Jam kanonis adalah saat-saat ibadat yang telah ditetapkan dalam kerangka ibadat harian.[1] Kebiasaan sembahyang sehari-hari dalam agama Kristen berasal dari praktik mendaraskan doa-doa pada jam-jam tertentu dalam agama Yahudi. Jam-jam tertentu sepanjang satu hari penuh ini disebut zmanim dalam hukum agama Yahudi. Sebagai contoh, dalam kitab Kisah Para Rasul, Petrus dan Yohanes diriwayatkan pergi ke Bait Allah untuk menunaikan sembahyang sore.[2] Mazmur 119:164 berbunyi: "Tujuh kali dalam sehari aku memuji-muji Engkau, karena hukum-hukum-Mu yang adil" (Simeon dari Tesalonika mengulas ayat ini sebagai berikut: "Waktu untuk sembahyang dan beribadat itu ada tujuh jumlahnya, sebanyak jumlah karunia Roh Kudus, karena sembahyang-sembahyang suci itu berasal dari Roh Kudus").[3]

Para kantor bernyanyi di atas kliros Katedral Santo Georgius, Istanbul

Kebiasaan sembahyang semacam ini dipercaya sebagai adat warisan para rasul yang telah dilestarikan selama berabad-abad, meskipun tata cara pelaksanaannya berbeda-beda dari satu tempat ke tempat lain. Seiring dengan menyebarnya gaya hidup zuhud Kristen, praktik sembahyang pada jam-jam tertentu dengan tata cara tertentu ikut berkembang dan akhirnya dibakukan. Sekitar tahun 484, rahib Yunani-Kapadokia, Sabas Yang Dikuduskan, mulai mencatat praktik-praktik peribadatan di sekitar Yerusalem, sementara tata cara peribadatan katedral dan paroki di Konstantinopel secara perlahan-lahan berkembang sendiri.[4]

Pada tahun 525, Benediktus dari Nursia menyusun garis-garis besar yang pertama dari pendarasan ayat-ayat Mazmur dalam pelaksanaan ibadat harian.

Pada abad ke-9, jam kanonik sudah dibakukan di Gereja Barat, dan sudah terdiri atas delapan waktu sembahyang sehari-hari, yakni laudes, prima, tersia, seksta, nona, vesper, kompletorium, dan sembahyang malam hari yang kadang-kadang disebut vigil. Sembahyang malam ini terbagi lagi menjadi beberapa bagian yang disebut nokturna.

Maksud dan tujuan

sunting

Ibadat harian dimaksudkan menjadi sarana bagi umat untuk selalu berkomunikasi dengan Tuhan di dalam hidup sehari-hari. Hal itu dilaksanakan dengan menyisihkan waktu dan berdoa di dalam keheningan.[5] Praktik Ibadah harian atau doa individual telah dilakukan sejak zaman Perjanjian Lama antara lain tertulis di dalam Alkitab “...tiga kali sehari ia berlutut, berdoa serta memuji Allahnya...” (Daniel 6:11).[6]

Praktik

sunting

Hingga awal abad ke-3 waktu doa yang lazim adalah sebagai berikut:[6]

  • Doa pagi dilakukan pada jam pertama, pukul 06.00, untuk mengingat Tuhan telah bangkit.
  • Doa jam ke-3 (Kisah Para Rasul 2:15) dan doa jam ke-6 (Kisah Para Rasul 10:9), sebab Ia adalah matahari dan terang yang benar.
  • Doa jam ke-9 (Kisah Para Rasul 3:1), sebab Tuhan telah menanggung sengsara yang hebat.
  • Doa Malam (Kisah Para Rasul 16:25), dilakukan pada pukul 17.00-18.00 atau pada malam hari sebab bagi anak-anak terang, malam adalah sama dengan siang.

Tradisi Hipolitus

sunting

Tradisi Rasuli dari Hipolitus (tahun 215) menguraikan waktu doa 7 kali sehari:

  1. Doa pembuka saat ayam berkokok, galli cantu, hal ini mengingat Petrus menyangkal Yesus
  2. Doa pagi dulu biasa disebut Laudes. Doa pagi dimaksudkan dan diatur untuk menyucikan pagi hari dan idealnya dilaksanakan sekitar fajar menyingsing, sesaat setelah bangun tidur dan biasa disebut saat teduh pagi
  3. Doa jam ketiga (tertia) setelah fajar dilakukan di rumah dengan berdoa dan bernyanyi, jika sedang keluar rumah cukup berdoa di dalam hati, untuk mengingat datangnya Roh Kudus.
  4. Doa jam keenam (sextia) setelah fajar atau pada tengah hari; hal ini mengingat saat penyaliban.
  5. Doa jam kesembilan (nona) setelah fajar atau jam tiga sore; hal ini mengingat air dan darah yang mengucur dari tubuh Kristus dan saat wafatNya.
  6. Doa senja dilakukan pada sore hari, lazim disebut Vesper. Maksud doa ini adalah untuk menyesali dan mengakui dosa-dosa serta bersyukur atas anugerah yang telah diterima pada hari tersebut. Hal ini mengingatkan saat Yesus dikubur.
  7. Doa completorium, doa penutup hari.

Ritus Bizantin

sunting

Horologion (῾Ωρολόγιον; Church Slavonic: Chasoslov, Часocлoвъ, Book of Hours) menyediakan bagian yang tetap dari ibadat Siklus Harian (bahasa Yunani: akolouthies, ἀκολουθίες) sebagaimana digunakan oleh Gereja Ortodoks Timur dan Katolik Timur.

Siklus liturgi

sunting

Pelbagai siklus tahun liturgi memengaruhi cara materi buku-buku liturgi dimasukkan ke dalam peribadatan sehari-hari.

Siklus mingguan

sunting

Tiap-tiap hari dalam satu pekan memiliki makna peringatan, yaitu:

Siklus ibadat harian

sunting

Siklus harian dimulai dengan ibadat Vesper dan berlangsung sepanjang malam dan siang menurut tabel di bawah

Nama ibadat dalam bahasa Yunani Nama lain ibadat Waktu pelaksanaan Tema[7]
Esperinos (Ἑσπερινός) Vesper Saat matahari terbenam Pemuliaan Tuhan, Sang Pencipta dan Pelindung dunia.
Apodepnon (Ἀπόδειπνον) Completorium Menjelang waktu tidur Tidur sebagai penggambaran kematian, yang diterangkan oleh Turunnya Kristus ke neraka setelah kematian-Nya.
Mesonyktikon (Μεσονυκτικόν) Ibadat tengah malam Tengah malam hingga dini hari Ibadat tengah malam Kristus pada tengah malam di taman Getsemani; pengingat untuk bersiap menyambut kedatangan Pengadilan Terakhir
Orthros (Ὄρθρος) Matin atau Orthros Fajar pertama hingga fajar menyingsing Tuhan tidak hanya memberikan kita terangnya hari, tetapi juga memberikan kita penerang batin dan spiritual yakni Sang Juruselamat.
Prote Ora (Πρῶτη Ὥρα) Laudes (Prime) Pukul ~6 pagi Kristus dibawa ke Pengadilan Pilatus.
Trite Ora (Τρίτη Ὥρα) Tertia Pukul ~9 pagi Pengadilan Pilatus terhadap Kristus dan turunnya Roh Kudus pada hari Pentakosta.
Ekte Ora (Ἕκτη Ὥρα) Sextia Tengah hari Penyaliban Kristus
Ennate Ora (Ἐννάτη Ὥρα) Nona Pukul ~3 sore Kematian Kristus.
Typika (τυπικά)[8] Tipika setelah ibadat sextia atau ibadat nona .

Lihat juga

sunting
sunting

Ibadah harian di Gereja-gereja Reformasi, terutama Lutheran tetap diperhatikan. Martin Luther (1483-1546) dalam buku liturgi Deutsche Messe (1526) menetapkan dua kali doa sehari.[5] Ibadah pagi (matutinum) dengan pembacaan Perjanjian Lama, menyanyikan hymne Jerman dan hymne Latin. Ibadah senja (verpera) dengan pembacaan Perjanjian Baru dan menyanyikan Magnificat.[5]

Referensi

sunting
  1. ^ Maryanto, E. (2004). Kamus Liturgi Sederhana. Yogyakarta: Kanisius. hlm. 93. ISBN 9792103244. 
  2. ^ Kisah Para Rasul 3:1
  3. ^ Santo Simeon, hlm. 18
  4. ^ Taft, Mount Athos:, hlmn. 180-182, 187, 189
  5. ^ a b c Kesalahan pengutipan: Tag <ref> tidak sah; tidak ditemukan teks untuk ref bernama Hari Raya Liturgi
  6. ^ a b Rasid Rachman, Pengantar Sejarah Liturgi. Tangerang: Bintang Fajar, 1999.
  7. ^ Sokolof, pp 36–38
  8. ^ Sokolof, p 93

Pranala luar

sunting