Islam di Yogyakarta
Islam adalah agama yang dianut oleh mayoritas penduduk di Daerah Istimewa Yogyakarta. Sensus BPS tahun 2010 menyebutkan lebih dari 92% atau sebanyak 3.179.129 dari 3.457.491 jiwa penduduk Jogyakarta memeluk agama Islam.[1] Yogyakarta juga merupakan basis dan tempat didirikannya Muhammadiyah sebagai salah satu organisasi reformis Islam yang besar dan berpengaruh di Indonesia.
Masuknya Islam ke Yogyakarta
suntingTersebarnya Islam di Yogyakarta dimulai sekitar akhir abad ke-16 dengan berdirinya Kesulatanan Mataram Islam yang berasal dari Demak, pindah ke Pajang lalu kemudian ke Kotagede. Wilayah kekuasaan Mataram kala itu meliputi Jawa bagian tengah dan timur. Perjanjian dengan Belanda pada tahun 1755 memecah kesultanan menjadi dua, Yogyakarta dan Surakarta. Kesultanan Yogyakarta ini kemudian di masa kemerdekaan berubah menjadi daerah istimewa setingkat provinsi. Berdirinya kerajaan Islam ini berangsur menjadi sarana berkembangnya Islam menggantikan keyakinan mayoritas yang dianut oleh masyarakat setempat sebelumnya, yaitu Hindu-Buddha dan kepercayaan lokal.
Demografi
suntingBerikut merupakan sebaran Muslim per kota/kabupaten di Yogyakarta.
Kota/kotamadya | Muslim[2] | % |
---|---|---|
Kulon Progo | 366.747 | 94.31% |
Bantul | 868.326 | 95.26% |
Gunung Kidul | 649.209 | 96.12% |
Sleman | 971.414 | 88.87% |
Kota Yogyakarta | 323.433 | 83.22% |
TOTAL | 3.179.129 | 91.95% |
Pendidikan
suntingPendidikan berbasis Islam di Yogyakarta dilakukan secara tradisonal dan modern, melalui pondok-pondok pesantren maupun sekolah-sekolah formal.
Pendidikan tinggi
suntingKeinginan untuk mendirikan lembaga pendidikan tinggi Islam sudah dirintis sejak zaman penjajahan. Dr. Satiman Wirjosandjojo pada Pedoman Masyarakat Nomor 15 Tahun W (1938) melontarkan gagasan pentingnya sebuah lembaga pendidikan tinggi Islam dalam upaya mengangkat harga diri kaum muslimin di tanah Hindia Belanda. Gagasan tersebut baru terwujud pada 8 Juli 1945 ketika Sekolah Tinggi Islam (STI) berdiri di Jakarta di bawah pimpinan Prof. Abdul Kahar Muzakkir, sedangkan Yayasan Badan Pengurus Sekolah Tinggi Islam dipimpin oleh Drs. Mohammad Hatta dan M. Natsir sebagai sekretarisnya. Pada masa revolusi, STI mengikuti Pemerintah Pusat RI yang pindah ke Yogyakarta. Pada tanggal 10 April 1946, STI dibuka kembali di kota Yogyakarta. Dalam sidang panitia perbaikan STI pada nopember 1947, disepakati pendirian Universitas Islam Indonesia (UII) pada tahun berikutnya dengan empat fakultas, yaitu fakultas Agama, Hukum, Ekonomi, dan Pendidikan. Pada 1951, Perguruan Tinggi Islam Indonesia (PTII) Surakarta bergabung dengan UII yang berkedudukan di Yogyakarta.
Selepas revolusi pemerintah memberikan penghargaan berupa Universitas Gadjah Mada (UGM) untuk kalangan nasionalis[3] Sedangkan bagi kalangan Islami diberikan Perguruan Tinggi Agama Islam Negeri (PTAIN), yang diambil dari Fakultas Agama UII,[4] dan diresmikan pada 26 September 1951 dengan memiliki tiga jurusan, yaitu Jurusan Dakwah (kelak menjadi Fakultas Ushuludin), Qodlo (menjadi Fakultas Syari'ah), dan Pendidikan (menjadi Fakultas Tarbiyah).
Tahun 1960 dikeluarkanlah Peraturan Presiden tentang Pembentukan Institut Agama Islam Negeri (IAIN) Al-Jami'ah Al-Islamiyah Al-Hukumiyah yang berkedudukan di Yogyakarta dan diresmikan pada tanggal 24 Agustus 1960 oleh Menteri Agama pada saat itu. IAIN Al-Jami'ah Al-Islamiyah Al-Hukumiyah ini adalah IAIN yang pertama di Indonesia. Perkembangan IAIN yang pesat menyebabkan dikeluarkannya Peraturan Presiden[5] yang memungkinkan didirikannya suatu IAIN lain yang terpisah dari pusat (Yogyakarta). IAIN baru setelahnya adalah IAIN Jakarta. Mulai 1 Juli 1965, IAIN di Yogyakarta diberi nama IAIN Sunan Kalijaga.[6]
Pengaruh
suntingArsitektur
suntingBagian ini memerlukan pengembangan. Anda dapat membantu dengan mengembangkannya. |