Hubungan Taiwan dengan Takhta Suci

Hubungan antara Takhta Suci dan Republik Tiongkok didirikan pada tingkat non-diplomatik pada 1922, saat Taiwan tidak menjadi bagian dari Tiongkok (Taiwan diperintah oleh Jepang dari 1894 sampai 1945). Pada tahun tersebut, Uskup Agung Celso Benigno Luigi Costantini dilantik menjadi kepala Delegasi Apostolik di negara tersebut.[1][2] Meskipun Uskup Agung Costantini tidak memiliki status diplomatik, pemerintah Tiongkok memberikannya kehormatan yang sama seperti halnya orang-orang yang meraih kerja sama diplomatik dengan Tiongkok saat pemakaman Sun Yat-sen pada 1925.[3] Uskup Costantini meninggalkan Tiongkok pada 1933 dan digantikan oleh Uskup Agung Mario Zanin, yang diberikan seluruh kehormatan yang dipersembahkan oleh Menteri-Menteri Berkuasa Penuh.[4]

Hubungan Taiwan–Takhta Suci
Peta memperlihatkan lokasiROC and Vatican City

Republik Tiongkok

Vatikan

Sejarah

sunting

Perjanjian untuk mendirikan hubungan diplomatik dicapai pada 1917, tetapi pergerakannya diblok oleh Prancis yang melalui perjanjian-perjanjian yang dibuat di Tiongkok pada akhir Perang Candu Kedua mendirikan sebuah "protektorat" atas misi-misi Katolik di negara tersebut.[1][2][5]

Hubungan diplomatik akhirnya didirikan pada 23 Oktober 1942[6] dan, dengan diwakili oleh Uskup Agung Antonio Riberi dari surat kredensinya kepada Presiden pada 1946, Delegasi Apostolik Takhta Suci di Tiongkok meraih status diplomatik.[7][8]

Terdapat masa ketegangan setelah pemerintah Republik Tiongkok berpindah pada 1949 ke Taipei di pulau Taiwan, sampai Jepang menarik seluruh hak, gelar dan klaim empat tahun sebelumnya. Meskipun beberapa misi diplomatik menyusul pemerintahan tersebut ke Taipei, misi Takhta Suci masih berada di daratan utama dan menjalin kontak dengan rezim Komunis yang baru, Republik Rakyat Tiongkok, yang tidak menerimanya sebagai diplomat dan pada 1951 mengusirnya (lihat Kematian Antonio Riva). Pada tahun berikutnya, Takhta Suci, yang ditolak oleh pemerintah Beijing, mengembalikan hubungannya dengan pemerintah sebelumnya (Nasionalis), yang setelah kekalahannya di daratan utama telah berpindah ke Taipei dan melanjutkan untuk mengklaim mewakili seluruh Tiongkok di bawah nama "Republik Tiongkok", seperti sebelumnya.[9]

Perserikatan Bangsa-Bangsa masih mengakui pemerintahan yang berbasis di Taipei sebagai Tiongkok sampai 25 Oktober 1971. Pada tanggal tersebut, kursi anggota piagam Perserikatan Bangsa-Bangsa dan anggota Dewan Keamanan Tiongkok diberikan kepada pemerintah Beijing. Tahta Suci mengambil tindakan terhadap situasi tersebut dengan berpindah ke kantor nuncio baru yang mewakilinya di Taipei, dan tidak melantik seorang penerus, sehingga misinya di Taipei sejak itu hanya dikepalai oleh chargé d'affaires. Pemerintah Taipei tidak memberikan status kedutaan besar kepada kantor untuk Takhta Suci yang berada di Roma.

Pada 8 April 2005, Presiden Chen Shui-bian mewakili "Tiongkok" dan menghadiri pemakaman Paus Yohanes Paulus II. Pada Maret 2013, Presiden dMa Ying-jeou mengunjungi Vatican City untuk menghadiri pelantikan Paus Fransiskus. Namun, tidak ada Paus—bahkan Yohanes Paulus II, yang sejauh ini menjadi Paus yang paling banyak berkunjung—yang pernah mengunjungi wilayah yang dikendalikan oleh pemerintah Taipei.

Seperti lazimnya negara-negara yang menjalin hubungan diplomatik dengan Taiwan, Takhta Suci dalam hal diplomasi mengakui pemerintah Republik Tiongkok sebagai pemerintah Tiongkok. Akibatnya, saat diurutkan secara abjad dengan kepala negara lainnya dalam upacara-upacara Vatikan, presiden RT diurutkan di bawah sebutan "Chine", Bahasa Prancis untuk "Tiongkok" (Prancis adalah bahasa diplomatik dari Takhta Suci).

Galeri

sunting

Referensi

sunting