Jarak sosial adalah pemisahan secara sosial yang dianggap ada dan terjadi antarindividu, antarkelompok, atau antara individu dan kelompok.[1] Penggunaan jarak sosial dalam sosiologi adalah untuk mengetahui hubungan sosial dalam suatu kelompok atau antar kelompok.[2] Jarak sosial mendeskripsikan jarak antara berbagai kelompok dalam masyarakat dan bukan merupakan jarak (lokasi). Gagasan ini tidak hanya mencakup perbedaan-perbedaan seperti kelas sosial, ras/etnis, gender atau seksualitas, tetapi juga fakta bahwa anggota kelompok yang berbeda kurang berbaur dibandingkan dengan anggota dari kelompok yang sama. Istilah ini sering diterapkan di kota-kota, tetapi penggunaannya tidak terbatas hanya di kota saja.

Konsep

sunting

Jarak sosial merupakan sebuah istilah yang digunakan untuk menggantikan penggunaan istilah diskriminasi dan bukan diskriminasi pada hubungan sosial. Penggunaan konsep jarak sosial mempermudah pembentukan tingkatan diskriminasi yang kontinum. Konsep jarak sosial pertama kali dianalisa oleh Emory S. Bogardus dan menghasilkan alat ukur dan alat banding sikap masyarakat yang disebut skala Bogardus. Penanggap diminta untuk menanggapi pernyataan-pernyataan tentang hubungan sosial dengan kelompok sosial lain dengan tingkat kesamaan yang berbeda-beda dengan kelompok asalnya.[2]

Pendekatan

sunting

Dalam sosiologi sastra, jarak sosial memiliki beberapa pendekatan sebagai berikut.

  1. Jarak sosial afektif: salah satu pendekatan jarak sosial yang berfokus pada afektivitas. Menurut pendekatan ini, jarak sosial berkaitan dengan afektivitas jarak, yaitu seberapa bersimpati anggota sebuah kelompok terhadap kelompok lain. Emory Bogardus, pencipta "Skala jarak sosial Bogardus" membuat teori skalanya berdasarkan konsep jarak sosial subjektif-afektif: "[i]n jarak sosial mempelajari reaksi perasaan seseorang terhadap orang lain maupun terhadap kelompok lain."
  2. Jarak sosial normatif: pendekatan kedua ini menitikberatkan jarak sosial sebagai pandangan normatif. Jarak sosial normatif mengacu pada penerimaan kesepakatan bersama dan pernyataan tentang norma-norma yang menganggap seseorang sebagai "orang dalam" atau merupakan "orang luar/asing." Norma-norma tersebut, dengan kata lain, menentukan perbedaan antara "kita" dan "mereka." Oleh karena itu, jarak sosial normatif berbeda dari jarak sosial afektif. Contoh dari konsep ini dapat ditemukan di beberapa karya dari para sosiolog seperti Georg Simmel, Emile Durkheim dan Robert Park.
  3. Jarak sosial interaktif: pendekatan yang ketiga berpendapat bahwa jarak sosial berfokus pada frekuensi dan intensitas interaksi antara dua kelompok, mengklaim bahwa semakin banyak anggota dari dua kelompok berinteraksi, maka mereka akan semakin dekat secara sosial. Konsep ini mirip dengan pendekatan teori sosiologi jaringan, bahwa frekuensi interaksi antara dua pihak digunakan sebagai ukuran dari "kekuatan" dari ikatan sosial di antara mereka.

Ketiga pendekatan tersebut dapat dipandang sebagai kemungkinan dimensi dari konsep jarak sosial yang tidak saling tumpang tindih satu sama lain. Anggota dari dua kelompok yang berbeda mungkin cukup sering berinteraksi satu sama lain, namun tidak selalu berarti bahwa mereka akan merasa "dekat" dengan satu sama lain. Secara normatif mereka akan menganggap satu sama lain sebagai anggota kelompok yang sama.

Dengan kata lain,jarak sosial dari dimensi interaktif, normatif dan afektif tidak selalu terkait secara linear.

Jarak sosial juga diinterpretasikan dengan lain oleh seorang antropologis dan peneliti lintas budaya bernama Edward T. Hall, yang menggambarkan jarak psikologis seperti binatang yang dapat merasa cemas apabila berjarak jauh dari kawanannya. Fenomena ini berlaku pada bayi dan balita yang berjalan atau merangkak menjauh dari orangtuanya atau pengasuhnya kemudian merasa cemas dan sesaat kemudian akan kembali lagi ke zona amannya. Jarak sosial yang dimiliki bayi sangatlah sederhana.

Edward T. Hall juga mencatat konsep jarak sosial dapat diciptakan dari peralatan berteknologi seperti telefon, walkie-talkie, and televisi. Analisis jarak sosial Edward T. Hall telah dilakukan sebelum internet berkembang, yang setelahnya kemudian membuat jarak sosial semakin berlipat ganda. Jarak sosial saat ini bahkan menjangkau wilayah diluar planet bumi, seperti saat bumi mengirim manusia ke luar bumi untuk sebuah misi luar angkasa.[butuh rujukan]

Praanggapan

sunting

Dikatakan bahwa setiap individu menganggap budayanya sendiri lebih superior ketimbang budaya lainnya, dan budaya yang lain sebagai inferior karena berbeda dari budaya mereka.[butuh rujukan] Jarak sosial diantara dua kebudayaan memungkinkan timbulnya kebencian.[butuh rujukan]Konsekuensi dari adanya jarak tersebut dengan kebencian adalah praanggapan, bahwa kelompok dengan budaya yang berbeda dapat dikelompokkan sebagai kelompok sosial yang berbeda.[butuh rujukan]Contohnya, kasta Brahmana adalah kasta tertinggi dan Sudra adalah kasta terendah dalam tatanan masyarakat Hindu. Jika anak dari kasta Brahmana menyentuh anak dari kasta Sudra, maka anak dari kasta Brahmana tersebut harus dimandikan agar terhindar dari kotoran yang diakibatkan oleh sentuhan tersebut. Akibatnya, anak-anak yang terlahir dari kasta Brahmana memiliki praanggapan dalam benaknya bahwa kaum Sudra kotor dan tidak pantas untuk disentuh.[oleh siapa?]

Cara mempelajari jarak sosial

sunting

Salah satu cara mengukur jarak sosial adalah dengan: mengamati langsung interaksi orang-orang, kuisioner, melakukan tanggapan reflek, latihan alur perencanaan, atau tugas lain yang menggambarkan konsep sosial yang dianut oleh seorang individu (lihat sosiogram).

Dalam kuisioner, responden biasanya ditanyakan anggota kelompok mana yang dapat ia terima di lingkungan hubungannya. Sebagai contoh, untuk mengecek seseorang akan menerima atau tidak, apabila ada anggota dari sebuah kelompok lain sebagai tetangganya, atau pekerja asing sebagai pasangan hidupnya. Kuisioner jarak sosial mungkin tidak secara akurat mengukur sikap seseorang apabila ada anggota dari luar kelompoknya ingin menjadi teman atau tetangganya. Skala jarak sosial hanya upaya untuk mengukur perasaan seorang individu terhadap keberatannya untuk berhubungan setara dengan sebuah kelompok. Apa yang akan dilakukan individu tersebut dalam keadaan sebenarnya tergantung dari situasi dan kondisi individu tersebut.

Sementara tanggapan reflek akan memperlihatkan hubungan sistematik antara jarak sosial dengan jarak psikis. Ketika bertanya bagaimana mengindikasikan keberadaan seseorang dengan dirinya secara bersamaan, orang-orang akan refleks mengatakan "kita" untuk orang lain yang berada dalam jarak yang tidak jauh dan cenderung mengatakan "mereka" untuk orang lain yang berjarak jauh. Hal tersebut membuktikan bahwa jarak sosial dan jarak psikis secara konseptual berhubungan.

Referensi

sunting
  1. ^ Rahman 2011, hlm. 37.
  2. ^ a b Rahman 2011, hlm. 38.

Daftar pustaka

sunting
  1. Rahman, M.T. (2011). Glosari Teori Sosial (PDF). Bandung: Ibnu Sina Press. ISBN 978-602-99802-0-2. 

Lihat pula

sunting