Jual beli istri (kebiasaan Inggris)


Jual beli istri adalah suatu cara mengakhiri ikatan pernikahan yang tidak memuaskan berdasarkan kesepakatan bersama yang mungkin bermula pada akhir abad ke -17. Kebiasaan ini merupakan praktik yang biasa dilakukan pada zaman itu karena perceraian yang resmi tidak mungkin dilakukan kecuali oleh orang kaya. Setelah memamerkan istrinya dengan tali kekang di bagian leher, lengan, atau pinggang istri, lalu suami akan melelang istrinya dan menjualnya ke penawar tertinggi. Praktik menjual istri dijadikan latar belakang untuk sebuah novel berjudul The Mayor of Casterbridge karangan Thomas Hardy. Karakter utama dalam novel ini menjual istrinya sendiri pada awal cerita. Perbuatan tersebut menghantui dirinya seumur hidup, dan pada akhirnya menghancurkan dirinya.

A colour illustration of a market scene. A woman is attached to one of 13 men, who stand on either side of a wooden fence, looking at her with various expressions of glee on their faces. A drummer boy, in military costume, beats a large drum. Two dogs stand in the dirt. One of the men holds what appears to be a mug of ale. The woman stands proudly, one arm bent toward her waist, and has a smirk on her face. To the extreme right, in the back of the scene, another woman appears shocked by the drama before her.
Lukisan Menjual Istri (1812-1814) oleh Thomas Rowlandson. Lukisan ini memberi kesan kepada orang yang melihat bahwa istri adalah pihak yang bersedia untuk dijual, dan sebagai "acara ramah tamah" yang ditandai dengan gelak tawa.[1]

Meskipun kebiasaan ini tidak mempunyai dasar hukum yang nyata dan sering berakhir dengan tuntutan hukum, terutama pada pertengahan abad ke-19 dan seterusnya, sikap para aparat berwenang pada waktu itu terkesan samar-samar atau kurang tegas terhadap kebiasaan ini. Setidaknya, s seorang hakim pada awal abad ke-19 yang tercatat di dalam sebuah pernyataan tercatat menyatakan bahwa dia tidak mempunyai hak untuk mencegah praktik kebiasaan jual beli istri. Ada beberapa kasus jual beli istri yang terjadi dikarenakan Undang-Undang orang miskin di Inggris pada masa itu memaksa para suami dari kalangan masyarakat miskin untuk menjual istrinya dibandingkan menjalankan kehidupan rumah tangga mereka di rumah kerja.

Praktik penjualan istri terus dilakukan di Inggris hingga awal abal ke-20. Meskipun seorang yuris dan sejarawan, James Bryce menulis di dalam pernyataannya pada tahun 1901, bahwa praktik jual beli istri sudah jarang dilakukan pada waktu itu. Berdasarkan salah satu kasus terakhir praktik jual beli yang dilaporkan kepada pengadilan kota Leeds pada tahun 1913, seorang perempuan memberikan kesaksian bahwa dia telah dijual ke salah seorang rekan kerja suaminya seharga 1 pound sterling.

Latar belakang hukum

sunting

Jual beli istri adalah suatu praktik yang bersumber dari "tradisi yang diciptakan" yang terjadi kira-kira pada akhir abad ke-17 hingga abad 18[2] Meskipun demikian, ada sebuah kasus pada tahun 1302 tentang seorang suami yang memberikan istrinya kepada pria yang sedang berselingkuh dengannya dengan sebuah akta.[3] Bersamaan dengan meningkatnya kepopuleran surat kabar, praktik ini makin sering diberitakan pada paruh kedua abad ke-18.[4] Meskipun tradisi jual beli istri merupakan tradisi yang aneh yang sering didengar sekaligus dilaksanakan oleh kelas menengah bawah Inggris, tradisi ini tidak mempunyai jejak hukum sama sekali untuk membenarkan perbuatan tersebut. [5]

Pernikahan

sunting

Hingga disahkannya UU Pernikahan Tahun 1753, upacara pernikahan formal di hadapan seorang pendeta bukan merupakan persyaratan hukum di Inggris, dan pencatatan pernikahan juga tidak perlu. Pernikahan hanya butuh persetujuan dari kedua belah pihak yang ingin menikah[6] dengan persyaratan bahwa kedua pasangan telah memenuhi persyaratan umur yang diperbolehkan secara hukum yang membatasi usia minimal untuk menikah dengan minimum umur 12 tahun untuk perempuan dan 14 tahun untuk laki-laki, belum menikah dengan orang lain dan tidak terlibat dalam perselingkuhan.[7] Setelah menikah, wanita akan memiliki kedudukan yang lebih rendah dibandingkan suaminya. Pasangan suami dan istri menjadi suatu satu kesatuan yang diakui, sebuah pengakuan status yang disebut juga dengan kedudukan wanita bersuami (coverture). Seorang hakim terkenal dari Inggris bernama Sir William Blackstone menulis pada tahun 1753 bahwa "substansi dan eksistensi wanita ditangguhkan selama pernikahan, atau setidaknya dikonsolidasikan dan dimasukkan ke dalam hak-hak suaminya yang wajib menjaga dan melindungi, apapun yang wanita butuhkan". Seorang wanita yang menikah tidak memiliki hak untuk memiliki harta properti dan mereka sendiri adalah milik suami mereka.[8] Walaupun hukum ini memberikan banyak keterbatasan bagi perempuan, hukum ini ditujukan untuk kepentingan dan keuntungan perempuan.[7]

Perceraian

sunting

Terdapat lima metode yang diketahui untuk bercerai yang dapat dilakukan pada periode modern awal sejarah Inggris. [9]

Referensi

sunting
Catatan kaki
Catatan
  1. ^ Vaessen, Rachel Anne (2006), Humour, Halters and Humiliation: Wife Sale as Theatre and Self-divorce (thesis) (pdf), ir.lib.sfu.ca, diarsipkan (PDF) dari versi asli tanggal 2011-07-06, diakses tanggal 18 December 2009 
  2. ^ Thompson (1991), hlm. 442
  3. ^ Bryce 1901, hlm. 820
  4. ^ Mansell & Meteyard 2004, hlm. 88
  5. ^ Bryce 1901, hlm. 819-20
  6. ^ Bryce (1901), hlm. 816–817
  7. ^ a b Leneman, Leah (1999), "The Scottish Case That Led to Hardwicke's Marriage Act", Law and History Review, University of Illinois Press, 17 (1): 161, doi:10.2307/744190, diarsipkan dari versi asli tanggal 2012-05-25, diakses tanggal 16 December 2009 
  8. ^ Caine & Sluga 2002, hlm. 12–13
  9. ^ Stone (1990), hlm. 141
Bibliografi

Pranala luar

sunting