Kematian Kecil Kartosoewirjo


Kematian Kecil Kartosoewirjo adalah judul buku kumpulan puisi karya sastrawan Triyanto Triwikromo. Buku setebal 128 halaman dengan ISBN 978-602-03-1263-7, ini diterbitkan oleh Gramedia Pustaka Utama pada tahun 2015. Kematian Kecil Kartosoewirjo merupakan puisi liris yang mengangkat "cerita lain" dari kisah perjuangan Kartosoewirjo.[1][2][3]

Kematian Kecil Kartosoewirjo
Berkas:Kematian Kecil Kartosoewirjo.jpg
PengarangTriyanto Triwikromo
BahasaIndonesia Indonesia
GenreKumpulan puisi
PenerbitGramedia Pustaka Utama
Tanggal terbit
2015
Halaman128 halaman
ISBNISBN 978-602-03-1263-7

Latar belakang

sunting

Puisi-puisi dalam buku Kematian Kecil Kartosoewirjo ini diciptakan dalam batas wilayah yang cukup ketat dari aspek data sejarah, baik dokumentasi foto, data tertulis atau ujaran lisan. Puisi-puisi ini, meski berupaya ‘memberontak’, dia tetap tak dapat keluar dari koridor ketaklukannya. Yang bisa dilakukan adalah seperti dalam permainan lego, diberi kebebasan menukar bangunan di sebelah kiri atau kanan, depan dan belakang, merekonstruksi A-B-C-D nya untuk leluasa dibolak-balik. Kenyataan atau sejarah di hadapan raut muka linguistik cuma sekadar varian dari modus pengucapan yang sudah dipatenkan. Maka, aktivitas bahasa yang dilakukan Triyanto di sini bukanlah sebuah penyingkapan sesuatu yang tersembunyi. Teks puisi tidak juga sedang menciptakan kebenaran baru.

Imaji dalam foto dokumenter adalah analogon yang sempurna dari realitas. Ia adalah pesan telanjang. Foto memberikan lanskap denotatif yang akan habis pada sistem interpretasi tingkat pertama. Teks puisi mengupayakan modus kosakata baru untuk memperpanjang napas dari imaji fotografis bersifat ajek. Ia membuatkan realitas fiksi bersifat performatif agar bisa masuk ke tingkat hermeneutik—pemaknaan lapis kedua.

Akan terbaca bagaimana puisi-puisi melakukan metonimi dan alusi. Begitu ada substansi narasi yang muncul, sederet penggantian dan kisahan ditempelkan sedemikian rupa sebagai sampiran atau semata-mata demi perluasan interpretasi. Pembaca akan disuguhi karnaval petilan kisahan Nuh, Ibrahim,Isa, Daud, Musa, Muhammad, Nuh lagi, Musa lagi, Durna, Bambang Ekalaya, Gandari, Sangkuriang, Ibrahim lagi, Adam, Ular, Pohon Hayat, Hawa, Destrarata, serta pembelokan-pembelokan lain. Gugus substansi dari puisi ‘Nakhoda’; pemimpin, pemegang kemudi, imam dari komunitas akan memiliki ikatan dan relevansi dengan alusi-nya. Toh, segala rupa dari intertekstualitas yang diwanti-wantikan baik Mikhail Bakhtin, Todorov maupun Julia Kristeva, memang semestinya memiliki posisi keterikatan yang kuat dalam teks. Unsur dari intertekstual adalah solidaritas. A memengaruhi B dan B memengaruhi A. Puisi ‘Nakhoda’ ini berhasil menyuguhkan metoniminya.

Jika dibaca keseluruhan, puisi-puisi Triyanto terlihat cerdik dan luwes ketika memilih strategi berupa penyempitan subtema intertekstual. Triyanto dapat mengerem diri untuk cuma menggunakan kisah-kisah dari alkitab dan pewayangan. Arab dan Jawa. Islam dan Hindu. Dia tidak memperluas area jelajah literer dengan loncat sana kemari seperti dalam cerpen-cerpen maupun novelnya.

Lihat pula

sunting

Referensi

sunting
  1. ^ Gramedia Pustaka Utama: Kematian Kecil Kartosoewirjo
  2. ^ "Kampus Book: Kematian Kecil Kartosoewirjo". Diarsipkan dari versi asli tanggal 2015-07-07. Diakses tanggal 2015-07-07. 
  3. ^ "Radiobuku: Kematian Kecil Kartosoewirjo". Diarsipkan dari versi asli tanggal 2015-07-07. Diakses tanggal 2015-07-07.