Iktikaf

Berdiam Diri di dalam Masjid

Iktikaf (bahasa Arab: الاعتكاف) berasal dari bahasa Arab akafa yang berarti menetapi sesuatu yang baik / buruk walaupun tidak di dalam masjid.[1] Menurut istilah adalah berdiam diri baik secara nyata / hukum di dalam masjid dengan sifat tertentu. Orang yang sedang beriktikaf disebut juga mu'takif. Rukun i'tikaf ada 4 yaitu : niat, berdiam, di dalam masjid, dan mu'takif. Syarat mu'takif itu ada 3 : Islam, berakal, dan suci dari haid, nifas, dan junub.[2]

Jenis-jenis iktikaf

sunting

Iktikaf yang disyariatkan ada dua macam: iktikaf sunah dan wajib.

  1. Iktikaf sunah adalah iktikaf yang dilakukan secara sukarela semata-mata untuk mendekatkan diri dan mengharapkan rida Allah Swt. seperti; iktikaf 10 hari terakhir pada bulan Ramadan.[3]
  2. Iktikaf wajib adalah iktikaf karena bernazar, seperti: "Kalau Allah Swt. menyembuhkan penyakitku ini, maka aku akan beriktikaf".

Waktu iktikaf

sunting

Iktikaf wajib tergantung pada berapa lama waktu yang dinazarkan. Sedangkan iktikaf sunah tidak ada batasan waktu tertentu, kapan saja pada malam atau siang hari, waktunya boleh lama atau singkat.

Ya'la bin Umayyah berkata: "Sesungguhnya aku berdiam satu jam di masjid tak lain hanya untuk beriktikaf."

Syarat-syarat iktikaf

sunting

Orang yang beriktikaf harus memenuhi syarat-syarat[4] sebagai berikut :

  1. Niat
  2. menetap di masjid
  3. dilakukan di dalam masjid
  4. seorang mu'takif

Oleh karena itu, iktikaf tidak sah bagi orang yang bukan muslim, anak-anak yang belum dewasa, orang yang terganggu kewarasannya, orang yang dalam keadaan junub, wanita dalam masa haid dan nifas.

Rukun-rukun iktikaf

sunting
  1. Niat
  2. Berdiam di masjid (QS. Al Baqarah: 187)

Di sini ada dua pendapat ulama tentang masjid tempat iktikaf. Sebahagian ulama membolehkan iktikaf di setiap masjid yang digunakan untuk salat berjamaah lima waktu.

Hal itu dalam rangka menghindari seringnya keluar masjid dan untuk menjaga pelaksanaan salat jamaah setiap waktu.

Ulama lain mensyaratkan agar iktikaf itu dilaksanakan di masjid yang digunakan untuk membuat salat Jumat, sehingga orang yang beriktikaf tidak perlu meninggalkan tempat iktikafnya menuju masjid lain untuk salat Jumat.

Pendapat ini dikuatkan oleh para ulama Syafi'iyah bahwa yang utama yaitu iktikaf di masjid jami', karena Rasulullah saw iktikaf di masjid jami'. Lebih utama di tiga masjid; Masjid al-Haram, Masjid Nabawi dan Masjid Al-Aqsa.

Hal-hal yang diperbolehkan bagi muktakif (orang yang beriktikaf)

sunting
  1. Keluar dari tempat iktikaf untuk mengantar istri, sebagaimana yang dilakukan oleh Rasulullah saw. terhadap istrinya Shafiyah binti Huyay ra. (HR. Riwayat Bukhari dan Muslim)
  2. Menyisir atau mencukur rambut, memotong kuku, membersihkan tubuh dari kotoran dan bau badan.
  3. Keluar untuk keperluan yang harus dipenuhi, seperti membuang air besar dan kecil, makan, minum (jika tidak ada yang mengantarkannya), dan segala sesuatu yang tidak mungkin dilakukan di masjid, tetapi ia harus segera kembali setelah menyelesaikan keperluannya .
  4. Makan, minum, dan tidur di masjid dengan senantiasa menjaga kesucian dan kebersihan masjid.
  5. Menemui tamu di masjid untuk hal-hal yang diperbolehkan dalam agama.

Hal-hal yang membatalkan iktikaf

sunting
  1. Meninggalkan masjid dengan sengaja tanpa keperluan yang dikecualikan walaupun sebentar.
  2. Murtad (keluar dari agama Islam).
  3. Hilangnya akal, karena gila atau mabuk.
  4. Haid atau nifas.
  5. Bersetubuh dengan istri,[5] akan tetapi memegang tanpa syahwat, tidak apa-apa sebagaimana yang dilakukan Nabi dengan istri- istrinya.
  6. Pergi salat Jumat (bagi mereka yang membolehkan iktikaf di surau yang tidak digunakan untuk salat Jumat).

Lihat pula

sunting

Pranala luar

sunting

Bacaan lanjutan

sunting

Al-Kubaisi, Ahmad Abdurrazaq, Dr. 1994. I'tikaf Penting dan Perlu. Gema Insani Press.

Referensi

sunting