Jus cogens

Prinsip dalih hukum internasional

Jus cogens atau ius cogens (dalam bahasa Inggris juga disebut peremptory norms) adalah asas dasar hukum internasional yang diakui oleh komunitas internasional sebagai norma yang tidak boleh dilanggar dalam keadaan apapun. Tidak ada konsensus resmi mengenai norma mana yang merupakan jus cogens dan bagaimana suatu norma mencapai status tersebut. Walaupun begitu, beberapa norma yang biasanya dianggap sebagai jus cogens adalah pelarangan genosida, pembajakan laut, perbudakan,[1] dan penyiksaan.[2]

Pelarangan penyiksaan adalah salah satu contoh norma jus cogens

Asas jus cogens secara resmi disebutkan dalam Pasal 53 Konvensi Wina tentang Hukum Perjanjian yang menyatakan bahwa perjanjian menjadi batal jika bertentangan dengan jus cogens.[3]

Sejarah

sunting

Dalam hukum Romawi, terdapat konsep-konsep yang dianggap sebagai pendahulu jus cogens pada masa modern, yaitu jus publicum privatorum pactis mutari non potest yang berarti "hak umum tidak dapat diubah oleh persetujuan antar perseorangan", serta pemisahan antara jus strictum (hukum wajib) dan jus dispositivum (hukum sukarela yang mengikuti kehendak pihak-pihak yang terlibat). Namun, istilah jus cogens sendiri tidak pernah dipakai pada Zaman Kuno.[4]

Pada abad ke-17 dan ke-18, para pemikir yang menganut gagasan hukum kodrat (seperti Emer de Vattel) mengemukakan pendapat bahwa terdapat hukum yang tidak mengenal waktu dan berada di luar jangkauan negara, dan hukum ini diyakini dapat menyingkirkan serta membatasi hukum yang dikeluarkan oleh suatu negara.[4] Walaupun begitu, terdapat kemungkinan bahwa pengaruh terbesar yang berujung pada kelahiran konsep jus cogens bukanlah tradisi hukum kodrat, tetapi malah asas-asas yang diserap dari hukum nasional, karena doktrin yang mirip dengan jus cogens sudah ada dalam sistem hukum umum maupun hukum sipil. Contohnya adalah asas yang menyatakan bahwa suatu perjanjian itu batal demi hukum apabila isi perjanjian tersebut bertentangan dengan ordre public.[5]

Di kancah internasional, keberadaan gagasan jus cogens pertama kali diakui oleh Mahkamah Tetap Internasional dalam putusan pertamanya dalam perkara S.S. Wimbledon pada tahun 1923; walaupun konsep jus cogens tidak disebutkan secara eksplisit, mahkamah menyatakan bahwa kedaulatan negara tidak dapat dihapuskan atau dicabut.[6] Hersch Lauterpacht juga pernah membahas gagasan semacam jus cogens dalam laporan yang ia susun pada tahun 1953. Istilah jus cogens sendiri pertama kali digunakan pada tahun 1958 oleh Gerald Fitzmaurice. Kemudian, pada tahun 1963, Humphrey Waldock berpendapat bahwa pelarangan perdagangan budak dan genosida merupakan contoh jus cogens. Gagasan jus cogens juga mencuat dalam diskusi-diskusi yang digelar oleh Komisi Hukum Internasional. Pada tahun 1966, dalam sebuah ulasan yang ditulis terkait dengan usulan konvensi hukum traktat, Komisi Hukum Internasional menyatakan bahwa gagasan mengenai jus cogens merupakan tren yang "relatif baru". Akhirnya, pada tahun 1969, Konvensi Wina tentang Hukum Perjanjian secara resmi mengakui keberadaan jus cogens. Namun, istilah ini tidak didefinisikan dan negara-negara juga tidak dapat memperoleh kesepakatan mengenai isinya; dalam Konferensi Perserikatan Bangsa-Bangsa mengenai Hukum Perjanjian yang sebelumnya digelar pada tahun 1968 dan 1969, sejumlah negara menyebut pelarangan perbudakan dan genosida sebagai contoh jus cogens, tetapi hanya Belanda, Ghana, Nepal, dan Uruguay yang menganggap pelarangan diskriminasi ras sebagai contoh jus cogens.[7]

Jus cogens di pengadilan internasional

sunting

Pengadilan Pidana Internasional untuk Bekas Yugoslavia adalah pengadilan internasional pertama pertama yang menyebut jus cogens secara eksplisit. Dalam putusan Prosecutor v Furundzija (1998), pengadilan tersebut menyatakan bahwa pelarangan penyiksaan merupakan norma jus cogens.[8] Kemudian, pada tahun 2006 dalam perkara Congo v Rwanda, Mahkamah Internasional untuk pertama kalinya memastikan keberadaan norma jus cogens dan juga menegaskan bahwa pelarangan genosida tergolong sebagai norma tersebut.[9]

Pada tahun 2008, dalam perkara Jurisdictional Immunity of the State (Germany v Italy), Mahkamah Internasional dihadapkan dengan isu mengenai pertentangan antara pelarangan penyiksaan sebagai norma jus cogens dengan kekebalan diplomatik. Jerman menuntut Italia karena pengadilan Italia telah mengizinkan tuntutan perdata terhadap Jerman sehubungan dengan pelanggaran hukum humaniter internasional yang dilakukan oleh Jerman Nazi pada masa Perang Dunia II. Hal ini dianggap telah melanggar kekebalan yurisdiksi Jerman. Di sisi lain, Italia berpendapat bahwa Jerman tidak memiliki kekebalan hukum dalam perkara tersebut karena norma jus cogens dapat mengesampingkan segala norma lainnya, termasuk kekebalan. Pada tahun 2012, Mahkamah Internasional memutuskan untuk menolak argumen Italia. Menurut mahkamah, jus cogens adalah norma substansif, sementara kekebalan hukum adalah norma prosedural, sehingga tidak ada pertentangan di antara kedua norma tersebut.[9]

Pengadilan hak asasi manusia di tingkat regional juga telah menyebut konsep jus cogens. Pada tahun 2002, Mahkamah Eropa untuk Hak Asasi Manusia menyebut pelarangan penyiksaan sebagai norma jus cogens, tetapi mahkamah tersebut juga menolak mengesampingkan kekebalan hukum suatu negara.[9] Pada tahun 2006, Mahkamah Eropa untuk Hak Asasi Manusia juga menyebut pelarangan genosida sebagai jus cogens.[10]

Jus cogens di pengadilan nasional

sunting

Pengadilan-pengadilan di Israel tidak hanya mengakui pelarangan genosida, kejahatan terhadap kemanusiaan, dan penyiksaan sebagai norma jus cogens, tetapi juga pelarangan praktik korupsi dan pencucian uang.[11]

Catatan kaki

sunting
  1. ^ M. Cherif Bassiouni. (Autumn 1996) "International Crimes: ‘Jus Cogens’ and ‘Obligatio Erga Omnes'." Law and Contemporary Problems. Vol. 59, No. 4, hlm. 68.
  2. ^ de Wet, E. (2004-02-01). "The Prohibition of Torture as an International Norm of jus cogens and Its Implications for National and Customary Law". European Journal of International Law (dalam bahasa Inggris). 15 (1): 97–121. doi:10.1093/ejil/15.1.97. ISSN 0938-5428. 
  3. ^ Schmalenbach, Kirsten (2018). Dörr, Oliver; Schmalenbach, Kirsten, ed. Vienna Convention on the Law of Treaties (dalam bahasa Inggris). Berlin, Heidelberg: Springer Berlin Heidelberg. hlm. 965–1012. doi:10.1007/978-3-662-55160-8_56. ISBN 9783662551592. 
  4. ^ a b Seiderman 2001, hlm. 36.
  5. ^ Seiderman 2001, hlm. 36-37.
  6. ^ Cherif Bassiouni. 2011. Crimes Against Humanity: Historical Evolution and Contemporary Application. New York: Cambridge University Press, hlm. 266.
  7. ^ Wheatley 2019, hlm. 149-150.
  8. ^ Shelton 2014, hlm. 84.
  9. ^ a b c Shelton 2014, hlm. 85.
  10. ^ Shelton 2014, hlm. 86.
  11. ^ Dinah Shelton, International Law and Domestic Legal Systems: Incorporation, Transformation, and Persuasion (Oxford University Press 2011), hlm. 8.

Daftar pustaka

sunting