Hsaing waing (bahasa Burma: ဆိုင်းဝိုင်း, diucapkan [sʰáiɴ wáiɴ]; juga dieja saing waing) merupakan sebuah musik ansambel tradisional sekaligus penanda identitas budaya Myanmar yang cukup menonjol.[1] Musik ansambel tradisional ini menggunakan sejumlah gong dan drum dengan ukuran yang berbeda serta berbagai alat musik lainnya, tergantung jenis pertunjukan yang diselenggarakan. Alat-alat musik lain yang digunakan diantaranya adalah hne (sejenis seruling yang menggunakan sepasang batang gelagah), pat waing (satu set drum berjumlah 21 buah yang disusun melingkar), kyi waing (gong perunggu kecil dengan bingkai bundar), maung hsaing (gong perunggu yang lebih besar dengan bingkai persegi panjang), chauk lon pat satu set drum 8 nada), serta si dan wa (lonceng dan anak lonceng).[2] Untuk pertunjukan formal dan klasik, ansambel ini juga bisa didampingi saung gauk (harpa Burma), pattala (xilofon Burma), atau piano dan biola yang diperkenalkan pada masa pemerintahan kolonial. Musik hsaing waing menggunakan skala pentatonik, menyerupai yang digunakan dalam permainan gamelan di Indonesia.[3]

Hsaing Waing melatarbelakangi para penyanyi

Karakteristik musik hsaing waing adalah ritma, melodi, dan temponya yang hidup dan tiba-tiba mengalami perubahan secara kontras .[4][5] Pertunjukan tarian anyeint, sebagaimana nat gadaw dan pertunjukan wayang marionet, diiringi oleh permainan musik hsaing waing; perubahan ritma musik yang mendadak mencerminkan perubahan pose penari.[4] Namun, nyanyian klasik, yang awalnya dinyanyikan dalam ruangan kecil di dalam istana, hampir dipastikan diiringi oleh ansambel klasik atau sebuah saung gauk tunggal.

Sejarah

sunting

Asal usul hsaing waing tidak jelas. Catatan sejarah paling awal mengenai hsaing waing adalah catatan bertahun 1544 mengenai pat waing (kemungkinan sama dengan hsaing waing) sedang mengadakan pertunjukan di hadapan Raja Tabinshwehti dari Dinasti Taungoo dan berjaya selama masa Dinasti Konbaung hingga masa pemerintahan kolonial.[1] Bukti berupa gambar yang paling awal berasal dari abad ke-17 Masehi, bertepatan dengan invasi Burma ke Kerajaan Ayutthaya. Kemungkinan invasi tersebut membawa kembali konsep ansambel gong dan drum. Meskipun demikian, alat musik yang digunakan dalam hsaing waing sangat berbeda jauh dengan alat musik dan gaya bermusik dari ansambel Thailand.[2]

Selama masa kolonisasi, popularitas hsaing waing menurun, tetapi inovasi baru seperti alat perekam modern dan siaran membuat musik ini dapat menjangkau pendengar pada wilayah yang jauh lebih luas. Selain itu, kolonisasi juga membawa inovasi terhadap musik religius, ritual-ritual upacara, serta penggabungan dengan alat-alat musik barat seperti piano, biola, dan mandolin.[1]

Lihat pula

sunting

Referensi

sunting
  1. ^ a b c Chalermkit Kengkeaw, Jarernchai Chonpairot, dan Chalermsak Pikulsri. 2013. Hsaing Waing: Classical Ensemble of Myanmar. HRMARS 3(9): 649-663. ISSN: 2222-6990.
  2. ^ a b Garifas, Robert (1985). "The Development of the Modern Burmese Hsaing Ensemble". Asian Music. University of Texas Press. 16 (1): 1–28. doi:10.2307/834011. JSTOR 834011. 
  3. ^ Fletcher, Peter; Laurence Picken (2004). World Musics in Context: A Comprehensive Survey of the World's Major Musical Cultures. Oxford University Press. hlm. 312–313. ISBN 978-0-19-517507-3. 
  4. ^ a b http://asiasociety.org/arts-culture/performing-arts/music/burmese-hsaing-and-anyein?page=0,0
  5. ^ Pareles, Jon (2003-12-15). "WORLD MUSIC REVIEW; From Myanmar, Sounds That Surprise". The New York Times.