K. H. Hisjam bin Hoesni (ER, EYD: Hisyam bin Husni; 10 November 1883 – 20 Mei 1945) adalah Ketua Pengurus Besar Muhammadiyah yang ketiga. Ia memimpin Muhamadiyah selama tiga tahun. Ia dipilih dan dikukuhkan sebagai Ketua Pengurus Besar Muhammadiyah dalam Kongres Muhammadiyah ke-23 di Yogyakarta pada tahun 1934. Ia adalah murid langsung dari K. H. Ahmad Dahlan.

Hisjam bin Hoesni
Ketua Umum Muhammadiyah ke-3
Masa jabatan
1934 – 1936
Informasi pribadi
Lahir10 November 1883
Ngayogyakarta, Hindia Belanda
Meninggal20 Mei 1945(1945-05-20) (umur 61)
Ngayogyakarta, Hindia Belanda
Sunting kotak info
Sunting kotak info • L • B
Bantuan penggunaan templat ini

Riwayat Hidup

sunting

K.H. Hisjam adalah salah satu murid K.H. Ahmad Dahlan yang berjuang sampai akhir hayatnya di Persyarikatan Muhammadiyah. Lahir di Kauman, Yogyakarta, pada tanggal 10 November 1883. Ia adalah putra dari seorang wedana bernama K.H. Hoesni. Hisjam bin Hoesni masih termasuk kerabat jauh Kiai Dahlan.

Muhammadiyah

sunting

Pertama kali ia dipilih dalam Kongres Muhammadiyah ke-23 di Yogyakarta tahun 1934, kemudian dipilih lagi dalam Kongres Muhammadiyah ke-24 di Banjarmasin pada tahun 1935, dan berikutnya dipilih kembali dalam Kongres Muhammadiyah ke-25 di Batavia (Jakarta) pada tahun 1936.

KH Hisjam paling menonjol dalam ketertiban administrasi dan manajemen organisasinya. Pada periode kepemimpinannya, titik perhatian Muhammadiyah lebih banyak diarahkan pada masalah pendidikan dan pengajaran, baik pendidikan agama maupun pendidikan umum. Hal ini terjadi barangkali karena K. H. Hisjam pada periode kepemimpinan sebelumnya telah menjadi Ketua Bagian Sekolah (saat ini disebut Majelis Pendidikan) dalam Pengurus Besar Muhammadiyah.

Sekolah Muhammadiyah

sunting

Pada periode kepemimpinan Hisjam ini, Muhammadiyah telah membuka sekolah dasar tiga tahun (volkschool atau sekolah desa) dengan menyamai persyaratan dan kurikulum sebagaimana volkschool gubernemen. Setelah itu, dibuka pula vervolgschool Muhammadiyah sebagai lanjutannya. Dengan demikian, maka bermunculan volkschool dan vervolgschool Muhammadiyah di Indonesia, terutama di Jawa. Ketika pemerintah kolonial Belanda membuka standaardschool, yaitu sekolah dasar enam tahun, maka Muhammadiyah pun mendirikan sekolah yang semacam dengan itu. Bahkan, Muhammadiyah juga mendirikan Hollands Inlandse School met de Qur'an Muhammadiyah untuk menyamai usaha masyarakat Katolik yang telah mendirikan Hollands Inlandse School met de Bijbel.

Kebijakan Hisjam mengarahkan pada modernisasi sekolah-sekolah Muhammadiyah, sehingga selaras dengan kemajuan pendidikan yang dicapai oleh sekolah-sekolah yang didirikan pemerintah kolonial. Ia berpikir bahwa masyarakat yang ingin memasukkan putra-putrinya ke sekolah-sekolah umum tidak perlu harus memasukkannya ke sekolah-sekolah yang didirikan pemerintah kolonial, karena Muhammadiyah sendiri telah mendirikan sekolah-sekolah umum yang mempunyai mutu yang sama dengan sekolah-sekolah pemerintah, bahkan masih dapat pula dipelihara pendidikan agama bagi putra-putri mereka. Walaupun harus memenuhi persyaratan-persyaratan yang berat, sekolah-sekolah yang didirikan Muhammadiyah akhirnya banyak yang mendapatkan pengakuan dan persamaan dari pemerintah kolonial saat itu.

Berkat perkembangan pendidikan Muhammadiyah yang pesat pada periode Hisjam, maka pada akhir tahun 1932, Muhammadiyah sudah memiliki 103 Volkschool, 47 Standaardschool, 69 Hollandsch-Inlandsche School (HIS), dan 25 Schakel School, yaitu sekolah lima tahun yang akan menyambung ke MULO (Meer Uitgebreid Lager Onderwijs, yang setingkat SLTP saat ini) bagi murid tamatan vervolgschool atau standaardschool kelas V. Dalam sekolah-sekolah Muhammadiyah tersebut juga dipakai bahasa Belanda sebagai bahasa pengantar. Sekolah-sekolah Muhammadiyah saat itu merupakan salah satu lembaga pendidikan yang didirikan pribumi yang dapat menyamai kemajuan pendidikan sekolah-sekolah Belanda, sekolah-sekolah Katolik, dan sekolah-sekolah Protestan.

Bantuan keuangan

sunting

Dalam memajukan pendidikan Muhammadiyah KH Hisjam mau bekerja sama dengan pemerintah kolonial dengan bersedia menerima bantuan keuangan, dari pemerintah kolonial, walaupun jumlahnya sangat sedikit dan tidak seimbang dengan bantuan pemerintah kepada sekolah-sekolah Kristen saat itu. Hal inilah yang menyebabkan Hisjam dan Muhammadiyah mendapatkan kritikan keras dari Taman Siswa dan Syarekat Islam yang saat itu melancarkan politik non-kooperatif.

Namun Hisjam berpendirian bahwa subsidi pemerintah saat itu merupakan hasil pajak yang diperas oleh pemerintah kolonial dari masyarakat Indonesia, terutama ummat Islam. Dengan subsidi tersebut, Muhammadiyah bisa memanfaatkannya untuk membangun kemajuan bagi pendidikan Muhammadiyah yang pada akhirnya juga akan mendidik dan mencerdaskan bangsa ini. Menerima subsidi tersebut lebih baik daripada menolaknya, karena jika subsidi tersebut ditolak, maka subsidi tersebut akan dialihkan pada sekolah-sekolah yang didirikan pemerintah kolonial yang hanya akan memperkuat posisi kolonialisme Belanda.

Pendidikan keluarga

sunting

Putra-putrinya KH Hisjam disekolahkan di beberapa perguruan yang didirikan pemerintah. Dua orang putranya disekolahkan menjadi guru, yang saat itu disebut sebagai bevoegd. Satu orang putranya menamatkan studi di Hogere Kweekschool di Purworejo, dan seorang lagi menamatkan studi di Europeesche Kweekschool Surabaya. Kedua sekolah tersebut merupakan sekolah yang didirikan pemerintah kolonial Belanda untuk mendidik calon guru yang berwenang untuk mengajar sekolah HIS milik pemerintah (gubernemen). Akhirnya mereka menjadi guru di HIS met de Qur'an Muhammadiyah di Kudus dan Yogyakarta.

Bintang jasa

sunting

Berkat jasa-jasa Hisjam dalam memajukan pendidikan untuk masyarakat, maka ia pun akhirnya mendapatkan penghargaan dari pemerintah kolonial Belanda saat itu berupa bintang tanda jasa, yaitu Ridder Orde van Oranje Nassau. Ia dinilai telah berjasa kepada masyarakat dalam pendidikan Muhammadiyah yang dilakukannya dengan mendirikan berbagai macam sekolah Muhammadiyah di berbagai tempat di Indonesia.

K. H. Hisjam bin Hoesni wafat di Yogyakarta pada tanggal 20 Mei 1945.

Dalam budaya populer

sunting

Pranala luar

sunting
Didahului oleh:
Ibrahim bin Fadlil
Ketua Umum Muhammadiyah
1932—1936
Diteruskan oleh:
Mas Mansoer