Infodemik merupakan penyebaran informasi yang berlebihan, termasuk informasi yang salah atau menyesatkan, baik di dunia digital maupun fisik, terutama selama wabah penyakit. Istilah ini didefinisikan oleh Organisasi Kesehatan Dunia (WHO).[1] Menyebarnya infodemik dapat membuat masyarakat bingung sehingga memicu perilaku yang berisiko banyak, yang akhirnya dapat membahayakan kesehatan. Selain itu, infodemik bisa menurunkan kepercayaan masyarakat terhadap otoritas kesehatan dan melemahkan upaya penanganan terhadap krisis kesehatan.[2]

Ilustrasi Infodemik

Dampak yang ditimbulkan yakni masyarakat menjadi bingung tentang langkah yang harus diambil akibat menyebarnya infodemik. Walaupun bertujuan untuk menjaga kesehatan diri sendiri dan orang lain, infodemik dapat memperburuk atau memperpanjang wabah. Dengan semakin berkembangnya teknologi digital, seperti media sosial dan internet, informasi menyebar dengan sangat cepat. Meski dapat membantu menyebarkan informasi penting, penyebaran ini juga bisa memperparah tersebarnya informasi yang keliru atau berbahaya.[3]

Manajemen infodemik

sunting

Istilah ini merujuk pada pendekatan sistematis yang menggunakan analisis berbasis bukti dan risiko untuk mengelola penyebaran informasi yang salah dan mengurangi dampaknya terhadap perilaku kesehatan selama situasi darurat. Tujuan dari manajemen infodemi adalah untuk mendorong perilaku kesehatan yang baik melalui empat langkah utama, yakni mendengarkan kekhawatiran dan pertanyaan masyarakat, meningkatkan pemahaman tentang risiko dan saran dari ahli kesehatan, membangun ketahanan terhadap informasi yang salah, serta melibatkan dan memberdayakan kelompok tertentu agar mereka dapat mengambil langkah positif untuk melindungi kesehatan mereka.

Untuk mengatasi terjadinya infodemik ini, WHO telah mengembangkan serangkaian kursus yang tersedia di platform OpenWHO. Kursus-kursus ini dirancang untuk membekali individu dengan keterampilan yang diperlukan dalam manajemen infodemik, termasuk pemantauan informasi (infoveillance), peningkatan literasi eHealth dan literasi sains, serta penerapan intervensi yang efektif untuk mengatasi penyebaran informasi yang salah. Salah satu kursus yang ditawarkan adalah Infodemic Management: Working effectively as an infodemic manager in the field, yang bertujuan untuk melatih peserta agar dapat memahami secara efektif definisi infodemik di kehidupan sehari-hari. Kursus ini mencakup berbagai modul yang membahas konsep dasar infodemik, strategi manajemen, dan studi kasus nyata.[4]

Kerja Sama Internasional Melawan Infodemik

sunting
Melawan Infodemik

Sebanyak 132 negara dan wilayah mengajak seluruh dunia untuk bekerja sama melawan infodemik. Dalam pernyataan bersama, seruan ini meminta agar masyarakat berhenti menyebarkan informasi yang salah dan mematuhi rekomendasi dari Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB). Salah satu rekomendasi tersebut adalah panduan PBB tentang cara mengatasi ujaran kebencian terkait Covid-19.[1] Gerakan melawan infodemik ini diprakarsai oleh 12 negara, termasuk Indonesia, Afrika Selatan, Australia, Chile, Georgia, India, Latvia, Lebanon, Mauritius, Meksiko, Norwegia, dan Prancis. Kelompok ini menyadari bahwa infodemik berdampak sangat berbahaya karena dapat memicu kekerasan, menimbulkan kepanikan, dan memecah belah masyarakat. Mereka meluncurkan pernyataan dukungan terhadap Cross-Regional Statement on Infodemic in the Context of COVID-19, yang telah didukung oleh 132 negara anggota PBB.[5]

Menteri Luar Negeri Repubik Indonesia pada masa itu, Retno Marsudi, berharap pernyataan bersama ini dapat memperkuat kerja sama internasional dalam mengatasi disinformasi selama pandemi. Retno menegaskan bahwa Indonesia selalu mengutamakan penyebaran fakta dan informasi dari sumber resmi agar masyarakat tidak salah persepsi. Pernyataan ini juga menekankan pentingnya akses terhadap informasi yang benar, akurat, faktual, jelas, dan berbasis ilmu pengetahuan. Semua pihak, termasuk media, organisasi regional, dan lembaga swadaya masyarakat (LSM), diharapkan berperan aktif dalam melawan infodemik. Wakil Tetap RI untuk PBB, Duta Besar Dian Triansyah Djani, mengimbau masyarakat untuk selalu mencari informasi dari sumber terpercaya. Ia menekankan agar masyarakat lebih bijak dalam menyaring dan memverifikasi informasi sebelum membagikannya ke orang lain. Di tengah pandemi Covid-19, infodemik semakin marak, dengan munculnya banyak berita palsu yang menyesatkan. Informasi keliru ini menyertakan nama-nama tokoh terkenal seperti Bill Gates[6] dan Profesor Tasuku Honjo[7] untuk memperkuat kebohongan tersebut. Walaupun keduanya telah membantah klaim tersebut, banyak orang yang sudah terlanjur percaya.

Bill Gates, Tasuku Honjo, dan Hoaks tentang Penarikan Vaksin Covid-19

sunting

Dalam konteks pandemi Covid-19, beredar di media sosial Facebook sebuah unggahan foto yang menyatakan bahwa Bill Gates menyerukan penarikan semua vaksin Covid-19 dengan alasan bahwa “vaksin jauh lebih berbahaya daripada yang dibayangkan siapa pun.” Namun, informasi ini dikonfirmasi sebagai hoaks. Menurut sumber dari Liputan6.com, klaim tersebut berasal dari artikel di situs theexpose.uk. Pihak redaksi The Expose telah menyatakan bahwa artikel tersebut adalah satire atau sindiran dan bersifat fiktif. Bill Gates tidak pernah mengeluarkan pernyataan terkait penarikan vaksin tersebut.[8]

Tasuku Honjo

Sebaliknya, Bill Gates dan organisasi miliknya, Bill & Melinda Gates Foundation, mendukung penuh program vaksinasi Covid-19 di berbagai negara. Yayasan ini aktif mendanai penelitian, pengembangan, dan distribusi vaksin sebagai upaya untuk mengatasi pandemi global. Hoaks semacam ini menciptakan disinformasi yang dapat memengaruhi kepercayaan publik terhadap vaksinasi. Oleh karena itu, penting untuk memeriksa fakta dan sumber informasi sebelum menyebarkannya.[8]

Dalam situasi pandemi Covid-19, beredar luas di media sosial sebuah artikel yang menyatakan bahwa Profesor Tasuku Honjo, peraih Nobel Kedokteran asal Jepang, mengklaim bahwa virus Corona adalah virus yang direkayasa oleh Cina. Namun, informasi tersebut telah dikonfirmasi sebagai hoaks. Berdasarkan laporan dari dunia.tempo.co, yang mengutip situs pemeriksa fakta Factly, artikel tersebut diverifikasi sebagai berita bohong pada 25 April 2020. Factly menyatakan bahwa tidak ada bukti atau sumber kredibel yang mengaitkan klaim tersebut dengan Profesor Tasuku Honjo. Selain itu, klaim bahwa Tasuku Honjo pernah bekerja di laboratorium Wuhan selama empat tahun juga tidak benar.

Dalam pernyataannya kepada media, Tasuku Honjo justru menekankan pentingnya peningkatan kapasitas tes PCR untuk mendeteksi infeksi virus, dengan target lebih dari 10.000 tes per hari. Beliau juga mengimbau penduduk di tiga kota besar Jepang, yakni Tokyo, Osaka, dan Nagoya untuk menahan diri dari bepergian guna mengurangi penyebaran virus. Saat ini, Profesor Tasuku Honjo menjabat sebagai Wakil Direktur Jenderal dan Profesor Terhormat di Kyoto University Institute for Advanced Study. Sebagai ilmuwan terkemuka, Tasuku Honjo dikenal atas kontribusinya dalam bidang imunologi dan penemuan yang terkait dengan pengobatan kanker.

Pentingnya Informasi yang Akurat

sunting
Ilustrasi Menolak Informasi Yang Tidak Relevan

Pandemi Covid-19 menunjukkan betapa pentingnya akses terhadap informasi yang benar, dapat dipercaya, akurat, jelas, dan berdasarkan ilmu pengetahuan. Informasi ini sebaiknya tersedia dalam berbagai bahasa dan mudah dipahami oleh semua orang. Selain itu, penting juga untuk melibatkan semua pihak dan komunitas yang terdampak dalam proses komunikasi. Negara-negara diminta untuk mengambil langkah melawan penyebaran informasi yang salah, namun tetap menghormati kebebasan berbicara, menjaga keamanan, dan ketertiban masyarakat.[1]

Di Indonesia, pemerintah melalui Kementerian Komunikasi dan Informatika (Kominfo) yang sekarang menjadi Kementerian Komunikasi dan Digital (Komdigi) aktif memantau dan menindak penyebaran hoaks. Hingga Mei 2020, terdapat lebih dari 1.400 konten hoaks terkait Covid-19. Kominfo bekerja sama dengan platform media sosial seperti Facebook, Twitter, dan Instagram untuk menghapus konten-konten yang melanggar hukum. Dalam situasi pandemi seperti ini, penyebaran informasi yang salah akan memperburuk keadaan.[9] Oleh karena itu, seruan bersama di PBB menegaskan perlunya membangun norma-norma global untuk memerangi infodemik. Langkah ini penting untuk mewujudkan dunia yang lebih sehat, adil, dan tangguh di tengah tantangan pandemi Covid-19.[10] Penyebaran hoaks seperti yang telah dijelaskan pada paragraf sebelumnya dapat menimbulkan kebingungan di tengah masyarakat. Oleh karena itu, penting untuk selalu merujuk pada sumber yang terpercaya dan diverifikasi sebelum mempercayai atau menyebarkan informasi.

Rujukan

sunting
  1. ^ a b c Tim Cek Fakta (2022-01-17). "Mengenal Infodemik, Misinformasi yang Menyebar Lebih Cepat dari Virus". Kompas.com. Diakses tanggal 2024-12-15. 
  2. ^ Media, Kompas Cyber (2022-01-17). "Mengenal Infodemik, Misinformasi yang Menyebar Lebih Cepat dari Virus Halaman all - Kompas.com". KOMPAS.com. Diakses tanggal 2024-12-15. 
  3. ^ "Infodemic". www.who.int (dalam bahasa Inggris). Diakses tanggal 2024-12-15. 
  4. ^ "Infodemic Management". openwho.org (dalam bahasa Inggris). Diakses tanggal 2024-12-15. 
  5. ^ Newswire (2020-06-13). "132 Anggota PBB Teken Pernyataan Bersama Lawan 'Infodemic'". Bisnis.com. Diakses tanggal 2024-12-15. 
  6. ^ "[HOAKS] Bill Gates Serukan Penarikan Vaksin Covid-19 karena Berbahaya". www.kominfo.go.id. 2021-09-21. Diakses tanggal 2024-12-15. 
  7. ^ "[HOAKS] Profesor Tasuku Honjo Peraih Nobel Sebut Corona Direkayasa Cina". www.komdigi.go.id. 2020-04-27. Diakses tanggal 2024-12-15. 
  8. ^ a b Kominfo (2021-09-21). "[HOAKS] Bill Gates Serukan Penarikan Vaksin Covid-19 karena Berbahaya". www.komdigi.go.id. Diakses tanggal 2024-12-15. 
  9. ^ "Investigating the coronavirus: Journalists fight the 'infodemic' - ICIJ" (dalam bahasa Inggris). 2020-05-12. Diakses tanggal 2024-12-15. 
  10. ^ "Infodemic management". www.who.int (dalam bahasa Inggris). Diakses tanggal 2024-12-15.