Indeks bangunan tinggi


Indeks bangunan tinggi merupakan sebuah konsep yang pertama kali dicetuskan pada tahun 1999 oleh Andrew Lawrence, analis properti Dresdner Kleinwort Wasserstein (saat ini bernama ''Kleinwort Hambros'').[1] Konsep ini menunjukkan bahwa gedung-gedung tertinggi di dunia telah bangkit menjelang kemerosotan ekonomi.[2] Siklus bisnis dan pembangunan bangunan tinggi memiliki korelasi sehingga investasi gedung pencakar langit mencapai puncaknya ketika siklus pertumbuhan habis dan ekonomi siap menghadapi resesi. Mark Thornton's Skyscraper Index Model berhasil menunjukkan tanda-tanda pada krisis keuangan akhir tahun 2000-an pada awal Agustus 2007.[3]

Detail

sunting
 
Gedung Empire State Building di New York, Amerika Serikat

Lawrence memulai makalahnya, The Skyscraper Index: Faulty Towers, dalam sebuah jokes (ditekankan dengan judul yang merujuk pada acara komedi) mendasarkan indeksnya pada perbandingan data sejarah, terutama dari pengalaman Amerika Serikat.[1] Dia menolak statistik konstruksi dan investasi secara keseluruhan, hanya berfokus pada proyek-proyek yang memecahkan rekor.[4] Contoh penting pertama adalah kepanikan tahun 1907. Dua gedung pencakar langit yang memecahkan rekor, Singer Building dan Metropolitan Life Insurance Company Tower, diresmikan di New York sebelum peristiwa kepanikan dan selesai masing-masing pada tahun 1908 dan 1909. Met Life tetap menjadi gedung tertinggi di dunia hingga tahun 1913. Deretan menara supertinggi lainnya –40 Wall Street, Gedung Chrysler, Empire State Building diluncurkan sesaat sebelum Keruntuhan Wall Street tahun 1929.[4]

Pemegang rekor gedung tinggi berikutnya, menara World Trade Center dan Sears Tower, dibuka pada tahun 1973, selama jatuhnya pasar saham 1973–1974 dan krisis minyak tahun 1973. Contoh terakhir yang di analisis Lawrence, Menara Kembar Petronas, dibuka setelah Krisis Keuangan Asia 1997 dan memegang rekor ketinggian dunia selama lima tahun. Lawrence mengaitkan fenomena tersebut dengan investasi berlebihan, spekulasi, dan ekspansi moneter, tetapi tidak menguraikan masalah mendasar ini.[4] Konsep ini dihidupkan kembali pada tahun 2005, saat Media Ekonomi Fortune dengan hati-hati mengamati lima perusahaan media yang berinvestasi di gedung pencakar langit baru di Manhattan[2] (tidak satu pun dari mereka, termasuk yang tertinggi, Gedung New York Times, telah memecahkan rekor).

Pembangunan Burj Khalifa mungkin mengikuti pola ini. Pada oktober 2009, perusahaan konstruksi Emaar mengumumkan telah menyelesaikan bagian luar gedung; dalam dua bulan, pemerintah Dubai nyaris gagal bayar dalam melakukan pembangunan gedung ini. Stephen Bayley dari The Daily Telegraph berkomentar, "Untuk semua ambisi pembangunannya, Menara Khalifa Dubai yang baru adalah monumen tanpa tujuan yang menakutkan untuk era subprime".[5]

Referensi

sunting
  1. ^ a b Lawrence, Andrew (1999). "The Skyscraper Index: Faulty Towers". Property Report. Dresdner Kleinwort Waserstein Research, January 15, 1999. 
  2. ^ a b Leonard, Devin (September 5, 2005). "Curse of the Skyscraper". Fortune, September 5, 2005. Diakses tanggal May 23, 2010. 
  3. ^ Voigt, Kevin (January 8, 2010). "As skyscrapers rise, markets fall". CNN. Diarsipkan dari versi asli tanggal January 13, 2011. Diakses tanggal January 8, 2010. 
  4. ^ a b c Mark Thornton (August 7, 2007). "New Record Skyscraper (and depression?) in the making". Mises Institute. 
  5. ^ Bayley, Stephen (January 5, 2010). "Burj Dubai: The new pinnacle of vanity". The Daily Telegraph. London. Diakses tanggal July 27, 2017. 

Lihat pula

sunting