Iredentisme
Iredentisme (dari bahasa Italia irredento, "penebusan"), adalah konsep politik di mana suatu negara berhasrat untuk menganeksasi wilayah yang dikuasai oleh negara lain atas dasar persamaan etnis, keterkaitan sejarah dan budaya,[1] baik aktual maupun hanya dugaan. Konsep ini sering dikemukakan oleh penganut pan-nasionalisme untuk menyatukan identitas politik, kebudayaan, dan geografi politik antara dua negara yang bersangkutan. Karena sebagian besar perbatasan wilayah telah dipindahkan atau ditetapkan ulang dari waktu ke waktu, kebanyakan negara-negara besar secara teoretis bisa mengklaim wilayah-wilayah tetangga mereka. Penaklukan Jerman terhadap Austria dan penganeksasian Sudetenland yang berbahasa Jerman dari Cekoslowakia pada tahun 1938 adalah salah satu contoh dari irredentisme.

Beberapa negara telah menjadi sasaran irendentisme yang potensial bagi negara tetangga mereka. Negara-negara Eropa Timur pasca-Perang Dunia I terbentuk dari wilayah-wilayah bekas Kekaisaran Austria-Hungaria; perbatasan negara-negara Balkan dan Timur Dekat yang ditetapkan oleh Sekutu menyisakan banyak wilayah-wilayah baru dengan kelompok etnis minoritas yang tidak puas dengan penetapan perbatasan tersebut dan pada akhirnya memisahkan diri. Di Afrika, sebagian besar negara memiliki perbatasan yang ditetapkan berdasarkan kekuasaan kolonial Eropa, bukannya berdasarkan kelompok etnis dan persamaan bahasa. Oleh sebab itu, kelompok etnis yang sama dibagi menjadi beberapa negara yang berbeda, misalnya bangsa Yoruba yang di bagi menjadi Nigeria dan Benin. Contoh lainnya adalah etnis Melayu dipisahkan menurut jajahan Inggris (Malaysia, Brunei dan Singapura) dan Belanda (Indonesia). Di beberapa wilayah, permasalahan iredentisme ini terus menjadi sumber sengketa hingga saat ini, misalnya Korea Utara dan Korea Selatan.[2][3]
Tipe
suntingAda berbagai tipe iredentisme yang dicanangkan. Namun, tidak semua pakar menyetujui bahwa seluruh tipe yang didaftarkan adalah iredentisme dan iredentisme sering bergantung dengan definisi apa yang dipakai.[4][5][6] Menurut pakar politik Naomi Chazan dan Donald L. Horowitz, ada dua jenis iredentisme. Kasus umumnya melibatkan sebuah negara memiliki niat untuk merebut wilayah negara lain. Klaim Jerman Nazi terhadap Sudetenland dari Cekoslowakia adalah salah satu contoh umum tersebut.
Contoh kedua tidak melibatkan sebuah negara, melainkan sebuah etnis yang tersebar di berbagai negara ingin memerdekakan diri untuk mendirikan negara baru. Contoh tersebut adalah cita-cita Orang Kurdi untuk mendirikan negara mereka sendiri, Kurdistan di wilayah yang akan dicaplok dari Turki, Irak dan Suriah. Jika kasus ini berhasil, maka ini bukan iredentisme, melainkan separatisme. Contoh tersebut adalah pembentukan Slovenia saat Perpecahan Yugoslavia dimana Suku Slovenia di Yugoslavia membentuk negara mereka sendiri namun suku yang sama di Austria memutuskan untuk tetap berada di kedaulatan Austria.[7] Namun, gagasan ini tidak selalu disetujui oleh pakar bahwa konsep ini adalah iredentisme. Mereka berpendapat bahwa contoh kedua ini memiliki persamaan yang sama dengan separatisme sehingga tidak ada perbedaan mencolok antara keduanya. Sebagai contoh, pakar politik Benyamin Neuberger menyatakan bahwa hanya sebuah negara sebelumnya yang pernah berdiri bisa dijadikan dasar iredentisme.[7]
Pakar politik Thomas Ambrosio membatasi definisinya mengenai beberapa kasus iredentisme yang membutuhkan negara yang berdiri sebelumnya dan mendefinisikan tiga jenis iredentisme: 1) antar dua negara; 2) antara sebuah negara dan sebuah koloni; dan 3) antara negara yang baru berdiri dengan negara yang akan runtuh. Kasus umumnya melibatkan antar dua negara, seperti Perang Ogaden.[8][9] Kasus kedua mencakupi dekolonisasi, koloni tersebut menjadi wilayah negara lain. Contohnya seperti Invasi Goa oleh India melawan Portugal dan Invasi Indonesia ke Timor Leste.[8][10] Dalam kasus ketiga, sebuah negara yang baru berdiri mulai mengambil bekas wilayah milik negara yang runtuh. Ini merupakan kasus untuk iredentisme di Kroasia dan Serbia saat Yugoslavia runtuh.[8][11]
Konsep terkait
suntingRevanchisme
suntingIredentisme dan revanchisme memiliki konsep dan fenomena yang sama karena kedua konsep melibatkan merebutkan wilayah negara lain.[12][13][14] Namun yang membedakan keduanya adalah apa motivasi dibalik keinginan keduanya. Iredentisme memiliki motivasi "positif" dengan tujuan merebutkan wilayah negara lain untuk membangun bangsa yang "hebat" sementara revanchisme fokus terhadap balas dendam.[7][15][12]
Lihat juga
suntingReferensi
sunting- ^ Kim, German (2016). "Irredentism in Disputed Territories and Its Influence on the Border Conflicts and Wars". The Journal of Territorial and Maritime Studies. 3 (1): 87–101. ISSN 2288-6834.
- ^ "Irredenta", Free Dictionary
- ^ Ambrosio, Thomas (2024-03-22). "irredentism territorial claim". britannica.com. Diakses tanggal 2024-04-27. line feed character di
|title=
pada posisi 12 (bantuan) - ^ Kornprobst 2008, hlm. 8–10.
- ^ Ambrosio 2022.
- ^ Horowitz 2011, hlm. 159.
- ^ a b c White & Millett 2019, hlm. 420.
- ^ a b c White & Millett 2019, hlm. 420–421.
- ^ Ackermann et al. 2008a, hlm. 143.
- ^ Ackermann et al. 2008a, hlm. 130.
- ^ Ackermann et al. 2008a, hlm. 49, 468–471.
- ^ a b Wittmann 2016, hlm. 301–302.
- ^ Burnett 2020, hlm. xvii.
- ^ Nolan 2002, hlm. 1400.
- ^ Clarke & Foweraker 2003, hlm. 375–376.
Daftar pustaka
sunting- Willard, CA 1996 — Liberalism and the Problem of Knowledge: A New Rhetoric for Modern Democracy, Chicago: University of Chicago Press. 10-ISBN 0-226-89845-8/13-ISBN 978-0-226-89845-2; OCLC 260223405