Istana Niat Lima Laras

bangunan istana di Indonesia

Istana Niat Lima Laras adalah salah satu Istana kerajaan Melayu pesisir yang berada di Kabupaten Batu Bara, provinsi Sumatera Utara. Istana Niat Lima Laras terletak di kawasan pemukiman/perkampungan nelayan yang dibangun berawal dari nazar atau niat seorang Datuk Matyoeda Sri Diraja (Raja Kerajaan Lima Laras XII) yang dikenal dengan nama Datuk Muhammad Yuda, putera tertua dari seorang Raja yaitu Datuk Haji Djafar gelar Raja Sri Indra (Raja Kerajaan Lima Laras XI).[2]

Istana Niat Lima Laras
Istana Niat Lima Laras saat ini
Istana Niat Lima Laras di Sumatra Utara
Istana Niat Lima Laras
Location within Sumatra Utara
Informasi umum
StatusAktif pada Tahun 1912 - 1923
Gaya arsitekturMelayu, China, Eropa
LokasiJl. Rakyat, dusun I, desa Lima Laras, kec. Tanjung Tiram, kab. Batu Bara, prov. Sumatera Utara[1]
 Indonesia
NegaraIndonesia
Koordinat3°12′15″N 99°36′05″E / 3.204252°N 99.601487°E / 3.204252; 99.601487
Mulai dibangunTahun 1907[2]
RampungTahun 1912[2]
Biaya150.000 Gulden[1]
Biaya renovasi234.000.000 Rupiah[3] (1980)
Data teknis
Ukuran1.400 m2

Istana Niat Lima Laras memiliki 6 anjungan yang masing-masing menghadap ke arah empat mata angin, memiliki 28 pintu dan 66 pasang jendela. Lantai bawah dan balai ruangan berornamen China dan terbuat dari beton yang dipergunakan sebagai tempat bermusyawarah. Pada lantai II dan III bangunan diperuntukkan sebagai tempat tinggal keluarga kerajaan dan hanya terbuat dari kayu. Terdapat beberapa kamar dengan ukuran 30 m2 di lantai II dan III yang dihubungkan oleh tangga yang melingkar di tengah-tengah ruangan istana.[4]

Sejarah

sunting

Berawal dari larangan berdagang yang diterapkan oleh Pemerintahan Hindia Belanda terhadap para raja yang ditentang oleh Datuk Matyoeda. Datuk Matyoeda sendiri adalah Raja Kerajaan Lima Laras XII, yang bertahta pada tahun 1883 - 1919. Larangan Berdagang tanpa alasan yang jelas oleh pemerintah Hindia Belanda disinyalir akibat dari imbas monopoli perdagangan hasil bumi. Bila ada yang melanggar kebijakan tersebut maka armada beserta isinya akan ditarik paksa oleh pemerintah Hindia Belanda. Datuk Matyoeda sering berdagang hasil bumi (Kopra, Damar, dan Rotan) ke Malaka, Malaysia, Singapura, dan Thailand. Datuk Matyoeda sering berhadapan dengan pemerintah Hindia Belanda akibat dari kebijakan tersebut, sehingga timbul niat/nazar Datuk Matyoeda untuk membangun sebuah Istana apabila dapat berhasil dengan selamat. Dan ternyata Datuk Matyoeda dapat berlabuh di pelabuhan Tanjung Tiram dan juga memiliki untung besar dari berdagang hasil bumi.

 
Datuk Muda Abdul Rani/Roni, ca 1934

Kemudian istana dapat dibangun dengan biaya sebesar 150.000 Gulden, dengan mendatangkan 80 orang tenaga ahli dari negeri China dan Pulau Penang Malaysia, dan sejumlah tukang yang berasal dari sekitar pembangunan istana. Datuk Matyoeda bersama keluarga beserta unsur pemerintahannya mendiami lokasi istana sejak tahun 1883 (awal perencanaan pembangunan istana) hingga berdirinya istana pada tahun 1912. Waktu wafatnya Datuk Matyoeda pada 7 Juni 1919, sekaligus penanda berakhirnya kejayaan Kerajaan Lima Laras. Aktivitas di istana berakhir pada tahun 1923, yaitu akhir dari pemerintahan Datuk Muda Abdul Roni (Raja Kerajaan Lima Laras XIII). Pada tahun 1942 tentara Jepang masuk ke Asahan dan menguasai istana. Pada masa Agresi Militer II, Istana Niat Lima Laras kembali ke Republik Indonesia dan ditempati oleh Angkatan Laut RI di bawah pimpinan Mayor Dahrif Nasution.

Referensi

sunting

Pranala luar

sunting