Ike Mese atau Yikomusu adalah nama komandan pasukan Mongol yang dikirim Kubilai Khan untuk menaklukkan Kertanagara raja Singhasari (1268-1292).

Latar Belakang

sunting

Pada perempat akhir abad ke-13, Kertanagara raja Singhasari terlibat persaingan melawan Kubilai Khan kaisar Mongol dalam memperebutkan pengaruh di kawasan Asia Tenggara.

Pada tahun 1289 Kubilai Khan mengirim utusan bernama Meng Khi (Hanzi: 孟琪, Meng-qi) untuk meminta Kertanagara supaya mengakui kekuasaan Kubilai Khan dan mengirim upeti ke Mongol setiap tahunnya. Kertanagara menolak permintaan itu, bahkan ia berani melukai wajah Meng Khi.

Penghinaan terhadap kekuasaan Mongol ini menyebabkan kemarahan Kubilai Khan. Pada tahun 1292 ia mengirim 20.000 orang tentara dipimpin Ike Mese, Kau Hsing, dan Shih Pi untuk menaklukkan Jawa.

Kedatangan Pasukan Mongol

sunting

Pasukan Mongol mendarat di Jawa tanggal 1 Maret 1293. Ike Mese mendengar kalau Kertanagara telah tewas dan memiliki ahli waris bernama Raden Wijaya. Ia pun mengirim utusan menemui Raden Wijaya yang berada di desa Majapahit, agar tunduk pada kekuasaan Mongol.

Raden Wijaya bersedia menyerah dan tunduk kepada Mongol asalkan terlebih dahulu dibantu mengalahkan Jayakatwang raja Kadiri. Ike Mese dan pasukan Mongol kemudian diundang ke desa Majapahit untuk dimintai bantuan mengusir pasukan Kadiri yang datang menyerang.

Tentara Kadiri menyerang Majapahit dari tiga jurusan. Namun semuanya dapat dipukul mundur oleh pasukan Mongol.

Penyerangan ke Kadiri

sunting

Kemudian, Pasukan Mongol dan Majapahit ganti menyerang ibu kota Kadiri dari berbagai jurusan. Ike Mese menyerang dari timur, Kau Hsing dari barat, Shih Pi menyusuri sungai, sedangkan pasukan Raden Wijaya sebagai barisan belakang.

Perang meletus tanggal 20 Maret 1293 pagi. Kota Daha digempur tiga kali meskipun sudah dijaga 100.000 orang prajurit. Lebih dari 5.000 orang mati terbunuh. Jayakatwang akhirnya menyerah pada sore harinya. Kemudian, Jayakatwang bersama anaknya, Ardharaja, dibawa ke Surabaya menjadi tawanan di atas kapal Mongol.

Pengusiran Pasukan Mongol

sunting

Setelah Jayakatwang kalah, Raden Wijaya mohon diri kembali ke Majapahit. Ike Mese dan Shih Pi mengizinkan, bahkan memberikan 200 orang tentara Mongol sebagai pengawal. Kau Hsing curiga namun tidak kuasa menentang keputusan komandannya.

Pada tanggal 19 April 1293 Raden Wijaya kemudian menyerang balik pihak Mongol. Tentara Mongol yang berada di Daha dan Canggu diserbu. Ike Mese memutuskan mundur setelah kehilangan 3.000 orang tentaranya.

Pasukan Mongol akhirnya meninggalkan Jawa tanggal 24 April 1293, dengan membawa pulang lebih dari 100 orang tawanan, peta, daftar penduduk, surat bertulis emas dari Bali, dan barang berharga lainnya yang bernilai sekitar 500.000 tahil perak. Mereka juga sempat menghukum mati Jayakatwang dan putranya, yaitu Ardharaja, di atas kapal.

Setelah sampai di negerinya, Ike Mese dan Shih Pi ganti dihukum mati karena dinilai gagal menjalankan tugas.

Pasukan Mongol dalam Karya Sastra Jawa

sunting

Nagarakretagama memberitakan kerja sama Raden Wijaya dan pasukan Mongol secara singkat. Dalam naskah itu, pasukan Mongol disebut sebagai bangsa Tartar.

Sementara itu Pararaton menyebut Mongol sebagai bangsa Tatar. Dikisahkan Arya Wiraraja meminta bantuan raja Tatar supaya membantu Raden Wijaya mengalahkan Jayakatwang. Sebagai imbalan, kedua putri Tumapel, yaitu Tribhuwaneswari dan Gayatri ditawarkan sebagai hadiah.

Kisah tersebut hanyalah imajinasi pengarang Pararaton belaka, karena kedatangan pasukan Mongol bukan atas undangan Arya Wiraraja, melainkan karena diperintah oleh Kubilai Khan.

Meskipun terkesan licik dan curang, tetapi Raden Wijaya telah berjasa menyelamatkan tanah Jawa dari penjajahan bangsa Mongol.

Ejaan Tionghoa untuk Nama-Nama Jawa

sunting

Kisah serangan Mongol terhadap Jawa tersebut tercantum dalam Catatan Sejarah Dinasti Yuan yang telah diterjemahkan oleh W.P. Groeneveldt, dalam bukunya, Notes on The Malay Archipelago and Malacca, Compiled from Chinese Sources (1880).

Dalam kronik Tiongkok tersebut, tentu saja nama-nama Jawa tertulis dalam ejaan Tionghoa, antara lain:

Kepustakaan

sunting
  • Slamet Muljana. 2005. Menuju Puncak Kemegahan (terbitan ulang 1965). Yogyakarta: LKIS
  • Slamet Muljana. 1979. Nagarakretagama dan Tafsir Sejarahnya. Jakarta: Bhratara