Kelenteng Gie Yong Bio

bangunan kuil di Indonesia

Kelenteng Gie Yong Bio merupakan salah satu tempat peribadatan umat Tridharma yang berlokasi di Kota Lasem, Rembang. Sebagai kota awal pendaratan masyarakat Tionghoa di tanah Jawa, Lasem juga memiliki dua bangunan kelenteng yang lain, yaitu Po An Bo dan Cu An Kiong.[1] Klenteng ini memiliki keistimewaan karena dibangun untuk menghormati tiga pahlawan Lasem, yaitu Tan Kee Wie, Oey Ing Kiat, dan Raden Panji Margono, sehingga klenteng Gie Yong Bio dianggap sebagai satu-satunya klenteng di Indonesia yang memiliki Kongco pribumi.[2] Penghormatan Raden Panji Margono sebagai dewa oleh komunitas Tionghoa di Lasem dapat disebut unik di seluruh Indonesia, selain menjadi bukti persahabatan leluhur kedua komunitas.[3]

Tempat Ibadah Tridharma Gie Yong Bio
TITD Gie Yong Bio
Informasi umum
LokasiIndonesia Lasem, Rembang, Jawa Tengah
AlamatJalan Babagan nomor 7, Lasem, Rembang
Mulai dibangun1780
Tanggal renovasi1915
Data teknis
Jumlah lantai1

Selain Gie Yong Bio, masih terdapat beberapa kelenteng lain yang memuja pahlawan budaya beretnis non-Tionghoa, meskipun tidak dipuja sebagai Kongco. Misalnya adalah Klenteng Tridharma Weleri yang memiliki rupang Baron Skeder dan Sin Tek Bio yang memiliki altar untuk Raden Mas Imam Sudjono.

Sejarah

sunting

Terdapat tiga versi alasan pembangunan Kelenteng Gie Yong Bio.[4] Versi pertama adalah untuk penghormatan dua pahlawan terkenal dari Dinasti Ming (1368-1644) yaitu Chen Sikian dan Huang Daozhou. Marga Tan merupakan bahasa Hokkien untuk Chen (hanzi), sementara Oei adalah bahasa Hokkien untuk Huang.

Menurut versi kedua, kelenteng Gie Yong Bio dibangun untuk menghormati kegagahberanian dua orang leluhur etnis Tionghoa di Lasem, yaitu Tan dan Oei. Keduanya merupakan dua orang Tionghoa pertama yang mendarat di Lasem dari Fujian. Menurut versi ketiga yang paling populer, kelenteng ini dibangun untuk menghormati tiga pahlawan Lasem yang menghadapi VOC pada tahun 1741-1750, yaitu Tan Kee Wie, Oei Ing Kiat, dan Raden Panji Margono.

Dua versi sebelumnya bisa jadi diangkat untuk menutupi alasan sebenarnya pembangunan Kelenteng Gie Yong Bio, karena kelenteng ini dibangun pada tahun 1780, saat Belanda masih menguasai Indonesia. Belanda dapat dipastikan tidak akan membiarkan pembangunan Kelenteng Gie Yong Bio jika mengetahui alasan pembangunan yang sebenarnya, karena dikhawatirkan dapat membangkitkan kembali semangat perlawanan penduduk Lasem.

Latar belakang pembangunan

sunting
 
Kimsin (patung) Raden Panji Margono di altar klenteng Gie Yong Bio

Pada tahun 1740, masyarakat Tionghoa di Batavia melakukan pemberontakan melawan pemerintahan Belanda. Pemberontakan etnis tersebut mempengaruhi hampir seluruh Pulau Jawa, meskipun akhirnya berhasil ditekan oleh VOC. Kota Lasem sendiri menjadi basis terakhir pemberontakan. Pada peristiwa itu, etnis Jawa dan Tionghoa bekerja sama.[3]

Raden Panji Margono, putra Tejakusuma V yang menjabat sebagai Adipati Lasem (1714-1727), mengikat tali persaudaraan dengan Mayor Oei Ing Kiat, yang menjabat sebagai Adipati Lasem menggantikan ayahnya dengan gelar Tumenggung Widyaningrat. Keduanya juga mengangkat sumpah persaudaraan dengan Tan Kee Wie, seorang pengusaha serta ahli kungfu di Lasem..[5]

Pada saat terjadi pengungsian besar-besaran etnis Tionghoa dari Batavia pada tahun 1741, ketiganya sepakat untuk mengangkat senjata memberontak terhadap VOC. Mereka bergabung dengan para pejuang Tionghoa lain yang berkumpul di Tanjung Welahan serta mendapat bantuan pasukan pribumi atas restu Pakubuwana II. Pertempuran merambat dari Juwana hingga Rembang dan akhirnya sampai ke Semarang. Meskipun pada awalnya berhasil menguasai sebagian wilayah Semarang, pasukan gabungan Jawa-Tionghoa terdesak mundur setelah pasukan VOC di Semarang memperoleh bala bantuan. Karena kekalahan tersebut, Pakubuwana II mengalihkan dukungannya kepada VOC sehingga menyebabkan istananya di Kartasura diserang dan dikuasai oleh pasukan pemberontak.[5][6][7][8]

Pada tahun 1742, pasukan yang dipimpin ketiganya kembali menyerang Rembang dan Juwana. Setelah kemenangan di Rembang, pasukan VOC yang sudah mengadakan persiapan berhasil mengalahkan mereka di Juwana. Bahkan pada tanggal 5 November 1742, saat melewati selat antara Ujung Watu dan Pulau Mandalika, armada kapal Tan Kee Wie ditembaki oleh meriam sehingga membuatnya gugur bersama pasukan yang ia pimpin. Sisa pasukan melarikan diri kembali ke Lasem setelah datang bala bantuan VOC dari Tuban.[5]

Pada tahun 1750, Raden Panji Margono, Mayor Oei Ing Kiat, dan Kyai Ali Badawi kembali mengobarkan peperangan dengan Belanda. Namun, pertempuran kali ini juga berhasil dimenangkan oleh Belanda. Panji Margono gugur di Karangpace Narukan sementara Oei Ing Kiat gugur di Layur, Lasem-Utara. Untuk menghargai jasa-jasa kepahlawanan Tan Kee Wie, Panji Margono, dan Oei Ing Kiat, masyarakat Tionghoa di Lasem membangun klenteng Gie Yong Bio sebagai monumen peringatan. Ketiganya dihormati sebagai Kongco dan dibuat rupangnya untuk diletakkan di atas altar. Rupang Oey Ing Kiat dan Tan Kee Wie diletakkan berdampingan dan disebut dengan nama Tan Oei Ji Sian Seng (menurut dialek Hokkien), sementara rupang Raden Panji Margono diletakkan pada altar khusus yang terpisah.[5][7]

Pemindahan dan pemugaran

sunting

Tanggal pembangunan Klenteng Gie Yong Bio sudah tidak diketahui lagi. Menurut para sesepuh warga Tionghoa, lokasi klenteng pada awalnya berada di jalan raya, selanjutnya dipindah ke lokasi yang sekarang di Jalan Babagan. Kelenteng ini dipugar pada tahun 1915.[1]

Lihat pula

sunting

Referensi

sunting
  1. ^ a b Djamal A. Garhan. 30 Januari 2003. Harian Suara Merdeka, Perayaan Imlek Dilakukan Sederhana Diarsipkan 2014-09-03 di Wayback Machine..
  2. ^ Chris dan Riy. Jejaknews online. Satu Satunya Di Dunia Kongco Pribumi Klenteng Gie Yong Bio Lasem[pranala nonaktif permanen].
  3. ^ a b Chendong Long. Editor: 王海波. 31 Maret 2012. China News Network, 印尼拉森的庙堂文化:悠久历史充满华人气息.
  4. ^ Yon, 2009, "Membedah Cina Lasem". Dalam "Sejarah Perkembangan Klenteng Gie Yong Bio di Lasem dan Pengaruhnya Masyarakat 1967-1998" oleh Nurul Hidayati Septyana, 2012.
  5. ^ a b c d R. Panji Kamzah. "Kitab Carita Sajarah Lasem". Ditulis ulang oleh R. Panji Karsono tahun 1920. Diunduh pada Perang Kuning/Perang Cina/Perang Lasem.
  6. ^ Sanyoto. November 2009. "Sebuah Epos Puputan Cina Lasem", Mimbar Rakyat, Edisi XV, pp. 6-7.
  7. ^ a b Munawir Aziz. 23 Oktober 2012. Kompas, "Perang Kuning dalam Imaji Tionghoa-Jawa".
  8. ^ Temenggung Martopura. "Babad Tanah Jawi", Jilid 23, Halaman 11-16. Percetakan Balai Pustaka Tahun 1940 Seri No. 1289 V.