Kapal van der Wijck

Kapal van der Wijck adalah sebuah kapal mewah yang dibuat pada tahun 1921 yang dinamai menurut Gubernur Jenderal Hindia Belanda Carel Herman Aart van der Wijck. Kapal ini tenggelam pada tahun 1936 di Laut Jawa dan melatarbelakangi penulisan novel Tenggelamnya Kapal van der Wijck oleh Hamka. Novel tersebut diangkat menjadi sebuah film pada tahun 2013.

Kapal Van der Wijck pada tahun 1925.

Nama Van der Wijck berasal dari nama Gubernur Jenderal Hindia yang memerintah tahun 1893 hingga 1899. Gubernur tersebut bernama Jonkheer Carel Herman Aart Van Der Wijck. Kapal Van de Wijck adalah kapal penumpang yang mewah dan indah. Carel Herman merupakan seorang Belanda yang lahir di Ambon pada 29 Maret 1840 dan meninggal di Baarn, 8 Juli 1914. Semasa hidupnya, Carel Herman pernah melaksanakan tugas dan operasi “Pengendalian Lombok” di bawah perintah Ratu Emma van Waldeck-Pymont.

Kapal Van der Wijck memiliki panjang sekitar 97.5 meter dengan lebar 13.4 meter dan tinggi 8.5 meter.Kapal ini terbagi menjadi tiga kelas, yakni kelas pertama dengan kapasitas 60 penumpang, kelas dua sebanyak 34 penumpang, dan geladak dengan daya tampung 999 penumpang.Kapal Van der Wijck adalah kapal uap milik Koninklijke Paketvaart Maatschappij (KPM) dibuat oleh Maatschappij Fijenoord, Rotterdam tahun 1921. Tahun 1921, kapal tersebut berlayar dari Feyenoord, Rotterdam menuju Indonesia.

Saat itu kapal melayani rute kawasan perairan di Hindia Belanda dan merupakan cikal bakal pelayaran nasional Indonesia (Pelni). Saat tenggelam, kapal tersebut dinahkodai oleh B.C. Akkerman, nahkoda senior dengan pengalaman selama 25 tahun. Selain penumpang, kapal ini pun membawa muatan kayu besi yang rencananya akan dibongkar di pelabuhan Tanjung Priok dan dibawa ke Afrika. Pada 20 Oktober 1936, Kapal Van Der Wijck tenggelam saat berlayar dari Bali menuju Semarang dan akan singgah di Surabaya. Setiba di Surabaya, kapal tercatat membawa muatan 150 ton besi dan 5 buah konsedor dengan masing-masing seberat 3 ton. Pelayaran kapal mewah tersebut berakhir di Perairan Lamongan, Jawa Timur tepatnya di 12 mil dari Pantai Brondong, Lamongan. Diduga, kapal-kapal tersebut membawa barang-barang berharga. Tercatat 153 penumpang selamat, 58 penumpang tewas, dan 42 lainnya hilang seperti di tulis oleh de Telegraaf pada 22 Oktober 1936.

Namun, sebenarnya tidak ada angka pasti karena pencatatan tidak sesuai. Diperkirakan ada 250 orang yang ada di dalam kapal tersebut.Catatan lain menyebutkan jika jumlah penumpang pada saat itu adalah 187 warga pribumi dan 39 warga Eropa. Jumlah awak kapalnya terdiri dari seorang kapten, 11 perwira, seorang telegrafis, seorang steward, 5 pembantu kapal dan 80 ABK dari pribumi.

Surat kabar Australia, The Queenslander yang terbit Kamis 22 Oktober 1936 turut memberitakan tenggelamnya Van der Wijck. Koran tersebut menyebut jika kapal sekonyong-konyong miring saat berada 64 kilometer barat daya Surabaya.Setelah itu hanya butuh enam menit hingga seluruh badan kapal tenggelam. The Queenslander juga menuliskan soal proses evakuasi yang melibatkan banyak orang, dari nelayan, pilot pesawat terbang, hingga kapal Angkatan Laut Belanda.

Saat operasi penyelamatan, pemerintah Hindia Belanda sempat mengerahkan delapan pesawat udara Dornier dikirim untuk menyelamatkan penumpang. Termasuk kapal bantuan dan perahu nelayan setempat turut membantu mengevakuasi korban. Sayangnya, bantuan itu tak dapat menyelamatkan penumpang kapal. Sebanyak 75 penumpang dinyatakan hilang. Namun sang nahkoda, Kapten Akkerman justru selamat dari peristiwa itu.Saat kapal tersebut tenggelam, warga yang tinggal di pesisir Pantai Brondong berusaha menyelamatkan para penumpang Kapal Van der Wijck.

Lima orang nelayan setempat berhasil menyelamatkan 145 penumpang. Kaslibin berhasil menyelamatkan 53 orang. Modwie (Matuwi) menyelamatkan 32 orang. Troenoredjo menyelamatkan 22 orang. Sratit (Sratip) menyelamatkan 21 orang. Mardjiki (Mardjuki) menyelamatkan 17 orang. Nama-nama para nelayan ini disebut di koran-koran Belanda, juga disebut di novel Hamka.[6]

Sebagai ucapan terimakasih kepada warga dan untuk mengenang tenggelamnya kapal mewah tersebut, Pemerintah Hindia Belanda mendirikan Monuman Van der Wijck. Monumen berdiri kokoh di kawasan pantai berbentuk seperti pos pemantau setinggi 15 meter berwarna kuning dan biru. Terdapat dua prasasti di dinding barat dan timur monumen. Prasasti terbuat dari pelat besi bertuliskan dalam bahasa Belanda dan Indonesia. Monumen tersebut letaknya dekat dari Jalan raya baik yang menuju ke pelabuhan TPI Brondong atau jalan raya pantai utara tidak jauh dari kawasan Wisata Bahari Lamongan.

Pada saat dibangun, monumen ini sebetulnya adalah mercusuar kecil. Lampu minyak diletakkan di bagian atapnya yang datar, berfungsi sebagai pedoman arah bagi para nelayan di laut. Mercusuar ini dibangun atas permintaan nelayan Brondong. Sebelum ada mercusuar ini, mereka berpatokan pada mercusuar di Tuban. Namun, sekarang mercusuar ini sudah tidak berfungsi sebagai pedoman arah dan hanya berfungsi sebagai monumen peringatan. [6]

Sejarah

sunting

Van der Wijck, di Sulawesi Tengah

sunting

Provinsi Sulawesi Tengah baru benar-benar "diperhatikan" oleh Pemerintah Hindia Belanda pada periode tahun 1860-an. Seorang pejabat pemerintah bernama Johannes Cornelis Wilhelmus Diedericus Adrianus van der Wyck, berhasil mengunjungi Danau Poso pada tahun 1865—menjadi orang Eropa dan Belanda pertama yang melakukannya, dan memperkenalkan suku asli di Wilayah Grup Poso-Tojo yaitu Suku Bare'e (Bare'e-Stammen).

Suku Bare'e atau bahasa Belandanya Bare'e-stammen (De Bare'e-Sprekende jilid 1 halaman 119)[1] yang pada waktu itu sudah banyak yang beragama Islam yang disebut Belanda dengan nama Mohammadisme, dan sebagian kecil Orang Poso masih beragama Lamoa (Langit), cara Belanda mengidentifikasikan Alfouren yang disebut Belanda dengan istilah Toradja yaitu Orang Toraja tersebut berpenampilan seperti Gelandangan yang berbeda penampilannya dengan Suku Bare'e yang merupakan Suku Asli di wilayah Grup Poso-Tojo.

Kemudian orang-orang yang berpenampilan seperti Gelandangan tersebut diberinama Alfouren yang kemudian diganti oleh A. C. Kruyt dan Dr. N. Adriani dengan nama Toradja (Toraja), sementara yang sudah beragama islam masih disebut Suku Bare'e (Bare’e-Stammen).

Setelah mempelajari Watu Mpoga'a[2], maka para gelandangan yang telah menjadi Umat Kristen tersebut mengetahui asal usul mereka sebelum berada di wilayah Grup Poso-Tojo yaitu berasal dari wilayah Wotu.[3]

Dan Wilayah Poso dan Todjo kemudian dinamakan Grup Poso-Tojo (Toraja Poso-Tojo, atau Toraja Timur (Toradja Bare’e) dengan Bahasa Bare’e (Bare'e-Taal)[4] sebagai bahasa asli di wilayah tersebut.

Van der Wijck, di Jawa Timur

sunting

Pada 20 Oktober 1936 di pesisir utara Jawa, tepatnya di perairan Brondong, kapal Belanda van der Wijck tenggelam, sebuah peristiwa yang mengilhami novel Tenggelamnya Kapal van der Wijck oleh Hamka. Kapal mewah yang dibuat di galangan kapal Feijenoord, Rotterdam, Belanda pada tahun 1921 merupakan kapal milik perusahaan Koninklijke Paketvaart Maatschappij, Amsterdam. Tahun 2013, sebuah film mengangkat cerita tenggelamnya kapal tersebut berdasarkan buku Hamka dengan judul yang sama.

Atas jasa nelayan Brondong dan Blimbing, awak kapal dan penumpang dapat diselamatkan. Pemerintah Hindia Belanda mendirikan monumen di halaman Kantor Pelabuhan Brondong, Kabupaten Lamongan, Jawa Timur[5] untuk mengenang peristiwa tersebut dan menghormati jasa nelayan.

Lihat pula

sunting
  1. ^ De Bare'e-Sprekende de Toradja in midden celebes jilid 1 halaman 119, [1]", Diakses 29 Mei 2023.
  2. ^ DATA CAGAR BUDAYA DI SULAWESI TENGAH (per Des 2014) [2]", Diakses 29 Mei 2023.
  3. ^ Idwar Anwar (2005). Ensiklopedi Sejarah Luwu. Collaboration of Komunitas Kampung Sawerigading, Pemerintah Kota Palopo, Pemerintah Kabupaten Luwu, Pemerintah Kabupaten Luwu Utara, and Pemerintah Kabupaten Luwu Timur. ISBN 979-98372-1-9. 
  4. ^ De Bare'e-Sprekende de Toradja in midden celebes The Series, [3]", Diakses 29 Mei 2023.
  5. ^ "Salinan arsip". Diarsipkan dari versi asli tanggal 2007-10-30. Diakses tanggal 2006-11-20.