Kelenteng Sam Poo Kong

bangunan kuil di Indonesia

Kelenteng Gedung Kuno Sam Poo Kong (Hanzi: 三保洞, Sānbǎo Dong) yang jika diterjemahkan menjadi Gua Tiga Perlindungan. Terminologi tiga perlindungan adalah doktrin umat Buddha, yang menyatakan berlindung pada Triratna (Sansekerta) atau Tiratana (Pali) yaitu Buddha, Dharma dan Sangha. Karakter “Pao” berdasarkan “Akun Zeng He” dalam Sejarah Dinasti Ming (明史) volume 304, adalah 保 “pao” yang berarti perlindungan, merupakan homonim yang disederhanakan dari "pao" 寶 dalam arti permata. Istilah tiga permata bersumber dari istilah Sansekerta Buddhistik yaitu Triratna yakni Buddha (佛), Dharma (法) and Sangha (僧). Berdasarkan hal ini, seluruh wihara atau klenteng Triratna di Asia Tenggara dianggap sebagai klenteng Cheng Ho.[1]

Kelenteng Sam Poo Kong

Kelenteng Sam Poo Kong
Hanzi: 三寶公廟
Gua Sampoo
Hanzi: 三保洞

Zheng He atau Cheng Ho (郑和) adalah tokoh besar yang menginspirasi pendirian tempat ibadah umat Buddha Tionghoa di Semarang ini. Zheng He lahir di Provinsi Yunnan pada 1371 dari suku Hui, salah satu suku minoritas di Tiongkok. Kebanyakan masyarakat Hui beragama Islam, dan menggunakan nama marga Ma, bentuk sinisisasi dari Muhammad. Namun Zheng He mendalami dharma ajaran Buddha dari seorang bhiksu bernama Daoyan, yang juga memimpin pembacaan Bodhisattva Sila untuk Zheng He[2]. Di waktu senggang sang laksamana juga kerap mengisinya dengan menyalin sutra-sutra ajaran Buddha, salah satunya Sutra Hati yang pada 2015 lalu dilelang di Pelelangan Sotheby New York dengan harga 14 juta US dolar.[3]

Pada 1414 sebagaimana tercantum dalam naskah yang ditemukan tersebut, Zheng He berikrar akan menyalin Vajracchedika Prajna Paramita Sutra (Jin Gan Jing), Guan Yin Sutra (Guanyin Jing), Amithaba Sutra (Mituo Jing), Marici Bodhisattva Sutra (Molizhitian Jing), Prajnaparamitahrdaya (Xin Jing), Surangama Sutra (Leng Yan Jing), Mahakaruna Dharani (Da Bei Zhou), Sarvadurgatiparisodhana Tantra (Zun Sheng Zhou), dan Mantra Sataksara (Bai Zi Shen Zhou). Penulisan ini dilakukan oleh Zheng He sebagaimana tradisi pada masanya, yakni sebagai wujud syukur, sebagaimana diungkapkannya di naskah temuan tersebut “Setiap mendapat perintah melanglang buana, senantiasa memperoleh karunia dari San Bao.” Arti kata San Bao adalah tiga mustika atau tiga permata yang merujuk pada Tri Ratna yaitu Buddha, Dharma, dan Sangha. Indonesia mengenal istilah ini dengan Sam Poo melalui nama Sam Poo Kong.[4]

Bangunan yang sekarang menjadi tempat ibadah ini diyakini sebagai bekas tempat persinggahan dan pendaratan pertama Laksamana Zheng He/Cheng Ho, yang juga dikenal dengan nama Sam Poo . Tidak semua anak buah kapal beragama Islam. Kompleks Sam Poo Kong berada di daerah Simongan, sebelah barat daya Kota Semarang. Tanda yang menunjukan sebagai bekas petilasan yang berciri keislaman dengan ditemukannya tulisan berbunyi "Marilah kita mengheningkan cipta dengan mendengarkan bacaan Al Qur'an".[5][6][7] Petilasan berciri kejawen memang terdapat di komplek Sampokong, namun hal tersebut adalah tambahan belakangan sebagai bentuk akulturasi yang terjadi.

Kelenteng ini disebut Gedung Batu karena bentuknya merupakan gua batu besar yang berada di sebuah bukit batu. Untuk mengenang Cheng Ho, masyarakat Indonesia keturunan Tionghoa beragama Buddha membangun sebuah kelenteng. Sekarang tempat ini dijadikan tempat peringatan dan pemujaan atau bersembahyang serta tempat untuk berziarah. Untuk keperluan tersebut, di dalam gua batu itu diletakkan sebuah altar serta patung-patung Sam Po Tay Djien. Meskipun di Indonesia banyak yang menganggap Laksamana Cheng Ho adalah seorang Muslim, meskipun tidak ditemukan bukti pendukung atas keyakinan tersebut, akan tetapi umat Buddha Tionghoa menempatkannya sebagai dewa. Proses pendewaan atau deifikasi terhadap tokoh-tokoh besar memang merupakan praktik umum dalam tradisi spiritual Tiongkok, yang terbawa dalam bentuk akulturasinya dengan agama Buddha ke wilayah Nusantara.

Sejarah

sunting

Menurut cerita, Laksamana Cheng Ho sedang berlayar melewati Laut Jawa, namun saat melintasi Laut Jawa, banyak awak kapalnya yang jatuh sakit, kemudian ia memerintahkan untuk membuang sauh. Kemudian, kapalnya merapat ke Pantai Utara Semarang untuk berlindung di sebuah gua dan mendirikan sebuah masjid di tepi pantai yang sekarang telah berubah fungsi menjadi kelenteng. Bangunan tersebut sekarang terletak di tengah kota Semarang karena Pantai Utara Jawa yang selalu mengalami proses pendangkalan. Hal ini menyebabkan adanya proses sedimentasi sehingga lambat laun, daratan Pulau Jawa makin bertambah luas ke arah utara.

Konon, setelah Cheng Ho meninggalkan tempat tersebut karena ia harus melanjutkan pelayarannya, banyak awak kapalnya yang tinggal di desa Simongan dan menikah dengan penduduk setempat. Mereka bersawah dan berladang di tempat itu. Cheng Ho memberikan pelajaran bercocok-tanam serta menyebarkan ajaran-ajaran Islam. Bahkan, di kelenteng ini juga terdapat makam seorang juru mudi dari Kapal Laksamana Cheng Ho.

Selain membangun Kelenteng Sam Poo Kong, Laksamana Cheng Ho juga membangun kembali Masjid Jingjue. Masjid Jingjue didirikan pada 1388 Masehi oleh Yuanzhang [1] yang merupakan kaisar pertama Dinasti Ming. Namun, Masjid Jingjue sempat hancur terbakar pada 1430 Masehi. Akhirnya, masjid ini dibangun kembali di bawah perintah Laksamana Cheng Ho pada 1492 masehi.[2]

Bangunan

sunting

Kelenteng Sam Poo Kong memiliki beberapa kompleks bangunan, diantaranya yaitu Bangunan Kelenteng Utama atau Sam Poo Kong, Kelenteng Kyai Juru Mudi, Kelenteng Dewa Bumi, Kelenteng Kyai Jangkar, Kelenteng Kyai Nyai Tumpeng dan Kyai Tjundrik Bumi, serta Gua Pemujaan Sam Poo Kong. Pada dinding luar bangunan kelenteng utama, terdapat lapisan relief yang menceritakan kisah ekspedisi Laksamana Zheng He di abad ke-15 selama 30 tahun. Relief tersebut diukir oleh seniman bali sedangkan batu yang digunakan untuk membuat relief berasal dari Tiongkok. Terdapat pula dua patung kecil yang melambangkan kedatangan Laksamana Zheng He ke Semarang. Patung pertama mewakili kedatangan pertama Laksamana Zheng He pada tahun 1406 dan terbuat dari kayu cendana. Patung kedua mewakili kedatangan pada tahun 1416 dan terbuat dari porselen.[8]

Kelenteng Kyai Juru Mudi merupakan tempat pemujaan bagi Kyai Juru Mudi Dampo Awang atau Wang Jing hong, kapten dari kapal yang dibawa oleh Laksmana Zheng He. Ketika mendarat di pulau Jawa, Wang Ji Hong tiba-tiba jatuh sakit sehingga ia membutuhkan perawatan dan waktu beristirahat. Wang pun memutuskan untuk tinggal di Simongan dan mulai membangun rumah serta bertani.[8] Kelenteng Kyai Juru Mudi adalah letak pemugaran kawasan makam asli Wang Jing hong.[9]

Kelenteng Dewa Bumi merupakan tempat untuk memberi hormat kepada Dewa Bumi atau Hok Tik Tjing Sin.[9] Di depan kelenteng Dewa Bumi dapat terlihat penjaganya, yaitu Houw Ciang Kun yang berwujud harimau hitam.[8]

Galeri

sunting

Referensi

sunting
  1. ^ Yun-Tsiao, Hsu (2005). Suryadinata, Leo, ed. Admiral Zheng He and Southeast Asia. Notes Relating To Admiral Cheng Ho's Expeditions. Singapore: ISEAS. hlm. 125–127. ISBN 981-230-329-4. 
  2. ^ Sen, Tansen (2019). "Zheng He's Military Interventions in South Asia, 1405–1433". China and Asia. 1 (2): 158–191. doi:10.1163/2589465X-00102003. 
  3. ^ The Long, Museum (2015-07-11). "Share: Coming Back of Zheng He—The 610th Anniversary of Zheng He's Expeditionary Voyage and Academic Seminar of the Buddhist Sutra in the Ming Dynasty". Long Museum. Diakses tanggal 2024-03-12. 
  4. ^ Basuki, Novi (2017-11-16). "Apa Agama Cheng Ho". Historia. Diakses tanggal 2024-03-12. 
  5. ^ "(PDF) ULUM AL-QURAN, SEJARAH DAN PERKEMBANGANNYA". ResearchGate (dalam bahasa Inggris). Diakses tanggal 2019-02-22. 
  6. ^ Atjeh (Hadji), Aboebakar (1983). Sejarah Al-Qur'an (dalam bahasa Inggris). Pustaka Aman Press. 
  7. ^ Atjeh, Aboebakar (1983). Sejarah Al-Qur'an. Pustaka Aman Press. 
  8. ^ a b c "Buildings – SAM POO KONG" (dalam bahasa Inggris). Diakses tanggal 2020-08-24. 
  9. ^ a b Marcella, Benedicta Sophie (April 2014). "Bentuk dan Makna Atap Kelenteng Sam Poo Kong Semarang". Jurnal Arsitektur KOMPOSISI. 10 (5): 349–359. 

Pranala luar

sunting