Jalan Raya Pos

jalan raya di Indonesia

Jalan Raya Pos (bahasa Belanda: De Grote Postweg), disebut juga Jalan Daendels dan Jalan Anyer-Panarukan, adalah nama jalan bersejarah yang membentang melintasi Jawa dan menghubungkan Anyer dengan Panarukan. Jalan ini dibangun pada masa pemerintahan Herman Willem Daendels (1808–1811), Gubernur Jenderal Hindia Belanda, dengan menggunakan tenaga kerja paksa tanpa bayaran yang mengorbankan ribuan nyawa.

Jalan Raya Pos
Peta Jalan Raya Pos di masa Hindia Belanda
Jalan Raya Pos membentang dari Anyer hingga Panarukan.
Informasi rute
Panjang:1.000 km (621 mi)
Periode waktu:1809–sekarang
Sejarah:Jeda kekuasaan Prancis dan Britania di Hindia Belanda
Persimpangan besar
Ujung barat:Anyer, Serang
Ujung timur:Panarukan, Situbondo
Bagian dari Jalan Raya Pos di Kampung Cibabat, Cimahi, Jawa Barat pada masa kolonial

Jalan ini kini menjadi bagian dari Jalan Nasional Rute 1 (Cilegon-Jakarta, Cirebon-Panarukan), Jalan Nasional Rute 2 (Jakarta-Bogor), Jalan Nasional Rute 3 (Ciawi-Cianjur-Bandung), dan Jalan Nasional Rute 5 (Bandung-Cirebon).

Latar belakang

sunting

Sistem pengiriman pesan di Hindia Belanda pertama kali diperkenalkan di masa VOC. Saat itu, sudah ada korespondensi dari Hindia Belanda ke Belanda tetapi tujuannya dibatasi pada pejabat-pejabat resmi dan tidak boleh berisi aktivitas VOC di Hindia Belanda untuk menjaga kerahasiaan sumber rempah-rempah dari para pesaingnya. Sarana pengirimannya saat itu bergantung pada kapal perang VOC yang berlayar ke berbagai pulau dan belum ada sistem yang terorganisasi.[1] Kantor pos baru pertama kali didirikan pada 26 Agustus 1746 di Batavia oleh Gubernur Jenderal yang ke-26, Gustaaf Willem van Imhoff untuk menjamin keamanan surat-surat penduduk terutama bagi para pedagang yang berdagang di luar Jawa dan orang-orang yang pulang pergi dari dan ke Belanda. Empat tahun kemudian, kantor pos Semarang didirikan dan menggunakan rute yang melalui Karawang, Cirebon, dan Pekalongan.[2] Transportasi daratan sudah ada setidaknya pada sekitar 1750, yaitu jalan yang menghubungkan Batavia ke Semarang dan seterusnya ke Surabaya. Jalan yang menghubungkan Semarang, Surakarta, dan Yogyakarta juga sudah ada pada waktu itu. Namun, hujan tropis yang deras sering kali menghancurkan jalannya.[3]

Pada 28 Januari 1807, Daendels diangkat menjadi Gubernur Jenderal Hindia Belanda oleh Louis Bonaparte, adik Napoleon Bonaparte yang diangkat menjadi raja di Belanda semasa Peperangan Napoleon.[4] Cemas akan masa depan Jawa, khususnya setelah Isle de France (kini Mauritius) diserbu Inggris pada 1807, Louis memberi dua tugas utama dalam bentuk instruksi kepada Daendels, yaitu mempertahankan Jawa dari serbuan Inggris dan membenahi sistem administrasi pemerintahannya.[5] Instruksi yang serupa juga diterimanya dari Napoleon Bonaparte saat bertemu di Paris, sesaat sebelum pergi ke Jawa.[6]

Pilihan Daendels untuk membangun Jalan Raya Pos mungkin diinspirasi oleh cursus publicus, sistem jalan pos Kekaisaran Romawi yang menghubungkan Roma dengan kota-kota yang ditaklukkannya.[7][8] Dengan begitu, Daendels berkeinginan untuk menerapkan konsep yang sama dengan menghubungkan Batavia dengan daerah-daerah di Jawa melalui Jalan Raya Pos.[9] Sumber lainnya mengatakan bahwa idenya untuk membangun sebuah jalan raya mungkin dipengaruhi oleh perjalanannya menuju Jawa. Saat itu, Inggris menguasai lautan dan memblokade Prancis untuk mengakses lautan sehingga memaksa Daendels harus melalui daratan Prancis terlebih dahulu dengan jalan raya yang dibuat oleh Napoleon.[3] Upaya membangun jalan ini didasarkan pada salah satu instruksi Louis yang mewajibkan Daendels untuk memperhatikan sarana (transportasi) yang paling sesuai dirancang, melalui kesepakatan dengan para bupati, yang dapat memperbaiki nasib pribumi Hindia Belanda.[10]

Pada awalnya, penggunanan jalan ini hanya digunakan untuk kebutuhan pos dan militer hingga akhirnya dibuka untuk umum pada tahun 1857. Selain itu, jalan ini juga tidak boleh dilewati oleh kendaraan milik orang Jawa yang harus menggunakan jalur khusus gerobak yang berada di sisi jalan. Jalan Raya Pos hanya dapat dilewati oleh kereta kuda Belanda yang dilengkapi oleh kusir dan kenek.[11]

Jalan tersebut dinamai demikian karena Daendels membangun sebanyak 50 kantor pos di antara Batavia dan Surabaya untuk mempercepat komunikasi dengan para pejabatnya.[12] Komunikasi saat itu dianggap hal yang berharga karena Daendels merasakan sulitnya berkomunikasi dengan mereka yang tersebar di seluruh Jawa dan lalu lintas laut yang bisanya digunakan untuk menyampaikan surat diblokade Inggris.[6]

Pembangunan

sunting
 
Daendels membangun Jalan Raya Pos di atas Jawa. Sebuah ilustrasi anonim ca 1910

Pada 29 April 1808, agar lebih mengetahui permasalahan di Jawa lebih lanjut, Daendels melakukan perjalanan dari ke Semarang dan ujung timur Jawa. Setibanya di Semarang pada 5 Mei 1808, ia mengeluarkan perintah untuk membangun Jalan Raya Pos, dimulai dengan memperbaiki dan menghubungkan jalan-jalan desa yang telah ada sebelumnya. Karena keterbatasan biaya, Daendels hanya meratakan jalan dari Batavia ke Buitenzorg (kini Bogor) via Meester Cornelis dan membangun petak jalan di Preanger. Sisanya, yaitu jalan dari Cirebon hingga Surabaya dikerjakan oleh para bupati di daerahnya masing-masing.[13]

Jalur pertama

sunting

Pembangunan Jalan Raya Pos pertama dimulai dari Buitenzorg ke Karangsambung (kini Kecamatan Tomo di Sumedang)[14] berdasarkan perintah Daendels pada 5 Mei 1808. Jalur ini direncanakan melalui Cisarua, Cianjur, Rajamandala, Bandung, Parakan Muncang, dan Sumedang. Secara teknis, jalur tersebut harus dibuat selebar 2 rijnlandse roeden (~7.5 meter) dan didirikan tiang di setiap 400 rijnlandse roeden (~1.5 kilometer) untuk menunjukkan jarak dan menandai batas distrik.[15] Pemerintah menyediakan anggaran sebesar 30.000 ringgit perak untuk membangun jalur ini, sementara para pekerjanya disediakan oleh Gubernur Pantai Timur Laut Jawa, Nicolaus Engelhard sebanyak 1.100 orang.[16]

Proyek ini dipimpin oleh Kolonel Zeni Balthazar Friedrich Wilhelm van Lützow dengan bantuan dari Komisi Negara dan dua insinyur militer. Van Lützow kemudian menyerahkan tanggung jawab sebagian pengerjaan, yaitu jalur Cisarua-Cianjur dan Parakan Muncang-Karangsambung, kepada dua insinyurnya. Masing-masing insinyur dibantu oleh dua bintara yang dipilihnya.[17][18] Daendels juga menetapkan jumlah pekerja dan upah yang berbeda untuk membangun jalan ini, mengingat kondisi medan yang berat yang dihadapi oleh para pekerja.[15]

Penetapan jumlah pekerja dan upah untuk Jalur Pertama[15]
Dari Ke Jumlah pekerja Upah

(ringgit perak)

Cisarua Cianjur 400 orang 10 per orang/bulan
Cianjur Rajamandala 150 orang 4 per orang/bulan
Rajamandala Bandung 200 orang 6 per orang/bulan
Bandung Parakan Muncang 50 orang 1 per orang/bulan
Parakan Muncang Sumedang 150 orang 5 per orang/bulan
Sumedang Karangsambung 150 orang 4 per orang/bulan

Pada 28 Maret 1809, para pekerja dari Batavia dan Preanger yang membangun jalan antara Cianjur-Sumedang diberi bantuan berupa 1.5 pon beras setiap hari dan 5 pon garam garam setiap bulan hingga jalan selesai dibangun. Sehari setelahnya, para pekerja juga diberi kapak dan peralatan lainnya. Kemudian, para pekerja yang didatangkan dari Cirebon dan daerah vorstenlanden yang membangun jalan di Sumedang akan diberi upah dua ringgit perak setiap bulan ditambah tiga gantang beras, sementara para mandor akan diberi upah tiga ringgit perak setiap bulan. Bantuan-bantuan ini merupakan kebijakan pemerintah atas beratnya medan yang harus ditembus, khususnya dalam pembuatan jembatan di jalur Cianjur ke Bandung dan pemotongan lereng gunung di jalur Parakan Muncang ke Sumedang.[19]

Jalur selanjutnya

sunting
 
Jalan Raya Pos berakhir di Panarukan, sebuah kecamatan di Kabupaten Situbondo. Foto udara Panarukan pada 1949 oleh Layanan Penerbangan Angkatan Laut Hindia Belanda.

Pada Juli 1808, Daendels bertemu dengan 38 bupati untuk memerintahkan mereka memperbaiki dan menghubungkan jalan-jalan desa. Ia juga menyerahkan pembangunan jalan Cirebon-Surabaya kepada mereka agar mereka bisa menarik orang-orang umum ke dalam pengerjaan melalui pengabdian masyarakat. Di Jawa Tengah, jalan raya ini melewati Tegal, Pemalang, Comal, Pekalongan, Kendal, Kaliwungu, Semarang, Demak, Kudus, Pati, Rembang, dan Lasem. Sementara di Jawa Timur, jalan raya ini melewati Tuban, Sidayu, Gresik, Surabaya, Porong, Bangil, Pasuruan, Probolinggo, Kraksaan, Paiton, Besuki, dan akhirnya Panarukan.[20]

Dengan jalan raya yang sisanya dikerjakan oleh para bupati, Daendels tidak perlu membuat laporan rinci untuk jalan-jalan tersebut. Konsekuensinya, tidak ada arsip-arsip kolonial yang memuat laporan pembangunan jalannya. Satu-satunya informasi yang didapat yang melaporkan pembangunannya adalah korespondensi antara Daendels dengan Menteri Perdagangan dan Koloni saat itu, Paulus van der Heim [nl].[21]

Dalam budaya populer

sunting

Film dokumenter De Groote Postweg, disutradarai dan ditulis oleh Bernie IJdis, dirilis pada 1996. Film ini menceritakan tentang sejarah dan dampak modern dari Jalan Raya Pos. Pramoedya Ananta Toer, yang juga diceritakan kisah hidupnya semasa Orde Baru, mengisi narasi untuk film ini.[22]

Dampak

sunting

Kehadiran Jalan Raya Pos menandai dimulainya era modern Jawa yang terintegrasi. Seiring berjalannya waktu, Jalan Raya Pos menjadi daerah perkotaan yang sambung-menyambung dan menggantikan peran sungai-sungai besar yang awalnya menjadi jalur utama perekonomian yang membentang dari utara ke selatan, menghubungkan daerah pesisir dengan daerah pedalaman, menjadi dari barat ke timur melalui jalur darat sepanjang pesisir utara Pulau Jawa. Kehadiran Jalan Raya Pos juga mengubah konsep kosmologis dan konsep tata kota tradisional Jawa yang sebelumnya menghadap ke sungai atau pegunungan.[11]

Lihat pula

sunting

Referensi

sunting

Kutipan

Daftar pustaka

Bacaan lebih lanjut

sunting