Jurnalis amplop adalah sebuah istilah yang sering digunakan para jurnalis karena mengarah pada pemberian 'amplop' kepada para jurnalis, demi 'menjinakkan' mereka[1]. Tetapi bagi sebagian besar orang, menganggap bahwa pemberian amplop ini dilakukan sebagai bentuk untuk menjaga relasi dengan para wartawan. Itulah sebabnya, pemberian amplop pada jurnalis hingga kini masih 'membudaya' dan berlangsung secara terus-menerus. Amplop yang diberikan menjadi salah satu alasan pengkategorian jurnalis. Sebagian merasa bahwa tindakan yang dilakukan sangat menghancurkan martabat serta harga diri dari seorang jurnalis. Tetapi sebagian yang lainnya merasa bahwa amplop yang diberikan hanyalah bentuk silaturahmi biasa dan tidak perlu dihubungkan dengan proses pembuatan berita.

Masih banyak terjadi polemik atas kehadiran jurnalis amplop bagi para wartawan, salah satunya dengan menganggap bahwa jurnalis amplop ini merupakan bentuk kekerasan kepada pers[2]. Pernyataan bahwa terjadinya kekerasan non fisik kepada pers yakni pada saat seorang wartawan tidak lagi independen dalam membuat suatu berita hanya karena pemberian 'amplop' oleh public relations. Ditemukan bahwa sebagian besar praktisi Public Relations beranggapan bahwa solusi terbaik dalam menjaga hubungan agar tetap baik dengan rekan-rekan wartawan yaitu dengan 'memberikan' berbagai hal. Dari sini salah satunya yakni dengan pemberian 'amplop’ kepada wartawan. Sebenarnya selain amplop, fasilitas lain juga dapat diberikan, misalnya seperti kendaraan, voucher, dan lainnya yang dirasa akan menguntungkan pihak wartawan. Tetapi dari seluruh kegiatan ini, yang paling banyak diberikan kepada wartawan yakni dalam bentuk uang tunai atau lewat amplop.

Bentuk

sunting

Jurnalis amplop adalah sebutan dari wartawan yang menerima suap dari narasumber, tindakan ini mencemarkan kualitas pers di Indonesia. Pemberian amplop kepada jurnalis sering dilakukan untuk menjalin hubungan yang positif dengan wartawan, sisi negatif juga berada didalamnya karena mengandung kecurigaan yang terselubung. Meskipun diakui oleh wartawan bahwa pemberian amplop bukanlah hal yang baru dan sulit dilepaskan dari jurnalistik karena memang sudah membudaya. Akhirnya pemberian amplop kepada wartawan ini terjadi seperti biasa yang berlangsung secara terus menerus.[3] Pemberian amplop kepada wartawan pada akhirnya juga menimbulkan dualisme di kalangan wartawan. Sebagian merasa hal tersebut merendahkan profesi wartawan, namun tidak sedikit yang menganggap amplop tersebut hanyalah bentuk silaturahmi dari instansi dan tidak akan mengganggu netralitas pemberitaan dalam media.

Praktik jurnalis amplop sudah menjadi fenomena tersendiri dalam pers Indonesia. Praktik ini merujuk pada narasumber misal makanan, tiket gratis, uang dan lain-lain yang diberikan pada jurnalis. Jurnalis amplop sering dilakukan oleh institusi pemerintahan, swasta, pendidikan dan umum. Pada umumnya suap diberikan kepada orang yang berpengaruh atau pejabat, hal itu dilakukan agar keinginannya tercapai baik berupa keuntungan tertentu ataupun agar terbebas dari suatu hukuman atau proses hukum. Bentuk-bentuk hadiah jurnalis amplop yaitu [4]  :

  1. Uang dengan amplop.
  2. Bingkisan berupa tunjangan hari raya atau souvenir, kegiatan press tour, undangan makan bersama, tiket gratis dan pemberian pulsa.
  3. Pemberian dari narasumber tanpa bayaran seperti tiket gratis menonton pertandingan, undangan makan, parcel dan amplop saat jumpa pers.
  4. Pemberian berupa saham, tas bermerek, kenaikan pangkat, dan jabatan.

Sejarah di Indonesia

sunting

Istilah jurnalisme amplop dalam kehidupan pers di Indonesia sudah ada sejak tahun 2005. Pada mulanya, jurnalisme amplop dikenal sebagai ‘wartawan amplop’ yaitu jurnalis yang menerima berbagai pemberian dalam bentuk apapun dari narasumber. Praktik penerimaan amplop identik dengan etika jurnalistik yang akan memengaruhi jurnalis itu sendiri dalam menulis dan melaporkan berita. Pemberian fasilitas berupa uang atau barang kepada jurnalis sudah terjadi pada tahun 1940-an. Pers di Indonesia pada awal kemerdekaan masih bersifat pers perjuangan. Memasuki era orde baru, praktik suap di kalangan jurnalis semakin terlihat dari banyaknya jurnalis yang menerima amplop. Pada tahun 1989, terdapat sebuah penelitian yang dilakukan oleh EH Kartanegara kepada 82 wartawan untuk melihat perilaku wartawan terhadap amplop. Hasil penelitian tersebut menunjukkan bahwa 76 wartawan mengaku telah menerima amplop. Seiring berjalannya waktu, wartawan semakin berani meminta amplop kepada narasumber secara terang-terangan[5]

Ada pula wartawan yang dengan sengaja menggunakan profesinya sebagai jurnalis untuk mencari keuntungan pribadi dan mendapatkan amplop dari narasumber. Praktik jurnalisme amplop hingga 2020 masih ada, bahkan motif-motif yang dilakukan berjalan lebih mulus tanpa terlihat dengan jelas. Jurnalisme amplop masih sering terjadi di beberapa kota di Indonesia, seperti Bojonegoro dan Surabaya. Tetapi, tidak sedikit pula wartawan yang menolak tawaran pemberian amplop dari narasumber. Penyebab utama wartawan menerima amplop yaitu kesejahteraan hidup jurnalis pada industri pers Indonesia karena gaji yang diperoleh wartawan tidak layak sehingga penerimaan amplop dianggap sebagai hal yang halal. Meskipun demikian, hal tersebut tetap tidak dapat diterima karena jurnalis tidak boleh menerima amplop dengan alasan apapun dari pihak manapun[6]. Selain itu, liberalisme pers juga menjadi salah satu faktor penyebab adanya jurnalisme amplop karena persaingan yang ketat antar jurnalis dan banyaknya media sehingga memengaruhi profesionalitas jurnalis itu sendiri[7].

Dampak dan Kaitannya dengan Kode Etik Jurnalistik

sunting

Dari kasus-kasus di atas tentu tidak terlepas dari pertumbuhan media yang pesat setelah era reformasi menyebabkan munculnya tantangan baru dan berbagai masalah bagi dunia pers di Indonesia. Tidak semua media patuh dan memenuhi standar yang ditetapkan oleh Dewan Pers sebagai badan pengawas.

Dalam menjalankan tugas jurnalistik, tingkat pelanggaran media terhadap Kode Etik Jurnalistik (KEJ) cenderung tinggi. Seperti contoh praktik "wartawan amplop" sudah menjadi pengetahuan umum di kalangan wartawan, baik di media cetak maupun media elektronik. Mereka menerima "amplop" yang berisi sejumlah uang dari narasumber.[8] Posisi tersebut membuat wartawan sulit untuk mempertahankan kepatuhan terhadap Kode Etik Jurnalistik Wartawan Indonesia serta Peraturan Perundang-Undangan yang berlaku. Padahal wartawan memiliki kewajiban untuk menerapkan prinsip-prinsip etika yang terdapat dalam Kode Etik Jurnalistik (KEJ) yang telah ditandatangani Dewan Pers bersama 29 organisasi wartawan pada 2006.

Salah satu ayat yang dirumuskan dalam KEJ pasal 6 berbunyi, ”Wartawan Indonesia tidak menyalahgunakan profesi dan tidak menerima suap.” Penafsiran dari pasal tersebut juga dijelaskan dalam Kode Etik Jurnalistik (KEJ), sebagai berikut:[9]

  1. Penyalahgunaan profesi adalah segala tindakan yang menggunakan informasi yang diperoleh saat bertugas untuk keuntungan pribadi sebelum informasi tersebut menjadi diketahui oleh publik umum.
  2. Suap adalah segala bentuk pemberian dalam bentuk uang, barang, atau fasilitas dari pihak lain yang dapat mempengaruhi kemandirian dan independensi wartawan.

Maraknya fenomena ini dapat merusak citra positif wartawan Indonesia dan mengurangi kepercayaan masyarakat terhadap profesi jurnalistik, terutama wartawan. Fenomena ini juga menyebabkan kekacauan dalam masyarakat dan kalangan wartawan, serta memengaruhi kesadaran hukum di antara wartawan dan masyarakat. Selain itu, terdapat Pasal 1 dan Pasal 2. Pasal 1 juga menjelaskan terkait independensi yang seharusnya dimiliki oleh jurnalis di mana Pasal 1 tersebut berbunyi, “Wartawan Indonesia bersikap independen, menghasilkan berita yang akurat, berimbang, dan tidak beritikad buruk.” Adapun penafsiran dari Pasal 1 yang juga dijelaskan dalam Kode Etik Jurnalistik, yaitu:[10]

  1. Independen berarti memberitakan peristiwa atau fakta sesuai dengan suara hati nurani tanpa campur tangan, paksaan, dan intervensi dari pihak lain termasuk pemilik perusahaan pers.
  2. Akurat berarti dipercaya benar sesuai keadaan objektif ketika peristiwa terjadi.
  3. Berimbang berarti semua pihak mendapat kesempatan setara.
  4. Tidak beritikad buruk berarti tidak ada niat secara sengaja dan semata-mata untuk menimbulkan kerugian pihak lain.

Melalui Pasal 1 mengenai sikap independensi yang harus dimiliki oleh wartawan atau jurnalis, maka jurnalis harus melakukan dan menjalankan tugasnya sebagai jurnalis yang jujur tanpa adanya keberpihakan. Secara sederhana, jurnalis harus meliput dan menulis berita tanpa adanya keberpihakan kepada individu, kelompok, dan atau golongan tertentu[11]. Di samping itu, terdapat Pasal 2 yang berbunyi, “Wartawan Indonesia menempuh cara-cara yang profesional dalam melaksanakan tugas jurnalistik.”[12].

Selain itu, terdapat beberapa peranan penting yang dilakukan oleh organisasi profesi jurnalis dalam menegakkan Kode Etik Jurnalistik, yaitu[13]:

  1. Organisasi profesi jurnalis membentuk sebuah majelis kode etik yang mengedepankan sikap independensi serta senantiasa dalam melakukan pengawasan terhadap pelaksanaan Kode Etik Jurnalistik.
  2. Organisasi profesi jurnalis secara rutin menyelenggarakan pelatihan teknis dan pelatihan etis jurnalistik yang ditujukan kepada setiap anggotanya.
  3. Organisasi profesi jurnalis ambil andil dalam memperjuangkan hak-hak anggota dalam perusahaan di mana anggota tersebut bekerja.
  4. Organisasi profesi jurnalis perlu melaksanakan kegiatan sosialisasi yang bertujuan untuk menegakkan Kode Etik Jurnalistik seperti mengadakan kampanye wartawan yang menolak amplop atau suap.

Referensi

sunting
  1. ^ Nurjanah, Adhianty; Widyasari, Wulan; Yulianti, Frizki Yulianti (2015-06-01). "WARTAWAN DAN BUDAYA AMPLOP (BUDAYA AMPLOP PADA WARTAWAN PENDIDIKAN DALAM KAITANNYA DENGAN MEDIA RELATIONS)". INFORMASI. 45 (1): 15. doi:10.21831/informasi.v45i1.7766. ISSN 2502-3837. 
  2. ^ Nurjanah, A., Widyasari, W., & Yulianti, F. (2015). Public relations & media relations (kritik budaya amplop pada media relations institusi pendidikan di Yogyakarta). Jurnal Komunikasi, 7(1), 41-56.
  3. ^ Nurnisya, Yulianti, Frizki., Widyasari, Wulan., & Nurjanah, Adhianty. (2015). Wartawan dan budaya amplop (budaya amplop pada wartawan pendidikan dalam kaitannya dengan media relations). Jurnal INFORMASI Kajian Ilmu Komunikasi, 45(1), 15-24.
  4. ^ Lewi Pramesti, Olivia (2014-08-18). "Penerapan Kode Etik di Kalangan Jurnalis". Jurnal ILMU KOMUNIKASI. 11 (1). doi:10.24002/jik.v11i1.386. ISSN 2548-8643. 
  5. ^ Moebin, A. A. (2020). Strategi komunikasi AJI Bojonegoro dalam mencegah praktik jurnalisme amplop. Jurnal Dinamika Penelitian: Media Komunikasi Sosial Keagamaan, 20(1), 57-80. https://ejournal.uinsatu.ac.id/index.php/dinamika/article/view/3272/1355
  6. ^ Sopian, A. dkk. (2008). Jurnalisme sastrawi: Antologi liputan mendalam dan memikat (2nd ed.). Jakarta: PT Gramedia.
  7. ^ Ambard, K. dkk. (2018). Kualitas jurnalisme publik di media online: Kasus Indonesia. Yogyakarta: UGM Press.
  8. ^ Dwicahyani, M. N. (2018). PELAKSANAAN PASAL 4 KODE ETIK JURNALISTIK WARTAWAN INDONESIA TERHADAP PRAKTEK “PENERIMAAN AMPLOP” OLEH WARTAWAN DALAM LINGKUP PWI JATIM. NOVUM: JURNAL HUKUM, 5(3), 76-83.
  9. ^ BAYA, A. C. (2018). Strategi Menghadapi Wartawan Abal-Abal. IJIC: Indonesian Journal of Islamic Communication, 1(1), 125-141.
  10. ^ Metrotimes. (2016). Kode Etik Jurnalistik. Diakses pada 22 Mei 2023, dari https://metrotimes.news/kode-etik/
  11. ^ Badri, M. (2017). Jurnalisme Independen VS Jurnalisme Partisipan. Diakses pada 22 Mei 2023, dari http://ajikotamandar.or.id/2017/01/06/jurnalisme-independen-vs-jurnalisme-partisan/
  12. ^ Pratama, C. D. (2023). Kode Etik Jurnalistik: Definisi dan Isinya. Diakses pada 22 Mei 2023, dari https://www.kompas.com/skola/read/2020/12/21/205632869/kode-etik-jurnalistik-definisi-dan-isinya
  13. ^ Sulistyowati, F. (2006). Organisasi profesi jurnalis dan kode etik jurnalistik. Jurnal Ilmu Komunikasi, 3(2), 119-129. https://scholar.google.com/scholar?hl=id&as_sdt=0%2C5&q=sanksi+dari+kode+etik+jurnalistik&btnG=#d=gs_qabs&t=1684770909929&u=%23p%3DO20GJq5I734J