Jasawidagda, yang bergelar Raden Tumenggung (01 April 1886 – 07 Februari 1958) merupakan seorang Sastrawan Jawa.[1] kelahiran Pradan, Manisrenggo, Klaten Jasawidagda memiliki nama kecil Raden Rahardi Jasawidagda, yang merupakan putra dari Raden Ngabei Mangoenkarjasa, seorang Asisten Wedana di Manisrenggo, Klaten. Jasawidagda menikah dengan R. A. Arjaeni dan dikaruniai 4 orang anak. Setelah istrinya meninggal, dirinya menikah lagi dengan istri kedua yang disebut dengan R. A. Jasawidagda dan dikaruniai 3 orang anak. Jasawidagda merupakan putra ke-3 dari 9 bersaudara. Dirinya meninggal pada tanggal 7 Februari 1958, saat usianya menginjak 76 tahun di Klaten. Dilihat dari latar belakang keluarganya, Jasawidagda berasal dari keluarga priyayi. Bahkan, dirinya sendiri hidup sebagai seorang priyayi. Akan tetapi, ia sering kali menolak untuk bergaya hidup seperti tersebut yang menurutnya sudah tak lagi sesuai dengan tuntutan di era modern.

Raden Tumenggung
Jasawidagda
LahirRaden Rahardi Jasawidagda
1 April 1886
Manisrenggo, Klaten, Hindia Belanda
Meninggal7 Februari 1958(1958-02-07) (umur 71)
Klaten, Indonesia
Kewarganegaraan Indonesia
PekerjaanSastrawan
Suami/istriR. A. Arjaeni
R. A. Jasawidagda
Orang tuaRaden Ngabei Mangoenkarjasa (ayah)

Karier

sunting

Jasawidagda memulai karier pendidikannya di Sekolah Rakyat yang ada di Klaten. Baru beberapa tahun, dirinya pindah ke Surakarta. Setelah lulus dari Sekolah Rakyat, dirinya memilih untuk melanjutkan ke Kweekschool atau Sekolah Guru yang ada di Yogyakarta pada tahun 1920 hingga 1925. Setelah itu, dirinya mengabdikan diri untuk menjadi guru di beberapa daerah, sebelum akhirnya dirinya kembali ke Surakarta dan bekerja di berbagai posisi di kota tersebut. Berbekal pendidikan guru sebagai latar belakangnya, Jasawidagda aktif dalam berbagai macam kegiatan sosial politik, diantaranya menjadi seorang aktivis di organisasi Budi Utomo dan Persatuan Guru Indonesia yang kala itu bernama Persatuan Guru Hindia-Belanda.

Sebagai seorang guru, Jasawidagda sering kali berpindah tugas dari daerah satu ke daerah yang lain. Pada awalnya, pada tahun 1905, dirinya mengajar di Inslandse School Surakarta dan selanjutnya pada tahun 1907 pindah ke Kabupaten Kendal. 3 tahun selanjutnya, menjadi seorang Kepala Sekolah di Ngrambe, Ngawi. Semenjak tahun 1912, dirinya diangkat menjadi Guru Kepala di Sekolah Tingkat I Siswa Mangkoenegaran di Surakarta. Pada tahun 1914, dirinya diangkat sebagai Kepala Normaal School di Surakarta. Selanjutnya, pada tahun 1915, dirinya menjabat sebagai guru di Inslandse Onderwyzer atau Sekolah Guru Pribumi. Karena sangat dekat dengan Mangkoenegaran, dirinya diangkat sebagai Kepala Asrama Hapsara, yaitu asrama untuk siswa Algemeene Middelbare School (AMS) yang setaraf SMA sekarang. Bahkan, berkat kepandaiannya tersebut, dirinya diangkat menjadi Bupati Mandrapura, yaitu Kepala Rumah Tangga Pura Mangkoenegaran Surakarta (1937) dan baru pensiun dari tugas kedinasan pada tahun 1939.

Aktif dalam Organisasi

sunting

Di samping sarat dengan tugas kedinasan di bidang pendidikan, Jasawidagda sendiri aktif di berbagai macam kegiatan sosial politik. Dirinya terlibat dan terjun dalam organisasi Budi Utomo, Perserikatan Guru Hindia-Belanda, Ketua Kwartir Besar Kepanduan di Mangkoenegaran, dan pernah menjabat sebagai Ketua Perpustakaan Sanapustaka Mangkoenegaraan Surakarta. Di samping itu, dirinya juga ikut aktif dalam dunia pers atau surat kabar. Berdasarkan dari ketekunan dan pengabdiannya, dirinya diberikan anugerah Bintang Perak dari Gubernur Jenderal Pemerintah Belanda (1936). Beliau sendiri juga pernah memperoleh penghargaan dari Lembaga Bahasa Cabang Yogyakarta dalam lomba esai Bahasa Jawa pada tahun 1957. Di bulan Agustus 1939, dirinya berhasil memperoleh anugerah Bintang Emas dari Pemerintah Hindia Belanda.

Aktif dalam Dunia Kepengarangan

sunting

Pendidikan guru yang ditekuni olehnya menjadikannya lebih akrab terhadap bacaan atau cerita-cerita, baik itu berbahasa Jawa, Melayu, atau bahasa lain melalui Taman Pustaka. Di samping gemar membaca, keterlibatan aktif dirinya dalam dunia penerbitan juga berhasil membawanya untuk menekuni dunia kepengarangan dengan harapan bisa memberikan pendidikan kepada para pembaca. Hal tersebut ditunjukkan oleh Jasawidagda yang juga pernah bekerja menjadi seorang redaksi kalawarti Pustaka Jawi. Kecintaannya terhadap bahasa dan sastra Jawa, tak pernah membuatnya menjadi surut, hingga memasuki masa pensiun. Hal tersebut dibuktikan dengan sejumlah artikelnya di majalah Medan Bahasa Basa Jawi. Dengan melihat karya dan keterlibatan di dunia bahasa dan sastra Jawa, Jasawidagda tak lagi diragukan akan sumbangannya terhadap perkembangan bahasa dan sastra Jawa.

Jasawidagda termasuk ke dalam sosok pengarang Jawa yang produktif. Selama masa kepengarangannya tersebut, dirinya berhasil menghasilkan sebanyak 15 karya, baik itu novel ataupun buku pelajaran bahasa dan sastra Jawa. Dirinya mulai menulis sejak tahun 1913 hingga Indonesia merdeka. Sebagian besar novelnya tersebut diterbitkan oleh Balai Pustaka. Karya-karya yang dihasilkan olehnya cenderung berlatar tradisional, misalnya terlihat dalam Mitradarma, Jarot (Jilid I dan Jilid II), Keraton Powan, Purasani, Bocah Mangkoenegaran, Pethi Wasiat, dan Cariyos Lelampahanipun Peksi Glathik.

Selain itu, profesinya sebagai guru juga telah membawa dirinya berhasil memberikan pencerahan pemikiran terhadap generasi bangsanya. Dirinya sering kali mendobrak budaya tradisional yang tak sejalan dengan pemikiran modern. Dirinya tidak sependapat dengan orientasi masyarakat Jawa terhadap dunia priyayi. Hal tersebut ditunjukkan dalam novel berjudul Kirti Njunjung Drajat (1924) yang mengangkat pertentangan pandangan yang terjadi antara generasi muda yang diwakili oleh Darba dan generasi tua yang merupakan kelompok priyayi tradisional yang diwakili oleh orang tua Darba. Dalam novel Ni Wungkuk ing Bendha Growong (Balai Pustaka), Jasawidagda berhasil mengemukakan penolakannya terhadap budaya kawin paksa yang lazim dilakukan oleh kalangan priyayi. Berbeda dengan kedua novel tersebut, dirinya juga mengangkat kisah petualangan atau pengembaraan seorang pemuda bernama Jarot dalam novel berjudul Jarot (Balai Pustaka, 1992).

Sebagai seorang guru yang juga aktif dalam dunia penerbitan atau jurnalistik, Jasawidagda juga menulis cerita dengan gaya jurnalistik, seperti dalam Bocah Mangkoenegaran (1930). Dalam novel tersebut, dirinya kuat dalam mengangkat dunia jurnalistik, sehingga orang-orang cenderung melihat dirinya sebagai kumpulan karya jurnalistik. Sebagai lulusan sekolah guru, dirinya tidak mampu meninggalkan hal yang menjadi kewajiban, yakni sebagai seorang pendidik. Maka dari itu, dirinya tidak pernah ketinggalan untuk menyelipkan nasihat-nasihat didaktis dalam setiap karyanya.

Rujukan

sunting
  1. ^ Prabowo, D. P.; Widati, Sri; Rahayu, Prapti (2015). Ensiklopedi Sastra Jawa. Yogyakarta: Balai Bahasa Provinsi Daerah Istimewa Yogyakarta. hlm. 237-239. ISBN 978-979-185-235-7.