Kemelayuan
Kemelayuan (bahasa Inggris: Malayness; Jawi: كملايوان) adalah istilah yang digunakan untuk menggambarkan keadaan menjadi Melayu, atau mewujudkan karakteristik Melayu, dan digunakan untuk merujuk pada apa yang mengikat dan membedakan orang-orang Melayu dan membentuk dasar persatuan dan identitas mereka. Orang-orang yang menyebut diri mereka Melayu ditemukan di beberapa negara di Asia Tenggara, disatukan oleh identitas bersama yang abstrak namun terbagi oleh batas-batas politik, sejarah yang berbeda, dialek berbeda, dan kekhasan pengalaman lokal. Sementara istilah "Melayu" banyak digunakan dan mudah dipahami di wilayah ini, namun tetap terbuka terhadap berbagai interpretasi karena karakteristiknya yang bervariasi dan berubah-ubah. "Melayu" sebagai identitas, atau kebangsaan, dianggap sebagai salah satu konsep yang paling menantang dan membingungkan di dunia Asia Tenggara yang multi-etnis.[1]
Bagian dari seri tentang: Islamisme |
---|
Portal Politik |
Sebagian besar etos identitas Melayu dianggap berasal dari kekuasaan Kesultanan Melaka pada abad ke-15.[2][3] Setelah jatuhnya Melaka pada tahun 1511, gagasan Kemelayuan berkembang dalam dua cara: mengklaim garis keturunan kerajaan atau mengakui keturunan dari Sriwijaya dan Melaka, serta merujuk pada diaspora komersial pluralistik di sekitar lingkaran dunia Melayu yang mempertahankan bahasa, adat kebiasaan, dan perdagangan Melayu di emporium Melaka. Pada pertengahan abad ke-20, konsep anti kolonialisme Barat mengenai Kemelayuan romantis telah menjadi komponen integral dari nasionalisme Melayu, yang berhasil mengakhiri pemerintahan Britania Raya di Malaya.[4]
Saat ini, pilar-pilar kemelayuan yang paling umum diterima; Majelis Raja-Raja, bahasa dan kebudayaan Melayu, dan Islam,[5][6][7][8] dilembagakan di kedua negara mayoritas Melayu, Brunei Darussalam dan Malaysia. Sebagai kesultanan Melayu yang masih berfungsi penuh, Brunei Darussalam memproklamasikan Monarki Islam Melayu sebagai falsafah nasionalnya.[9] Di Malaysia, di mana supremasi kesultanan Melayu individual dan posisi Islam dilindungi, suatu identitas Melayu didefinisikan dalam Pasal 160 Konstitusi Malaysia.
Sejarah
suntingPeriode pra-Eropa
suntingDunia Melayu, rumah bagi suku-suku Austronesia Melayik sejak zaman es terakhir (sekitar 15.000-10.000 SEU), menunjukkan variasi etnis, linguistik, dan budaya yang menarik sebagai akibat menerima berbagai lapisan pengaruh asing.[10] Sistem kepercayaan animisme pribumi, yang menggunakan konsep "semangat" (jiwa) dalam setiap benda-benda di alam, sangat dominan di antara suku-suku Melayik kuno sebelum kedatangan agama Dharmik sekitar awal milenium pertama EU.[11] Periode Dharmik pada gilirannya digantikan oleh masuknya Islam dan ekspansi kesultanan Melayu di berbagai bagian kawasan ini sejak abad ke-12 dan seterusnya.
Istilah "Melayu" dan variannya mendahului era Islam, dalam beberapa hal yang tampaknya digunakan sebagai sebuah toponim lama untuk kawasan Selat Malaka pada umumnya.[12] Di antara contoh-contoh yang patut diperhatikan adalah Malayadvipa dalam Vayu Purana, Maleu-Kolon dalam Geographia Ptolemaeus abad ke-2 (di pantai barat dari Semenanjung Emas), Mo-Lo-Yu dalam berita Yijing abad ke-7, Malaiur dalam prasasti abad ke-11 di Kuil Brihadiswara, Malai dalam Tabula Rogeriana abad ke-12 karya Idrisi,[12] Malayu dalam Prasasti Padang Roco abad ke-13, Ma-li-yu-er dalam Sejarah Yuan abad ke-13,[13] Malauir dalam berita Marco Polo abad ke-13, dan Malayapura dalam Prasasti Amoghapasa abad ke-14.
Lihat juga
suntingReferensi
sunting- ^ Barnard 2004, hlm. 320
- ^ Barnard 2004, hlm. 4
- ^ Milner 2010, hlm. 230
- ^ Hood Salleh 2011, hlm. 28–29
- ^ Azlan Tajuddin 2012, hlm. 94
- ^ Khoo & Loh 2001, hlm. 28
- ^ Chong 2008, hlm. 60
- ^ Hefner 2001, hlm. 184
- ^ Benjamin & Chou 2002, hlm. 55
- ^ Hood Salleh 2011, hlm. 28
- ^ Zaki Ragman 2003, hlm. 1–6
- ^ a b Barnard 2004, hlm. 3
- ^ Hall 1981, hlm. 190
Bibliografi
sunting- Andaya, Leonard Y. (2008), Leaves of the Same Tree: Trade and Ethnicity in the Straits of Melaka, University of Hawaii press, ISBN 978-0-8248-3189-9
- Azlan Tajuddin (2012), Malaysia in the World Economy (1824–2011): Capitalism, Ethnic Divisions, and "Managed" Democracy, Lexington Books, ISBN 978-0-7391-7196-7
- Barnard, Timothy P. (2004), Contesting Malayness: Malay identity across boundaries, Singapore: Singapore University press, ISBN 9971-69-279-1
- Barrington, Lowell (2006), After Independence: Making and Protecting the Nation in Postcolonial and Postcommunist States, University of Michigan press, ISBN 978-0-472-06898-2
- Benjamin, Geoffrey; Chou, Cynthia (2002), Tribal Communities in the Malay World: Historical, Cultural and Social Perspectives, London: Institute of Southeast Asian Studies, ISBN 978-981-230-166-6
- Blackburn, Kevin; Hack, Karl (2012), War, Memory and the Making of Modern Malaysia and Singapore, National University of Singapore, ISBN 978-9971-69-599-6
- Chong, Terence (2008), Globalization and Its Counter-forces in Southeast Asia, Institute of Southeast Asian Studies, ISBN 978-981-230-478-0
- Hall, Daniel George Edward (1981), History of South East Asia, Macmillan, ISBN 978-0-333-24163-9
- Hefner, Robert W. (2001), Politics of Multiculturalism: Pluralism and Citizenship in Malaysia, Singapore, and Indonesia, University of Hawaii Press, ISBN 978-0-8248-2487-7
- Hood Salleh (2011), The Encyclopedia of Malaysia, 12 - Peoples and Traditions, Editions Didier Millet, ISBN 978-981-3018-53-2
- Hoyt, Sarnia Hayes (1993), Old Malacca, Oxford University Press, ISBN 978-0-19-588619-1
- Khoo, Boo Teik; Loh, Francis (2001), Democracy in Malaysia: Discourses and Practices (Democracy in Asia), Routledge, ISBN 978-0-7007-1161-1
- Kipp, Rita Smith (1996), Dissociated Identities: Ethnicity, Religion, and Class in an Indonesian Society, University of Michigan Press, ISBN 978-0-472-08402-9
- Milner, Anthony (2010), The Malays (The Peoples of South-East Asia and the Pacific), Wiley-Blackwell, ISBN 978-1-4443-3903-1
- Zaki Ragman (2003), Gateway to Malay culture, Asiapac Books Pte Ltd, ISBN 981-229-326-4