Ida Ayu Nyoman Rai

ibu Presiden pertama Indonesia, Soekarno

Ida Ayu Nyoman Rai (1 Januari 1881 – 12 September 1958) adalah ibunda dari Presiden Indonesia pertama, Soekarno. Ida Ayu Nyoman Rai lahir sekitar tahun 1881 sebagai anak ketiga dari pasangan Nyoman Pasek dan Ni Made Liran. Sewaktu kecil orang tuanya memberi nama panggilan “Srimben”, yang mengandung arti limpahan rezeki yang membawa kebahagiaan dari Bhatari Sri. Semasa remaja di Banjar Bale Agung, Nyoman Rai Srimben bersahabat dengan Made Lastri yang kemudian mengenalkannya dengan seorang guru Jawa pendatang bernama Raden Soekemi Sosrodihardjo. Keduanya kemudian menikah pada tahun 1897, setelah sebelumnya tidak mendapatkan restu dari kedua orang tua Nyoman Rai Srimben. Putri pertama mereka, Raden Soekarmini (juga dikenal sebagai Bu Wardoyo) lahir pada tanggal 29 Maret 1898. Mereka kemudian berpindah ke Surabaya.[1]

Ayu Nyoman Rai
Potret Ayu Nyoman Rai bersama Soekarno
Lahir1 Januari 1881
Buleleng, Bali, Hindia Belanda
Meninggal12 September 1958 (umur 77)
Blitar, Jawa Timur, Indonesia
KebangsaanIndonesia
Dikenal atasIbu dari Soekarno
Suami/istri
(m. 1897; meninggal 1945)
Anak
Orang tua
  • Nyoman Pasek (bapak)
  • Ni Made Liran (ibu)

Di Surabaya

sunting

Kelahiran Soekarno

sunting

Pada tanggal 6 Juni 1901, Nyoman Rai Srimben melahirkan Soekarno di sebuah rumah di sekitar pemakaman Belanda, kampung Pandean III, Surabaya. Nyoman Rai Srimben mendidik kedua anaknya dengan bekal spiritual Hindu seperti yang pernah dipelajarinya. Enam bulan kemudian Nyoman Rai Srimben harus mengikuti suaminya untuk pindah ke kota kecil di kecamatan Ploso (Jombang) di mana kedua anaknya sering sakit-sakitan. Karena faktor kesehatan pula, Nyoman Rai Srimben sempat berpisah dengan Soekarno untuk dirawat dan diasuh oleh mertuanya di Tulung Agung. Soekarno ia asuh kembali ketika ia harus mengikuti suaminya pindah ke Mojokerto. Di Mojokerto pula putri sulungnya menikah dan kemudian tinggal bersama suaminya.[1]

Di Blitar

sunting

Persoalan muncul ketika Srimben dihadapkan pada kepindahan suaminya ke Blitar sekaligus menghadapi kenyataan Soekarno untuk sekolah di Surabaya. Akhirnya ia mengikuti kepindahan suaminya ke Blitar dan Soekarno dititipkan di rumah HOS Cokroaminoto untuk meneruskan sekolah di Surabaya. Di Blitar, Nyoman Rai Srimben tinggal di asrama sekolah yang sekarang menjadi Sekolah Menengah Umum I Blitar dan dipercaya untuk mengelola asrama sekaligus mengurus makan para pelajar yang tinggal di asrama tersebut.

Permasalahan lain yang menjadi suka duka adalah berita tentang ditahannya Soekarno di Lapas Sukamiskin Bandung. Nyoman Rai Srimben menuju Bandung dan mendatangi Penjara Sukamiskin dan karena ia buta politik dirinya langsung bertanya kepada petugas rumah tahanan. Bukan jawaban yang diperolehnya melainkan bentakan dan diusir untuk pergi dari rumah tahanan tersebut. Sejak saat itu dendam Nyoman Rai Srimben tidak terbendung, di manapun berada jika melihat orang Belanda ia memperlihatkan ketidaksukaannya. Di saat yang sama rumahnya di Blitar diawasi karena putranya melawan penjajahan Belanda. Nyoman Rai Srimben menceritakan kejadian yang dialaminya di rumah tahanan sehingga akhirnya R. Soekemi memutuskan untuk pensiun dini sebagai guru dari Kementerian Pendidikan Belanda di Batavia.

Memasuki masa pensiun Nyoman Rai Srimben terus mendampingi suaminya di Blitar sambil tetap menunggu surat, berita Koran atau berita burung yang dibawa saudara atau kenalannya tentang putranya Soekarno baik di dalam maupun di luar tahanan. Kehidupan di Blitar kembali bergemuruh ketika Nyoman Rai Srimben mendengar bahwa putranya bercerai dari Inggit dan kemudian menikah dengan Fatmawati, semua beritanya diterima dengan tabah. Hasil pernikahan Soekarno dengan Fatmawati memberikan seorang cucu yang sangat diharapkan oleh Nyoman Rai Srimben dan R. Soekemi. Nyoman Rai Srimben dan R. Soekemi menyaksikan kelahiran cucunya di Jakarta.

Kebahagiaan Nyoman Rai Srimben tidaklah lama karena pada saat berjalan-jalan di Jakarta R. Soekemi terjatuh dan sakit keras hingga akhirnya meninggal pada tanggal 18 Mei 1945. Kemudian Nyoman Rai Srimben kembali ke Blitar. Pada hari tuanya ketika Soekarno telah menjadi “orang pertama” di Republik Indonesia, Nyoman Rai Srimben tidak pernah mau menginjakkan kakinya di Istana Negara. Nyoman Rai Srimben menjadi pelopor perkawinan campur antar suku, sehingga mungkin memberikan inspirasi kepada Soekarno untuk menyatukan Nusantara menjadi Republik Indonesia.

Kematian

sunting

Pada tanggal 12 September 1958, Nyoman Rai Srimben meninggal dunia. Jasadnya dimakamkan berdampingan dengan makam putranya Soekarno dan suaminya R. Soekemi Sosrodihardjo.

Dalam budaya populer

sunting

Referensi

sunting
  1. ^ a b Nurinwa Ki S. Hendrowinoto, dkk. Diarsipkan 2014-04-07 di Wayback Machine. Ibu Indonesia dalam Kenangan. Jakarta: Bank Naskah Gramedia & Yayasan Biografi Indonesia. 2004

Pranala luar

sunting