupa beraksara Pallawa dan 2 orang dalam kitab Salasilah Raja dalam Negeri Kutai Kertanegara beraksara Arab Melayu. Adapun informasi lain yang menyebutkan daftar lebih dari 20 raja tidak berdasarkan sumber sejarah yang autentik, melainkan dari ucapan meranyau seorang dukun dalam upacara adat belian.[7]
Nama Kundungga oleh para ahli sejarah ditafsirkan sebagai nama asli orang Indonesia yang belum terpengaruh dengan nama budaya India. Sementara putranya yang bernama Asmawarman diduga telah terpengaruh budaya Hindu. Hal ini di dasarkan pada kenyataan bahwa kata Warman berasal dari bahasa Sanskerta. Kata itu biasanya digunakan untuk ahkiran nama-nama masyarakat atau penduduk India bagian Selatan. Pada salah satu yupa tersebut, diketahui bahwa yang menjadi cikal bakal dari kerajaan kutai adalah Kundungga, yang diteruskan kepada Aswawarman. Adapun pengganti dari Aswawarman adalah putranya yang bernama Mulawarman. Pada periode Mulawarman itulah kerajaan mencapai hasil komoditas yang besar sehingga mampu mengadakan upacara yang menghadirkan brahmana dari India.[2]
Kundungga
suntingNama Kundungga dimaknai sebagai nama asli orang Indonesia yang belum dipengaruhi oleh budaya India.[5] Pada awalnya kedudukan Kundungga adalah sebagai kepala suku, setelah masuk pengaruh Hindu ke Indonesia kemudian ia mengubah struktur menjadi kerajaan dan dirinya menjadi raja, dan dilakukan secara turun temurun.[8] Nama Maharaja Kundungga oleh para ahli sejarah ditafsirkan sebagai nama asli orang Indonesia yang belum terpengaruh dengan nama budaya India.
Aswawarman
suntingAswawarman merupakan raja kedua dari Kerajaan Martapura sekaligus putra dari Kundungga. Asmawarman telah terpengaruh budaya Hindu. Hal ini didasarkan pada kenyataan bahwa kata Warman berasal dari bahasa Sanskerta. Kata itu biasanya digunakan untuk akhiran nama-nama ksatria India bagian Selatan.[5][9]
Mulawarman
suntingMulawarman adalah anak Aswawarman dan cucu Kundungga. Nama Mulawarman dan Aswawarman sangat kental dengan pengaruh bahasa Sanskerta bila dilihat dari cara penulisannya. Kundungga sendiri belum menganut agama Hindu. Prasasti yupa hanya menuliskan teks nama Mulawarman, tanpa tambahan nama setelahnya.[10]
Masa kejayaan
suntingBerdasarkan Prasasti Yupa, dapat diketahui bahwa Kerajaan Martapura mencapai puncak kejayaannya pada masa pemerintahan Raja Mulawarman.
Mulawarman disebut-sebut sebagai raja yang memiliki budi pekerti baik, kuat, dan pernah mengadakan upacara persembahan 20.000 ekor lembu untuk kaum Brahmana yang bertempat di "Waprakecvara". Waprakecvara adalah tempat suci (keramat) yang merupakan sinkretisme antara kebudayaan Hindu dengan kebudayaan Indonesia.
Sebagai keturunan Aswawarman, Mulawarman juga melakukan upacara "Vratyastoma", yaitu upacara penyucian diri untuk masuk pada kasta Ksatria. Pada masa pemerintahan Mulawarman, upacara penghinduan ini dipimpin oleh pendeta/kaum Brahmana dari orang Indonesia asli. Hal ini membuktikan bahwa kemampuan intelektualnya tinggi, karena Bahasa Sanskerta bukanlah bahasa rakyat sehari-hari. Selain itu, di bawah kekuasaan Raja Mulawarman kehidupan ekonomi kerajaan mengalami perkembangan pesat dari sektor pertanian dan perdagangan karena letaknya sangat strategis.
Akhir kerajaan
suntingPada 1635 Kerajaan Kutai Kertanegara yang masih berpusat di Kutai Lama melakukan agresi ke Muara Kaman. Konflik bersenjata antara dua kerajaan terjadi dalam durasi 7 hari 7 malam. Kerajaan Kutai Martapura kalah saat rajanya yang bernama Maharaja Dermasatia terbunuh di tangan Raja Kutai Kertanegara ke-8, Pangeran Sinum Panji Mendapa. Kekalahan ini mengakibatkan Kerajaan Martapura runtuh. Wilayahnya dianeksasi oleh Kutai Kertanegara.[2]
Lihat pula
suntingReferensi
sunting- ^ Vogel, J. Ph. (1918). "The Yupa Inscription of King Mulawarman, from Koetei (East Borneo)". BKI. 74.
- ^ a b c Sarip, Muhammad (2023). Histori Kutai: Peradaban Nusantara di Timur Kalimantan dari Zaman Mulawarman hingga Era Republik. Samarinda: RV Pustaka Horizon. ISBN 978-623-6805-61-9.
- ^ "Keputusan Mendikbud RI Nomor 279/M/2014 tentang Tujuh Prasasti Yupa Koleksi Museum Nasional Nomor Inventaris D.2A, D.2B, D.2C, D.2D, D.175, D.176, dan D.177 Sebagai Kawasan Cagar Budaya Peringkat Nasional" (PDF). munas.kemdikbud.go.id. Diakses tanggal 24 Agustus 2020.
- ^ Vlekke, Bernard H.M (2008). Nusantara Sejarah Indonesia [Nusantara: A History of Indonesia (1961)]. Jakarta: Kepustakaan Populer Gramedia.
- ^ a b c Poesponegoro, Marwati Djoened; Notosusanto, Nugroho (Ed.) (2008). Sejarah Nasional Indonesia II Zaman Kuno (Awal M–1500 M). Jakarta: Balai Pustaka.
- ^ Sarip, Muhammad (Desember 2020). "Kajian Etimologis Kerajaan (Kutai) Martapura di Muara Kaman, Kalimantan Timur". Yupa: Historical Studies Journal. 4 (2). doi:10.30872/yupa.v4i2.264.
- ^ Amin dkk, M. Asli (1975). Dari Swapraja ke Kabupaten Kutai (PDF). Tenggarong: Pemerintah Daerah Kabupaten Kutai Kalimantan Timur.
- ^ Abdullah, Taufik; Lapian, A.B. (2012). Indonesia dalam Arus Sejarah Jilid 2: Hindu-Buddha. Jakarta: Ichtiar Baru van Hoeve.
- ^ Minattur, Joseph (2009). "A Note on the King Kundungga of the East Borneo Inscriptions". Journal of Southeast Asian History. 5 (2): 181–183. doi:10.1017/S0217781100000995. ISSN 0217-7811.
- ^ Sarip, Muhammad; Sheilla, Nanda Puspita (2024). Historipedia Kalimantan Timur dari Kundungga, Samarinda, hingga Ibu Kota Nusantara. Samarinda: RV Pustaka Horizon. ISBN 978-623-6805-66-4.