Jakarta International Film Festival

Jakarta International Film Festival atau JiFFest adalah sebuah festival film internasional di Jakarta yang diselenggarakan rutin setiap tahun sejak 1999.

Latar belakang

sunting

Ide untuk menyelenggarakan sebuah festival film internasional di Jakarta berasal dari pencinta film, Shanty Harmayn dan Natacha Devillers, yang pada 1999 bekerja sama di Salto Films dan bermukim di Jakarta. Saat itu negara-negara lain sudah mempunyai sebuah festival film internasional, Singapore International Film Festival (SIFF) telah berusia 12 tahun, sementara Pusan International Film Festival (Korea) meski baru berusia tiga tahun mulai menarik perhatian kalangan perfilman Asia dan dunia. Thailand dan Filipina juga sudah meluncurkan festival film internasional mereka: Bangkok International Film Festival (September 1998) dan Cinemanila (Juli 1999). Shanty Harmayn dan Natacha Devillers pun memutuskan untuk mewujudkan Jakarta International Film Festival (JIFFest) di bulan November tahun 1999.

Penyelenggaraan

sunting

Selama delapan hari (20-28 November 1999), JIFFEST menghadirkan 65 judul film dari beragam negara, termasuk Indonesia. Shanty Harmayn dan Natacha Devillers menulis di kata sambutan mereka, "Penonton yang terhormat, Andalah masa depan Jakarta International Film Festival dan kunci kebangkitan industri film nasional, karena pembuat film yang baik hanya bisa dilahirkan dari penonton yang baik pula." Dan sejarah JIFFest pun mencatat, pada tahun perdana kehadirannya tak kurang dari 18 ribu penonton menyaksikan film-film pilihan dari 25 negara. Di akhir festival, film dokumenter mengenai Indonesia produksi Belanda arahan sutradara Bernie Ijdis, "Jalan Raya Pos" [1] terpilih sebagai film yang paling diminati penonton saat itu.

Pada penyelenggaraan Jakarta International Film Festival yang kedua (3-12 November 2000), jumlah film meningkat menjadi 104 judul (31 negara). Pada tahun ini, JIFFest juga menjadi ajang pemutaran perdana tiga film layar lebar arahan para sutradara muda Indonesia: "Pachinko" [2] (sutradara: Harry Dagoe Suharyadi), "Culik" (sutradara: Teddy Soeriaatmadja), "Sebuah Pertanyaan untuk Cinta" (sutradara: Enison Sinaro). Selain itu JIFFest menghadirkan segmen "Indonesia Through Foreign Lenses".

Kali ini, JIFFest berhasil mengundang minat 32 ribu penonton. Film karya sutradara Australia, Peter Weir, "The Year of Living Dangerously" [3] (tentang kejatuhan presiden Soekarno) menjadi pilihan mayoritas penonton. Dua film Iran, "Leila" [4] (tentang seorang istri yang mandul, karya sutradara Dariush Mehrjui) dan "The Blackboards" [5] (kisah perjuangan seorang guru, karya sutradara Samira Makmalbaf) juga masuk ke dalam film pilihan penonton.

Tahun 2001, JIFFest (26 Oktober-10 November) menyajikan 103 judul film dari 32 negara. Tema Jakarta International Film Festival kali ini adalah "Indonesian Identity through Film: Past and Present." Tantangan tahun ini adalah naiknya harga tiket dari Rp. 7500 pada tahun-tahun sebelumnya menjadi Rp. 12500. JIFFest yang tahun ini menapaki tahun ketiga menghadirkan segmen "Issues in Islamic Contemporary Society". Kali ini JIFFEST hanya mengadakan pemutaran perdana untuk satu judul film Indonesia, "Viva Indonesia" [6] (karya bersama: Nana Mulyana, Lianto Luseno, Ravi Bharwani, Asep Kusdinar).

Di antara tamu JIFFest, hadir sutradara Iran Jafar Panahi ("The Circle" [7], berkisah tentang lingkaran setan yang dihadapi tiga perempuan setelah keluar dari penjara). Keragaman minat penonton terlihat dari pilihan-pilihan utama mereka kali ini, di posisi puncak terpilih film, "Me, You, Them" [8] (sutradara: Andruscha Waddington, Brasil) sebuah drama komedi tentang seorang perempuan dan petualangan cintanya yang nekat. Penonton juga memilih, "The Circle", "Amelie" [9] (Jean-Pierre Jeunet, Prancis), dan "Dancer in the Dark" [10] (Lars Von Trier, Denmark). Jumlah penonton tahun ini mencapai lebih dari 43 ribu orang.

Memasuki tahun keempat penyelenggaraannya (24 Oktober-3 November), Jakarta International Film Festival menawarkan 120 judul film dari 29 negara. Pada tahun ini dialog antara para pembuat film dan penonton (segmen "Meet the Filmmaker") diadakan di Goethe House. Penonton menaruh minat besar pada film dokumenter arahan James Nachtwey (Swiss),"War Photographer" [11]. Ajang pertemuan dengan James Nachtwey dipadati para peminat film juga para fotografer profesional. Film "Tato" [12] arahan Hanny Saputra menjadi film Indonesia satu-satunya yang diputar secara perdana di JIFFest kali ini.

Selain James Nachtwey beberapa tamu JIFFest tahun ini antara lain Phillip Cheah (direktur SIFF) dan Anuragh Singh (sutradara, India), dan Vicenzo Marra (Italia). Jumlah penonton mendekati angka 19 ribu.

Tahun kelima Jakarta International Film Festival (14 Oktober-19 Oktober) adalah penyelenggaraan JIFFest yang tersingkat dibanding tahun-tahun sebelumnya. Penyelenggara mengalami kesulitan pendanaan. Hal ini dipicu oleh peristiwa besar seperti peristiwa bom Bali. Beragam kesulitan yang dihadapi penyelenggara nyaris membatalkan kehadiran JIFFest 2003. Namun dukungan dari beragam pihak juga tak kalah kuat, meski pendanaan tetap tak memungkinkan untuk menggelar JIFFest dalam skala besar. Penyelenggara menyadari bagaimanapun komitmen JIFFest terhadap penonton tak bisa dimungkiri. Akhirnya, ditempuh jalan tengah: menyelenggarakan JIFFest dalam skala sederhana. Keprihatinan ini juga tercermin dari tema-tema film yang diputar di JIFFest kali ini, seperti "Bowling for Columbine" [13] (Michael Moore, Amerika Serikat) dan "September 11" [14] (Prancis). Berbeda dari sebelumnya, JIFFest tahun kelima tidak berupaya sekadar menghibur tetapi justru mengajak penonton untuk becermin pada realita sosial yang terjadi saat itu. Di posisi film terfavorit tahun itu adalah "The Magdalene Sisters" (Peter Mullan, Skotlandia), sebuah drama bernuansa "gelap" tentang para murid wanita di sebuah asrama Katolik. Penonton kali ini berjumlah sekitar 7400 orang.

Tahun 2004 (3 Desember-12 Desember), JIFFest kembali dengan semangat baru dibandingkan tahun sebelumnya. Tak ada lagi satu tema yang dipilih untuk penyelenggaraan JIFFest kali ini. Dari hasil evaluasi, pemilihan satu tema ternyata justru terasa membatasi keragaman pemilihan film dan programming pada umumnya. JIFFest tetap memilah film-film dan aktivitasnya ke dalam beberapa segmen. Kali ini segmen yang diangkat adalah "Spirit of Youth". Tema ini dipilih karena film-film bertema anak muda, khususnya remaja saat itu sedang mengalami booming baik di dalam maupun di luar negeri. Kontribusi pembuat film muda terhadap industri film juga jelas terlihat, dan tema coming of age di beragam negara dianggap menarik untuk diamati. Sebanyak 133 judul film dari 35 negara diputar sepanjang JIFFest keenam ini. Film "Dirty Pretty Thing" yang bercerita tentang nasib kaum pendatang di Inggris (arahan Stephen Frears, Inggris) jadi pilihan mayoritas penonton. Film Indonesia yang diputar tahun ini adalah "Yasujiro Journey" arahan Faozan Riza dan "Impian Kemarau" ("The Rainmaker") karya Ravi Bharwani. Pemutaran perdana internasional “Impian Kemarau” dilangsungkan di Pusan pada bulan Oktober.

Salah satu tamu istimewa kali ini adalah sutradara Korea, Lee Chang-dong yang tak hanya membawa film-filmnya ke hadapan penonton Indonesia ("Green Fish", "Peppermint Candy", "Oasis") tetapi juga berbagi pengalaman mengenai bangkitnya industri perfilman Korea. Perjumpaan Lee Chang-dong dengan para pembuat film Indonesia memberikan kontribusi pada kelahiran konsep ‘komite sinema’ di Indonesia yang masih sedang dicoba untuk dirumuskan dan digarap bersama oleh para pembuat film Indonesia. JIFFest 2004 ini dihadiri sekitar 26 ribu penonton.

JiFFest ke-7 telah berlangsung dari tanggal 9 Desember-18 Desember 2005. Karena film- film dokumenter telah berkembang dengan pesat dalam lingkup dan popularitas dalam beberapa ahun terakhir ini, maka untuk pertama kalinya, tahun ini JiFFest membuat bagian khusus untuk film dokumenter. Untuk merayakan bagian khusus tersebut, semua film dokumenter diputar secara gratis, film-film dokumenter yang diputar di antaranya: "The Corporation" [15], "Comandante" [16] karya Oliver Stone, dan "Weather Underground [17]".

JiFFest yang ke-7 dibuka dengan pemutaran film pemenang beberapa penghargaan dari Prancis dan Maroko, "Le Grand Voyage" [18] oleh sutradara Ismael Ferroukhi. Sedangkan JiFFest ditutup dengan pemutaran film yang terjual habis "The Downfall" [19], sebuah film yang berkisah tentang hari-hari terakhir Hitler produksi Jerman dari sutradara Oliver Hirschbiegel.

Pada tahun ke-7 ini, JiFFest telah berhasil menarik perhatian 47,000 penonton, jumlah tertinggi sampai saat ini, hampir peningkatan sebesar 80% dari jumlah sebelumnya, 26,282.

Jakarta International Film Festival (JiFFest) Diarsipkan 2006-06-13 di Wayback Machine. ke-8 berlangsung pada tanggal 8-17 Desember 2006. Lollipop yang penuh warna diangkat sebagai logo utama yang terpampang menyebar di Jakarta, merefleksikan tema penuh warna dari film-film yang diputar JiFFest pada Djakarta Theter XXI yang baru saja direnovasi, eX Studio XXI yang nyaman terletak, Kineforum TIM 21 dengan format barunya, dan pusat-pusat kebudayaan seperti GoetheHaus, Erasmus Huis, dan Istituto Italiano de Cultura. Lebih dari 230 film dari 35 negara dihadirkan untuk 63,000 penonton JiFFest tahun ini, sebuah kenaikan sekitar 34% dari 47,000 penonton pada tahun 2005.

Untuk pertama kalinya, JiFFest menggelar Kompetisi Film Panjang Indonesia. 31 film Indonesia yang dirilis sepanjang tahun 2006 berkompetisi untuk mendapatkan US$ 5,000 yang diserahkan masing-masing untuk pemenang Sutradara Terbaik dan Film Terbaik. Para juri yang terdiri dari Teuoka Sozo (programmer Tokyo International Film Festival, Jepang), Jan Vandierendonck (Kepala Eurimage, Belgium) dan Andre Bennett (distributor, Canada).

Di luar dari kompetisi di atas, JiFFest dan Movies That Matter Foundation of Amnesty International turut menggelar kompetisi untuk film-film Human Rights. Penghargaan Movies That Matter Award jatuh pada A Hero’s Journey yang disutradarai Grace Phan dari Singapura dan mendapatkan uang sejumlah Euro 5,000 yang akan dialokasikan untuk pendistribusian film ini di Indonesia.

Festival dibuka oleh film Babel, arahan Alejandro Gonzalez Inarritu, yang memenangkan penghargaan Best Director di Cannes Film Festival. Dibintangi Brad Pitt dan Cate Blanchett, film tersebut menghibur para tamu JiFFest’s Red Carpet Opening Night Party yang diselenggarakan di Club XXI, Djakarta Theatre. Film penutup, Black Book, adalah film yang mewakili Belanda untuk Academy Awards 2007 kategori Best Foreign Language Film.

JiFFest untuk tahun 2007 akan diselenggarakan tanggal 6 - 17 Desember.

Untuk ulang tahunnya yang kesepuluh, Komite festival JIFFEST telah merencanakan untuk tahap yang lebih besar. Namun, krisis keuangan global dan kesulitan dana memaksa festival diselenggarakan hanya lima hari saja. Bersama-sama dengan World Cinema, JIFFEST kesepuluh bertemakan "A View from the SEA", berbeda dengan tahun yang sebelumnya, pada tahun 2008 Wonderful Town, Little Heart, and Tribu. JIFFEST 2008 memutar sepuluh film Indonesia terlaris dari sepuluh tahun terakhir. Festival ini diikuti oleh berbagai pembicara, termasuk pembuat film, pejabat pemerintah dan para kritikus film. Film-film Indonesia yang ditayangkan di festival seperti film dokumenter oleh Garin Nugroho; Drupadi, sebuah film pendek oleh Riri Riza; At Stake, sebuah film dokumenter yang diproduseri oleh Nia Dinata dan beberapa film yang dibuat dan disutradarai oleh beberapa sineas muda.

JIFFEST 2009 memasukan beberapa film terbaik dari film-film di seluruh dunia, termasuk dari ASEAN dan Festival Film Madani. Ada program bertema Islam yang telah dibuat bersama dengan rumahfilm.org.

Kehadiran Christian Scheurer (konsultan visual untuk Matrix) dan Petr Lom, yang mencatat kegiatan Presiden Iran Mahmoud Ahmadinejad, sebuah acara populer, seperti panel diskusi tentang topik promosi film dan pemasaran serta peluncuran buku Amir Muhammad Film Yasmin Ahmad.

Sang Pemimpi menjadi film Indonesia pertama yang tampil sebagai film pembuka JIFFEST. Film penutup adalah New York, I Love You. Di antara film-film yang mewakili 25 negara yang berbeda.

Untuk tahun kedua belas, JIFFEST diselenggarakan dari tanggal 26 November sampai 5 Desember 2010 di Blitzmegaplex Pacific Place, Kineforum di Ismail Marzuki Arts Centre, dan Universitas Bina Nusantara International, Jakarta. Sumber utama pendanaan JIFFEST berasal dari donor asing, dan setelah tahun kesepuluh, dukungan tidak lagi ada. JIFFEST sekarang harus bergantung pada dukungan pemerintah dan sponsor lokal.

Film yang diputar termasuk Superman, The Day Kami Connect, Scott Pilgrim vs Dunia, Outrage, The Wedding Photographer (Bröllopsfotografen), Uncle Boonmee Who Can Recall His Past Lives, dan When We Leave (Die Fremde).

Untuk tahun ketiga belas, JIFFEST 2013 kembali digelar mulai 15 November sampai dengan 30 November 2013, setelah vakum selama dua tahun terakhir. JiFFest ke-13 ini terjadi berkat kerja sama dengan Muvila.com, Enjoy Jakarta, Jive Entertainment, Blitzmegaplex, dan Galeri Indonesia Kaya. Ada empat program dalam JiFFest 2013. Pertama "Pop-Up Festival", program kedua adalah "Retrospektif Boon Jung Ho", lalu ada program "World Cinema", dan yang terakhir adalah program "Open Air Cinema".

Pranala luar

sunting