Iriak Onjai merupakan satu bentuk sastra lisan daerah Rao, Pasaman Timur, tepatnya di Kota Panjang dan Bangkat. Bentuk dari Sastra lisan ini adalah berupa pantun yang didendangkan secara bergantian oleh sekelompok orang laki-laki. Tradisi Onjak Onjai ini dilakukan ketika masyarakat setempat sedang panen padi. Cara pelaksanaannya adalah dengan laki-laki yang berbalas pantun antara sekelompok laki-laki dengan laki-laki lain. Tradisi Iriak Onjai ini dilakukan di tengah sawah, hal ini sesuai dengan namanya yaitu Iriak Onjai. Iriak berarti irik atau mengirik, artinya memisahkan padi dari tangkainya yang sebelumnya padi-padi tersebut sudah dikumpulkan dalam satu tempat yang disebut Lampok. Lampok didirikan di tengah-tengah sawah yang ukurannya besar dengan mendirikan tenda di atasnya, di dalam tenda tersebutlah padi-padi dikumpulkan. Tanah dengan lantai diberi jarak dan papan lantai tersebut disusun jarang-jarang, sehingga terdapat lubang kecil-kecil tempat jatuhnya padi ke bawah (ke tanah yang diberi alas). Cara memisahlkan padi dari tangkainya adalah dengan menggesek-gesekan kedua kaki secara silih berganti sampai padi-padinya memisah dari tangkai. Onjak (injit) kaki yang silih berganti ini yang disebut dengan onjai (semacam jalan di tempat). Jumlah anggotanya tidak terbatas, antara dua sampai lima belas orang atau lebih.

Sambil maiiriak, mereka kaum laki-laki berpantun yang diiringi dengan musik rabano dengan bahasa Minangkabau, dialek Rao. sementara kaum perempuan bertugas mengumpulkan padi dan menampinya, mereka tidak ikut terlibat dalam berbalas pantun. Bagi kaum laki-laki yang belum mempunyai istri, tradisi ini juga dilakukan sekaligus untuk mencari pasangan. Oleh karena itu, pantun-pantun yang dilantunkan akan ditujukan kepada wanita yang disukainya, sehingga wanita akan tersipu malu. Jika cocok, mereka akan melanjutkan hubungan mereka. Selain itu, tradisi ini juga untuk hiburan sehingga dapat menghilangkan rasa lelah ketika Mairiak

Namun, pada saat sekarang sastra lisan Iriak Onjai ini tidak ada ditampilkan lagi oleh masyarakatnya karna perkembangan zaman dan generasipun telah bertukar. selain itu hilangnya tradisi ini karena banyaknya masyarakat yang tidak lagi ke sawah karna jarak yang jauh dari rumah.[1]

Referensi

sunting
  1. ^ Amir, Adriyeti Dkk (2006). Pemetaan Sstra Lisan Minangkabau. Padang: Andalas University Presss. hlm. 218. ISBN 979-1097-08-9.