Ilmu perbandingan agama

(Dialihkan dari Ilmu Perbandingan Agama)

Perbandingan Agama adalah ilmu yang mempelajari asal-usul, ciri-ciri dan struktur asasi agama-agama dengan maksud untuk menentukan persamaan-persamaan dan perbedaan-perbedaannya yang sebenarnya serta sejauh mana hubungan agama yang satu dengan agama yang lain sehingga dapat diungkapkan hakikat dan pentingnya agama bagi pemeluknya masing-masing.[1][2] Dewasa ini Ilmu Perbandingan Agama dipelajari di bawah beraneka ragam cabang ilmu seperti sejarah agama, psikologi agama, sosiologi agama, fenomenologi agama, dan filsafat agama serta beberapa ilmu-ilmu bantu yang lainnya.[2] Tiap-tiap cabang ilmu itu memiliki pendekatan dan metodenya sendiri-sendiri.[2]

Sejarah

sunting

Masa Yunani-Romawi

sunting

Sejarah Ilmu Perbandingan Agama dapat ditelusuri jauh pada masa Yunani-Romawi yang di dalamnya terdapat beberapa tokoh yang melakukan studi perbandingan terhadap agama-agama.[1] Berdasarkan corak kepercayaan Yunani-Romawi yang bersifat antropomorfis dan politeistis, maka karakteristik studi agama pada masa itu menggambarkan religiusitas masyarakat yang bersangkutan.[1] Herodotus (484-425 SM), misalnya, menyatakan bahwa meskipun masyarakat Yunani menyembah banyak dewa namun pada hakikatnya dewa-dewa itu sama, yaitu manifestasi dari manusia.[1] Teori ini dikenal dengan the equivalence of gods.[1] Begitu pula Euhemerus (330-260 M), mengatakan hal yang sama bahwa dewa-dewa yang disembah masyarakat Yunani Kuno berasal dari manusia.[1]

Abad Pertengahan

sunting

Selanjutnya pada abad ke-9, Barat mulai melakukan kajian terhadap agama-agama.[1] Kajian ini dilatarbelakangi oleh beberapa hal yaitu, pertama, sinkretisme yang dilakukan oleh sebagian umat Kristiani yang secara formal memeluk Kristen namun dalam praktiknya masih sering mengamalkan tradisi keagamaan non-Kristen.[3] Atas dasar ini, orang Barat mengkaji tradisi keagamaan tersebut guna memisahkan tradisi keagamaan Kristen dengan non-Kristen.[3] Kedua, ditemukannya area baru yang didalamnya terdapat kepercayaan-kepercayaan di luar agama Kristen yang sebelumnya belum diketahui.[3] Ketiga, penemuan area baru dengan banyak kepercayaan di luar Kristen menumbuhkan semangat missionari Kristen untuk menyebarkan ajarannya.[3] Beberapa tokoh pada periode ini melahirkan teori-teori berdasarkan latar belakang kajian agama-agama tersebut.[1] Roger Bacon (1214-1294) misalnya, orang Inggris yang dalam lingkungan Eropa merupakan orang pertama yang ahli dalam bidang perbandingan sejarah agama.[1] Berdasarkan pendekatan tersebut ia menemukan beberapa tipologi agama.[4] Tokoh lain adalah Lord Herbert (1583-1648) yang juga ahli dalam studi perbandingan, mengungkapkan bahwa yang membedakan manusia dengan makhluk yang lainnya adalah agama.[4] Oleh sebab itu tidak ada yang disebut dengan Ateis. Ateis sebenarnya hanyalah orang yang berkeberatan untuk meyakini dan mempercayai Tuhan.[4]

Zaman Modern

sunting

Menjelang abad ke-19 yaitu saat-saat kemunculan Ilmu Perbandingan Agama, orientasi studi agama mengalami perubahan disebabkan oleh adanya semangat serta kemajuan ilmu pengetahuan dan teknologi.[1] Pada masa kemajuan inilah kemudian kecenderungan untuk mengkaji agama secara kritis dan ilmiah berkembang dengan pesat.[1] Agama dijadikan sebagai pokok pembicaraan, baik dari segi praktis maupun teoretis.[1] Berkenaan dengan hal ini ada beberapa alasan yang mendukungnya, yaitu:

  1. Kemajuan yang pesat dalam ilmu pengetahuan dan teknologi telah mempengaruhi dinamika beragama masyarakat saat itu, sehingga kecenderungan untuk mengkaji agama secara ilmiah dan kritis menjadi sangat tinggi.[5]
  2. Kecenderungan untuk merekonstruksi agama sebagai upaya untuk mengembangkannya dalam semua bidang urusan dunia.[5]
  3. Pengaruh-pengaruh social, politik, dan peristiwa-peristiwa internasional terhadap agama-agama.[5]

Berangkat dari beberapa alasan tersebut kemudian studi agama mulai meninggalkan model kajiannya yang bersifat primordial dan mementingkan upaya penyebaran agamanya sendiri menuju model studi yang metodologis dengan beragam pendekatan yang sesuai dengan keahlian para pengkaji agama tersebut.[1]) Frederich Max Muller, seorang ahli filologi dan sarjana besar berkebangsaan Jerman menyampaikan pidatonya pada 19 Februari 1970 di Royal Institution, London, dengan judul Introduction to the Science of Religion.[2] Titik inilah yang menjadi awal sebenarnya dari sejarah berdirinya Ilmu Perbandingan Agama.[2] Pasalnya kemudian pidato Max Muller ini dicetak dalam sebuah buku yang dianggap sebagai dokumen besar bagi Ilmu Perbandingan Agama dunia, dan Max Muller berdasarkan hal tersebut dianggap sebagai Bapak Ilmu Perbandingan Agama.[2]

Metodologi Ilmu Perbandingan Agama

sunting

Pendekatan Historis

sunting

Merupakan suatu periodesasi atau tahapan-tahapan yang ditempuh untuk sebuah penelitian sehingga dengan kemampuan yang ada dapat mencapai hakikat sejarah.[1] Yang dimaksud dengan kebenaran sejarah tidaklah harus sampai pada kenyataan dan kebenaran yang mutlak, sebab hal tersebut berada di luar kemampuan yang bisa disebabkan oleh hilangnya petunjuk, misalnya bekas peninggalan, atau karena ada tujuan dan kepentingan tertentu.[1] Dengan demikian hakikat yang ditemukan sejarah adalah hakikat yang valid namun relatif, sedangkan tujuan dari penelitian sejarah itu sendiri adalah membuat rekonstruksi masa lampau yang sistematis dan obyektif dengan mengumpulkan, mengevaluasi, memverifikasi serta menyintesiskan bukti-bukti untuk menegakkan fakta dan memperoleh kesimpulan yang kuat.[1]

Pendekatan Fenomenologis

sunting

Merupakan metode yang paling dekat dan berhubungan dengan pendekatan historis, oleh sebab itu lebih tepat jika disebut dengan metode historiko-fenimenologis.[1]

Tokoh Pakar ilmu Perbandingan Agama

sunting

Referensi

sunting
  1. ^ a b c d e f g h i j k l m n o p q Adeng Muchtar Ghazali. 2000. Ilmu Perbandingan Agama: Pengenalan Awal Metodologi Studi Agama-agama. Bandung: CV Pustaka Setia. Hlm. 11-12,17.
  2. ^ a b c d e f Mukti Ali. 1997. Ilmu Perbandingan Agama di Indonesia. Bandung: Mizan. Hlm. 14.
  3. ^ a b c d Ch. Farichin. 1987. Hlm 3-5.
  4. ^ a b c Majalah Wawasan. 1993. Hlm 33.
  5. ^ a b c (Inggris)James Hasting. tt. Encyclopedia of Religion and Ethics. New York: Scribner's. Hlm. 662.