Ida Pedanda Gede Made Gunung

Ida Pedanda Gede Made Gunung (1952 - 18 Mei 2016) adalah seorang Pedanda (ulama/pendeta) Hindu dari Blahbatuh, Bali. Beliau adalah seorang pedanda yang memiliki pandangan progresif jauh ke depan. Pedanda yang dilahirkan di Gria Gede Kemenuh Purnawati ini, seolah-olah mengubah citra Pedanda (Pendeta Hindu) dari sekadar memimpin pelaksanaan upacara, menjadi pen-Dharma Wacana.

Ida Pedanda Gede Made Gunung
Ida Pedanda Gede Made Gunung
LahirIda Bagus Gede Suamem
(1952-12-31)31 Desember 1952
Gianyar, Bali, Indonesia
Meninggal18 Mei 2016(2016-05-18) (umur 63)
KebangsaanIndonesia
PendidikanSekolah Rakyat di Blahbatuh
SMPN Gianyar
Taman Guru Atas Sukawati
Institut Hindu Dharma (UNHI)
Organisasi- GSNI Blahbatuh 1967

- Persatuan Bola Volly Blabatuh 1969
- DPD Gojukai 1988-1991
- PHDI Kec. Blahbatuh 1974-198)
- PHDI Kab. Giayar 1989-1994
- PHDI Bali 1994-2001

- PHDI Bali Campuhan 2001-2006

Beliau sangatlah terampil dalam menerjemahkan filsafat Agama Hindu yang rumit kepada masyarakat umum dengan bahasa yang sederhana, jelas dan lugas disertai selera humor yang tinggi. Tidak mengherankan jika wajah ia acapkali muncul di berbagai media, baik media elektronik maupun media cetak, untuk memberikan Dharma Wacana (wejangan suci) kepada umat Hindu. Tidak hanya di Bali, ia memberikan juga dharma wacana di luar Bali, dari Pulau Jawa hingga ke Kalimantan.[1]

Selain aktif tampil di berbagai media cetak maupun elektronika, ia juga aktif menulis di dunia maya melalui situs website.[2]

Kehidupan Awal

sunting

Terlahir dengan nama Ida Bagus Gede Suamem, ia menamatkan pendidikan sekolah dasar di SD Blahbatuh pada tahun 1965. Selanjutnya ia melanjutkan pendidikan menengah pertama di SMPN di Gianyar sampai tamat pada tahun 1968. Kemudian ia melanjutkan pendidikan ke Taman Guru Atas di Sukawati.

Beliau sempat bekerja sebagai Petugas Lapangan Keluarga Berencana (PLKB) Gianyar tahun 1972 sampai 1974. Lalu beralih profesi menjadi guru Sekolah Dasar di Banjar Mawang, Lodtunduh, Ubud tahun 1975 sampai 1983, kemudian pindah mengajar ke SD 3 Pering pada tahun 1983 sampai 1985. Selanjutnya ia ditunjuk sebagai Koordinator Penyuluh Lapangan Agama Hindu Kecamatah Blahbatuh dari 1985 sampai 1987) dan selanjutnya kembali mengajar sebagai guru di SD 7 Saba pada tahun 1987 sampai 1994. Tahun 1992 ia sempat mendapat peringkat sebagai guru teladan Kecamatan Blahbatuh.

Disela-sela kesibukannya mengajar sebagai guru, ia melanjutkan pendidikan di Institut Hindu Dharma (sekarang beralih menjadi Universitas Hindu Indonesia) hingga memperoleh gelar Sarjana Muda pada tahun 1986.

Selain sebagai guru sekolah, ia juga adalah seorang pemegang sabuk hitam Karate dan pernah bergabung dalam DPD Gojukai (Dewan Sabuk Hitam) tahun 1988-1991.

Beliau Madiksa atau menjadi pedanda pada tahun 1994 dan sejak tahun 2002 sampai menjelang akhir hayatnya, ia menjadi dosen luar biasa di Fakultas Usada Universitas Hindu Indonesia.

Dua tahun sebelum Madiksa, ia sudah mulai membenahi pola pikir, perkataan dan perbuatan sebagai persiapan memasuki dunia kependetaan.

Suatu hari, kira-kira 4 bulan menjelang upacara Madiksa, ia pergi mengunjungi Rumah Sakit Sanglah untuk melihat mereka yang dirawat disana. Beliau berjalan mengunjungi Unit Gawat Darurat, mengunjung bangsal-bangsal pasie hingga berakhir di depan kamar mayat. Beliau ingin merasakan bagaimana kondisi dan penderitaan mereka yang sedang sakit. Setelah itu ia mengunjungi Rumah Sakit Wangaya untuk tujuan yang sama.

Beliau juga mengunjungi Supermarket, sekadar untuk melihat bagaimana anak-anak bermain dan menikmati santapan. Disana ia sempat diikuti oleh satpam, yang barangkali merasa agak janggal karena melihat ia yang berjenggot, berambut panjang dan menggunakan destar datang ke tempat seperti itu. Setelah itu ia mengunjungi supermarket yang lain yang baru saja di buka. Kemudian ia melanjutkan perjalanan ke pasar burung, mendengarkan kicauan burung dan melihat berbagai jenis peliharaan yang dijual disana.

Disamping itu ia juga pernah ikut menjadi sopir truk mengikuti teman ia yang menjadi sopir truk untuk mengirim pasir dari Klungkung ke daerah lain di Bali. Beliau melakukan itu untuk mengetahui bagaimana rasanya menjadi sopir truk.

Setelah ia merasa sudah cukup, mulailah ia menyusun program tangkil (menemui) para Sulinggih (pendeta) se-Bali. Sebagaimana tertulis dalam buku hariannya, tercatat ia pernah tangkil kepada 325 sulinggih.

Menurut beliau, semua itu merupakan persiapan mental untuk memasuki dunia kependetaan. Seperti merintis sebuah bangunan, sebelum memulai membangun seseorang perlu melihat berbagai model bangunan yang ada sebagai perbandingan dalam merencanakan bangunan yang baru. Unsur-unsur yang cocok ditiru, yang kurang cocok dipelajari dan seterusnya. Dan ternyata semua yang ia dapat dari pengalaman tersebut sangat mendukung tugas-tugas yang harus ia emban sekarang. Semua babonnya dari sana.

Sebuah contoh sederhana, begitu menjadi Pedanda, banyak orang yang tangkil dan semuanya bermacam-macam. Ada yang halus dan adakalanya agak emosional. Semua harus dihadapi dengan sabar. Tidak mungkin dihadapi dengan kekerasan dan main pukul seperti sewaktu ia menjadi pelatih karate dulu. Kalupun sekarang ia memukul, tidak menggunakan pukulan fisik tetapi pukulan rohani. Tingkat kerohanian akan berjalan baik apabila didukung oleh pengalaman, mental dan fisk yang kuat.

Tujuan utama ia untuk menjadi Pedanda bukanlah semata hanya untuk muput upakara (memimpin upacara), melainkan juga turut serta melakukan peningkatan kualitas kerohanian umat.

Kritis

sunting

Ida Pedanda Made Gunung juga dikenal kritis dalam menyikapi permasalahan pelaksanaan upacara ritual Hindu di Bali, terutama Manusia Yadnya dan Pitra Yadnya, yang selama ini kerap digelar dengan megah dan banyak menghabiskan biaya.

Menurut Ida Pedanda Made Gunung, agama Hindu tidak pernah memiskinkan umatnya. Atas dasar itulah, dia mengingatkan agar setiap umat tidak terpaku melaksanakan upacara keagamaan yang berdasarkan prinsip nak mule keto (memang begitu).[3] "Umat kita di Bali tidak hentinya melaksanakan upacara keagamaan dan bahkan makin lama kian besar, namun sayangnya berbagai sendi kehidupan masyarakat justru menunjukkan keadaan kian merosot dan terjadi degradasi moral," katanya.[4]

Sikap ini dipertahankan sampai akhir hayat beliau. "Kalau aji (ayah) meninggal nanti, tolong jangan buatkan upacara yang besar. Tanpa bade. Layon aji cukup diusung anak-anak menuju perabuan, pebasmian (tempat kremasi)." begitu wasiat Ida Pedanda Made Gunung kepada keluarganya.[5]

Referensi

sunting

1 ^ Perkenalkan Ida Pedanda Gede Made Gunung Diarsipkan 2016-09-20 di Wayback Machine.

2 ^ www.idapedandagunung.com Diarsipkan 2016-09-06 di Wayback Machine.

3 ^ Pedanda Gunung Minta Cegah Upacara Yang Bikin Miskin

4 ^ Upakara Bukan Makanan Bhatara

5 ^ Minta Tanpa Bade, Wasiat Ida Pedanda Gunung: ‘Kalau Aji Meninggal Nanti, Tolong!’

Pranala luar

sunting

www.idapedandagunung.com Diarsipkan 2016-09-06 di Wayback Machine. Ida Pedanda Gede Made Gunung