Joseph Kam (1769-1833) adalah seorang misionaris Kristen Protestan yang bekerja di wilayah Maluku dan sekitarnya lalu mati.[1] Joseph Kam berasal dari Belanda dan bekerja sebagai pendeta sekaligus misionaris di Maluku.[1] Ia mendapat gelar Rasul Maluku oleh masyarakat Kristen di Maluku karena jasanya dalam perkembangan kekristenan di sana.[1]

Interior Gereja Joseph Kam di Ambon. Gedung gereja ini mengabadikan nama Joseph Kam dan didirikan di lokasi makam Joseph Kam.

Riwayat Hidup

sunting

Awal Kehidupan

sunting

Joseph Kam lahir pada bulan September 1769.[1][2] Ayahnya bernama Joost Kam, seorang pemangkas rambut dan pedagang kulit di ´s-Hertogenbosch, Belanda.[1] Keluarga Kam sebenarnya berasal dari Swiss, namun kakek Joseph Kam, Peter Kam pindah ke Belanda dan menikahi seorang gadis Belanda.[1] Keluarga Kam adalah anggota Gereja Hervormd yang dipengaruhi semangat pietisme Herrnhut, dan mempunyai hubungan dengan kelompok Herrnhut di Zeist.[1][2] Kelompok pietisme Herrnhut ini memiliki pengaruh yang besar bagi kehidupan Joseph Kam.[1]

Setelah Kam menyelesaikan pendidikan dasar dan menengah, ia membantu ayahnya dalam usaha perdagangan kulit.[1][2] Kam sering mengunjungi Zeist dan menghadiri pertemuan-pertemuan yang diadakan komunitas Herrnhut.[1] Akibatnya timbul keinginan dalam diri Kam untuk memberitakan Injil kepada bangsa-bangsa yang belum mengenal kekristenan.[1][2] Akan tetapi, ia harus menahan keinginannya itu selama bertahun-tahun karena orangtuanya tidak rela ia menjadi penginjil.[1] Orangtuanya menginginkan Kam tetap membantu usaha perdagangan kulit.[1][2]

Pada tahun 1802, ayah dan ibu Kam meninggal.[1][2] Usaha perdagangan kulit semakin merosot, dan pada akhirnya kegiatannya dihentikan.[1][2] Kam kemudian bekerja sebagai pesuruh di Mahkamah Nasional.[1][2] Kam menikah pada tahun 1804.[1] Dua bulan setelah melahirkan anaknya yang pertama, istri Kam meninggal.[1] Beberapa bulan kemudian anak pertamanya meninggal dunia karena penyakit kejang-kejang.[1] Pengalaman ini membuat Kam memutuskan untuk menjadi seorang misionaris.[1]

 
Rotterdam, kota tempat Joseph Kam pernah mengikuti pendidikan persiapan calon zendeling.

Pendidikan Persiapan

sunting

Kam mengajukan surat untuk menjadi zendeling (Belanda: utusan) kepada Nederlandsch Zendeling-Genootschap (NZG).[1] Surat ini dibahas dalam rapat NZG di Rotterdam pada tanggal 7 Desember 1807.[1] Kam kemudian diundang untuk mengikuti tes calon zendeling.[1] Setelah diterima di NZG, ia dididik oleh pendeta-pendeta dari kalangan NZG di Den Haag, karena NZG belum mempunyai sekolah untuk calon penginjil.[1][2] Ia belajar sambil tetap bekerja di Mahkamah Nasional.[1] Pada tahun 1811, Mahkamah Nasional dibubarkan.[1] Kam kemudian pindah ke Rotterdam untuk melanjutkan persiapan calon zendeling di sana.[1]

Di Rotterdam ia melanjutkan pendidikan calon zendeling, bersama dengan Gottlob Brückner dan Johann Ch. Supper yang berasal dari Jerman.[1] Dalam pendidikan calon zendeling, Kam dan rekan-rekannya menerima pendidikan teologi, ilmu pasti, sejarah umum, dan musik.[1] Pada tahun 1811, pendidikan persiapan bagi Kam dianggap selesai oleh pihak NZG.[2] Akan tetapi, ia belum dapat diberangkatkan ke daerah tujuan misi karena perang antara Inggris dan Prancis.[2] Belanda pada waktu itu menjadi negara bawahan Prancis, sehingga terlibat juga dalam perang tersebut.[2] Akhirnya, Kam dikirim NZG ke komunitas Herrnhut di Zeist sebagai tenaga pembantu sementara.[2]

NZG kemudian berusaha untuk dapat mengirimkan Kam ke ladang misi dengan cara menyelundupkannya ke Inggris.[2] NZG bekerja sama dengan London Missionary Society (LMS) untuk mengirimkan Kam ke Hindia Belanda.[2] Pada Oktober 1812, Kam dan rekan-rekannya tiba di London, setelah sebelumnya berkeliling ke Moskow, Hamburg, Kopenhagen, dan Göteborg.[1] Di London, Kam dan kedua rekannya menghadap pengurus LMS. Mereka kemudian dikirim ke Gosport, dekat Portsmouth untuk menerima pendidikan persiapan lagi sambil melayani jemaat-jemaat di sana.[1] Kam, Brückner, dan Supper dinyatakan lulus dalam ujian calon penginjil yang diadakan di London.[1][2] Tahun 1813, Kam ditahbiskan menjadi pendeta di London.[2] Dengan demikian, Kam dapat melayankan sakramen di ladang misi dan siap untuk diberangkatkan ke Hindia Belanda.[2]

Ke Batavia, Surabaya, dan Ambon

sunting

Pada tahun 1814, Kam dalam usia 44 tahun tiba di Batavia bersama kedua rekannya, Brückner dan Supper.[2][3] Pada waktu itu, gereja negara Indische Kerk bekerja sama dengan NZG untuk mendatangkan tenaga pembantu.[3] Kam dan kedua rekannya menjadi utusan NZG sekaligus menjadi pegawai Indische Kerk.[3] Sebenarnya mereka berniat untuk bekerja di tengah-tengah masyarakat yang belum Kristen.[3] Namun, Indische Kerk lebih memprioritaskan pemeliharaan jemaat-jemaat yang sudah ada.[3] Mereka harus mengisi kekosongan di jemaat-jemaat Indische Kerk yang sudah ada.[3] Supper tetap tinggal di Batavia untuk melayani jemaat di sana, Brückner ditempatkan di Semarang, dan Kam sendiri ditempatkan di Ambon.[1][3]

Pertengahan tahun 1814, perjalanan Kam ke Ambon harus dihentikan di Surabaya karena tidak ada kapal yang berlayar ke Ambon.[1] Selama di Surabaya, Kam bekerja sementera di jemaat Indische Kerk di sana.[2] Di Surabaya, ia bertemu dengan seorang pedagang arloji asal Jerman, Johannes Emde, yang sangat peduli dengan penginjilan di kalangan orang Jawa.[3] Kam turut berjasa menanamkan kesadaran akan panginjilan di dalam diri Emde.[3] Selain itu, Kam juga membentuk komunitas kecil Orang-orang Saleh Surabaya, yang giat dalam penginjilan.[2]

Pada Maret 1815 Kam tiba di Ambon.[2][4] Sebelum Kam, sudah ada Jabez Carey, seorang misionaris Baptis - anak dari William Carey, misionaris di India yang terkenal - yang melayani di Maluku.[4] Namun, karena perbedaan pemahaman mengenai baptisan (Kam menerima pembaptisan terhadap anak-anak, sedangkan Carey menolaknya), Carey akhirnya meninggalkan Maluku pada tahun 1818.[3][4] Setibanya di Ambon, Kam langsung memulai pekerjaannya untuk menghidupkan kembali kekristenan di Ambon yang sudah lama diterlantarkan.[2] Dalam pelayanannya di Maluku, Kam melakukan semua tugas seorang pendeta, seperti berkhotbah, mengunjungi jemaat-jemaat di pedalaman, memperdamaikan perselisihan dan pertengkaran, dan melayankan sakramen-sakramen.[2][3] Selain itu, ia juga meninjau pekerjaan para guru jemaat dan membantu mereka dalam mengajar.[3] Ia juga aktif dalam mengembangkan bacaan-bacaan Kristen, seperti Alkitab, Mazmur, Katekismus, dan khotbah-khotbah untuk jemaat-jemaat yang tidak memiliki pendeta atau guru jemaat.[4] Ia juga memperjuangkan agar Kota Ambon menjadi pusat penginjilan di Hindia Belanda bagian Timur.[2] Tak lama setelah Kam tiba di Ambon, ia menikahi seorang perempuan Indo-Belanda, Sara Maria Timmerman, yang setia mendampinginya sampai akhir hidupnya.[2][4] Istri Kam sangat membantunya dalam pelayanan.[2] Ia mengajarkan Bahasa Melayu kepada para misionaris yang baru datang dari Eropa.[2] Mereka berdua menjadi pembimbing bagi para tenaga baru ini.[2]

 
Makam Joseph Kam yang terletak di halaman Gereja Joseph Kam, Ambon.

Akhir Hidup

sunting

Kam terus melakukan perjalanan untuk melayani jemaat-jemaat di Maluku.[2] Dalam perjalanannya ke Maluku Tenggara, ia menderita sakit parah, dan terpaksa kembali ke Ambon.[2] Setelah 20 tahun bekerja di Maluku, Kam meninggal pada tanggal 18 Juli 1833.[2] Ia dimakamkan di pekuburan Belakang Soya, Ambon yang sekarang menjadi halaman gedung gereja yang mengabadikan namanya.[1]

Karya Kam di Maluku dan Sekitarnya

sunting

Dalam pemikiran Kam, sebelum tiba di Maluku, dia akan bertemu dengan orang-orang yang belum mengenal Kristen dan memberitakan Injil kepada mereka.[3] Namun, tidak demikian, tugas Kam di Maluku adalah memelihara jemaat-jemaat yang sudah ada.[3] Pengaruh pietisme dalam diri Kam membuatnya merasa bahwa seseorang harus menerima Kristus secara pribadi.[3] Akan tetapi, gereja yang ditemuinya adalah gereja yang telah menjadi gereja rakyat, dan karena itu tidak semua orang dalam gereja menerima Kristus secara pribadi.[3] Kam menerima keadaan itu dan ia langsung mengisi kekosongan pendeta sejak 1800 akibat ditinggalkan pendeta-pendeta dari kalangan Veerenidge Oost-Indische Compagnie (VOC).[3]

Bidang Gerejawi

sunting

Dua hari setelah tiba di Kota Ambon, Kam langsung melayankan pemberitaan Firman.[3] Tiga minggu kemudian ia memimpin perayaan perjamuan kudus.[3] Setelah itu, ia membaptis ribuan anak di Kota Ambon yang belum sempat dibaptis, dengan menetapkan jatah 120 orang setiap minggu.[3] Sekitar tahun 1815-1816, Kam masih merupakan satu-satunya pendeta di wilayah Maluku, bahkan di seluruh Indonesia Timur.[3] Karena itu, Kam lebih dulu memprioritaskan jemaat-jemaat di Pulau Ambon, Haruku, Saparua, dan Seram.[2][3] Ia mengadakan perkunjungan ke jemaat-jemaat, memberitakan Firman, melayankan sakramen-sakramen, memberkati perkawinan, dan menegakkan disiplin gereja.[3][5] Di samping itu, ia juga membiasakan warga jemaat dengan pertemuan doa harian, mengadakan penggembalaan rutin, membimbing warga jemaat lokal untuk menjadi pelayan di gereja, serta membantu mengadakan pemilihan penatua dan diaken.[5] Setelah seluruh jemaat di wilayah itu ia kunjungi barulah ia mengadakan perjalanan ke daerah-daerah lain.[3]

 
Kepulauan Maluku, wilayah pekerjaan Joseph Kam selama menjadi misionaris

Setelah semua jemaat di Ambon dan sekitarnya terlayani, tahun 1817 Kam segera mengunjungi jemaat-jemaat di Ternate, Minahasa, dan Sangir.[2][3][6] Di daerah-daerah ini, kondisi jemaat lebih buruk daripada di Ambon.[3] Sangir dan Minahasa tidak pernah lagi dikunjungi oleh pendeta sejak 1789.[6] Setelah melayani di sana, ia mengunjungi Kepulauan Barat Daya dan Maluku Tenggara.[6] Di Maluku Tenggara, keadaannya lebih menyedihkan lagi.[6] Mereka hanya mengingat bahwa dulu nenek moyang mereka pernah menjadi orang Kristen.[6] Setelah perjalanannya ke utara dan selatan, ia kembali ke Ambon.[6] Di Ambon dan Seram sendiri masih ada orang Kristen yang percaya pada roh nenek moyang dan takhayul.[6] Mereka belum bisa disebut orang Kristen dewasa.[6] Jemaat-jemaat itu hanya memiliki guru jemaat yang setia memelihara iman jemaat agar tetap Kristen.[6]

Sampai tahun 1823, ia terus berkeliling Ambon, Minahasa, Sangir, Ternate, Tenggara, sampai Timor.[6] Oleh karena itu, ia harus mengatur jadwal untuk perkunjungan.[6] Di setiap jemaat ia tinggal selama dua hari.[6] Ketika tiba pagi hari di sebuah jemaat, ia langsung disambut dan diantar ke sekolah untuk meninjau pendidikan.[6] Sore harinya ia memeriksa calon sidi dan menyelesaikan perkara disiplin gereja.[6] Malamnya diadakan kebaktian.[6] Dalam kebaktian ini, anak-anak yang belum dibaptis dan orang-orang dewasa yang baru masuk Kristen dibaptiskan, anggota jemaat baru disidi, perkawinan-perkawinan diberkati, dan jemaat dipersiapkan untuk perjamuan kudus.[6] Keesokan paginya diadakan perayaan perjamuan kudus; sorenya Kam melakukan percakapan dengan para guru dan penatua.[6] Malam hari diadakan kebaktian lagi.[6] Setelah itu Kam melanjutkan perjalanan ke jemaat lain.[6] Ini yang dilakukannya terus-menerus selama hampir 20 tahun.[6]

Bidang Pendidikan

sunting

Kam juga banyak berjasa di bidang pendidikan.[6] Ia membimbing dan memberi perhatian kepada guru-guru.[6] Tahun 1819 di Ambon, ia membuka sekolah untuk mendidik orang Ambon menjadi guru yang dapat mengajar dengan lebih baik di gereja dan di sekolah.[6] Akan tetapi, hasilnya belum begitu menggembirakan.[6] Untunglah, para murid di sekolah ini setia membantu Kam dalam pelayanannya.[6] Di samping itu, mereka juga mendapatkan pelajaran khusus selama tiga jam dalam satu minggu.[6] Lulusan dari sekolah itu, ada juga yang baik dan berkualitas sehingga kemudian diangkat menjadi pendeta pribumi pertama di Ambon, yaitu W. Hehanusa.[6] Sekolah yang dibuka Kam inilah yang menjadi perintis dibukanya Sekolah Pendidikan Guru oleh Hehanusa dan Bernard Roskott (pengganti Kam) pada tahun 1835.[3][6]

Untuk keperluan bahan pengajaran, Kam mendirikan percetakan di halaman rumahnya.[6] Di situ diterbitkanlah antara lain 14.000 Katekismus Kecil, 4.000 Katekismus Besar, dan Khotbah-khotbah baru.[4][6] Selain itu, ia juga mendatangkan puluhan ribu Alkitab dan buku nyanyian Mazmur.[4][6] Buku-buku ini kemudian disebarkan ke mana-mana di seluruh Maluku.[6] Di bidang musik gereja, ia mengajar nyanyian-nyanyian jemaat dan Mazmur, serta memperkenalkan paduan suling untuk mengiringi nyanyian jemaat.[6]

Tenaga-tenaga Baru

sunting

Kam merasa pekerjaannya terlalu berat, sehingga ia meminta NZG untuk mengutus tenaga misionaris yang baru untuk membantunya.[2][3] Setelah berdatangan tenaga-tenaga baru, Kota Ambon menjadi pusat kegiatan misionaris di Indonesia Timur.[2] Kam menjadi pembimbing bagi para tenaga baru ini.[2] Ia mengajak mereka ke jemaat-jemaat untuk mengenal dan bekerja secara langsung.[2] Ia juga mempersiapkan dan mengutus beberapa penginjil ke daerah Minahasa dan Maluku Tenggara.[3][6] Untuk membangun kehidupan gereja di Minahasa, ia mempersiapkan dan mengutus Gerrit Jan Hellendoorn, Johann Friedrich Riedel, dan Johann Gottlob Schwarz, yang kemudian mendirikan gereja di Minahasa.[4][6] Delapan orang utusan baru ditempatkan di Maluku Tenggara, tetapi mengalami kegagalan karena tidak tahan, kesepian, dan kelaparan.[3][6]

Rasul Maluku

sunting

Karya Kam di Maluku sangat menginspirasi masyarakat Maluku.[1] Oleh karena itu, muncullah berbagai kisah mengenai Joseph Kam Rasul Maluku, yang diceritakan secara turun-temurun.[1] Kisah-kisah itu ada yang berdasarkan fakta, namun ada juga yang merupakan legenda yang berkembang di kalangan masyarakat Maluku.[1] Kisah yang paling terkenal adalah mengenai Hamman Pardidu.[1] Dalam kisah ini diceritakan mengenai Hamman Pardidu yang dikutuk tidak diterima bumi ketika mati, karena durhaka kepada ibunya.[1] Lalu Kam melepaskan kutuk itu darinya sehingga Hamman dapat dimakamkan dengan layak.[1] Ada banyak lagi kisah-kisah ajaib yang dilakukannya semasa ia berkarya di Maluku, dan sampai sekarang masih terus diceritakan.[1] Begitu berartinya karya Kam di Maluku, sehingga ia diberi julukan "Rasul Maluku".[1][6]

Referensi

sunting
  1. ^ a b c d e f g h i j k l m n o p q r s t u v w x y z aa ab ac ad ae af ag ah ai aj ak al am an ao ap aq (Indonesia)I.H. Enklaar. 1980. Joseph Kam: Rasul Maluku. Jakarta: BPK Gunung Mulia.
  2. ^ a b c d e f g h i j k l m n o p q r s t u v w x y z aa ab ac ad ae af ag ah ai aj ak al F.D. Wellem. cet. ke-2 2000. Riwayat Hidup Singkat Tokoh-tokoh dalam Sejarah Gereja. Jakarta: BPK Gunung Mulia. hlm. 155-7.
  3. ^ a b c d e f g h i j k l m n o p q r s t u v w x y z aa ab ac ad Th. van den End. cet. ke-4 1988. Ragi Carita 1: Sejarah Gereja di Indonesia 1500-1860. Jakarta: BPK Gunung Mulia. hlm. 162-4.
  4. ^ a b c d e f g h (Inggris)Jan S. Aritonang & Karel Steenbrink (eds.). 2008. A History of Christianity in Indonesia. Leiden: Koninklijke Brill NV. hlm. 386-9.
  5. ^ a b Samuel B. Hakh & Yusak Soleiman (eds.). 2005. Sejarah Gereja Protestan di Indonesia: 27 Februari 1605 - 27 Februari 2005. Jakarta: BPH GPI. hlm. 67.
  6. ^ a b c d e f g h i j k l m n o p q r s t u v w x y z aa ab ac ad ae af ag ah ai aj ak Th. van den End. cet. ke-15 2001. Harta dalam Bejana: Sejarah Gereja Ringkas. Jakarta: BPK Gunung Mulia. hlm. 252-6.