Hierarki Peraturan Perundang-Undangan Indonesia

Hierarki perundang-undangan Indonesia adalah Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 merupakan hukum dasar dan peraturan tertinggi dalam tata nasional. Telah mengalami banyak perubahan mulai dari UU. No. 1 tahun 1950, TAP MPRS No. XX/MPRS/1966, TAP MPR No. III/MPR/2000, UU No. 10 tahun 2004, hingga saat ini yang digunakan adalah UU No. 12 tahun 2011.[1] UU No. 12 tahun 2011 berlaku sejak Agustus 2011. keberadaan undang-undang ini tentunya sebagai pengganti dari undang-undang sebelumnya yang diatur dalam UU 10/04. berdasarkan UU 12/11, Hierarki perundang-undangan Indonesia dalam pasal 7 berbunyi;

  1. Undang-undang Dasar Negara Republik Indonesia tahun 1945 (UUD 45);
  2. Ketetapan Majelis Permusyawaratan Rakyat (TAP MPR);
  3. Undang-undang/Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-undang (PERPU);
  4. Peraturan Pemerintah (PP);
  5. Peraturan Presiden (Perpres);
  6. Peraturan Daerah Provinsi (Perda); dan
  7. Peraturan Daerah Kabupaten/Kota.

Hierarki tersebut tentunya menentukan tingkat keluasan substansi yang diatur, serta keluasan wewenang yang boleh dilakukan. Sebagai catatan, Perpu secara teoritik, tidaklah sejajar dengan UU, melainkan sejenjang dibawahnya.[2]

Proses pembentukan peraturan perundang-undangan

sunting

Perencanaan

sunting

Perencanaan adalah proses dimana DPR dan Pemerintah menyusun rencana dan skala prioritas UU yang akan dibuat oleh DPR, dalam satu periode tertentu. Proses ini diwadahi oleh suatu program yang bernama Program Legislasi Nasional (Prolegnas). yang terlibat dalam proses ini adalah;

  • Badan Legislasi DPR
  • Departemen Hukum dan Perundang-udangan
  • Masyarakat[2]

Perancangan

sunting

Siapa yang merancang sebah RUU?

  • Presiden yang diwakili oleh Departemen Hukum dan HAM atau departemen teknis lain
  • DPR, biasanya dibantu oleh perancang DPR dan tenaga peneliti di Pusat Pengkajian dan Pelayanan Informasi (PPPI)
  • Dewan Perwakilan Daerah (DPD)

Yang mengusulkan RUU

sunting

Sebuah Rancangan Undang-udang (RUU) bisa berasal dari tiga pintu, yaitu Presiden, DPR, dan DPD. Dalam mengusulkan sebuah rancangan ketiga lembaga tersebut harus berdasarkan pada Prolegnas.

Pengusulan oleh Presiden

sunting

RUU yang datang dari Presiden akan disampaikan kepada ketua DPR dengan mengirimkan Surat Pengantar Preseiden (SPP). besamaan dengan SPP tersebut dilampirkan RUU yang akan diajukan, naskah akademis atau penjelasan pemerintah tentang RUU serta menunjuk materi yang akan ditunjuk untuk mewakili Presiden.

Pengusulan oleh Dewan Perwaklan Daerah (DPD)

sunting

DPD berhak mengajukan RUU yang berhubungan dengan:

  • Otonomi daerah
  • Hubungan pusat dan daerah
  • Pembentukan dan pemekaran serta penggabungan daerah
  • Pengelolaan sumber daya alam dan sumber daya ekonomi lainnya;
  • Hal-hal yang berkaitan dengan perimbangan keuangan antara pusat dan daerah.

Untuk mengajukan RUU, pimpinan DPD harus menyampaikan kepada ketua DPR beserta dengan naskah akademisna dari RUU yang bersangkutan, bila tidak ada naskah akademisnya, maka cukup menyampaikan keterangan atau penjelasannya. Dalam rapat paripurna berikutnya, setelah RUU diterima oleh DPR, ketua DPR menyampaikan kepada anggota tentang masuknya RUU dari DPD, RUU tersebut kemudian dibagikan kepada seluruh anggota. Selanjutnya DPR aan menugaskan Badan Legislasi (BALEG) atau Komisi untuk membahas RUU tersebut bersama DPD paling lambat 15 hari sejak ditugaskan.[3]

Pengusulan oleh DPR

sunting

Pengusulan oleh DPR dapat dilakukan melalui beberapa pintu, yaitu:

  • Badan Legislasi (Baleg)
  • Komisi
  • Gabungan Komisi
  • Tiga belas (13) orang anggota.

Usulan yang diajukan oleh Baleg, Komisi, Gabungan Komisi, atau anggota diserahkan kepada pimpinan DPR beserta keterangan pengusul dan naskah akademis. Dalam rapat Paripurna selanjutnya, pimpinan sidang akan mengumumkan kepada anggota tentang adanya RUU yang masuk, kemudian RUU tersebut dibagikan kepada seluruh anggota. Rapat paripurna akan memutuskan apakah RUU tersebut secara prinsip dapat diterima sebagai RUU dari DPR. sebelum kepuusan diterima atau tidaknya RUU, diberikan kesempatan kepada fraksi-fraksi untuk memberikan pendapat.[3]

Keputusan rapat paripurna terhadap suatu usul RUU dapat perupa:

  • Persetujuan tanpa perubahan
  • Persetujuan dengan perubahan
  • Penolakan

Apabila usu RUU berupa persetujuan dengan perubahan, maka DPR akan menugaskan kepada Baleg, Komisi, ataupun Panitia Khusus (Pansus) untuk menyempurnakan RUU tersebut. Namun, apabila usul RUU disetujui tanpa perubahan atau RUU telah selesai disempurnakan oleh Komisi, Baleg, ataupun Pansus maka RUU tersebut akan disampaikan kepada Presiden dan Pimpinan DPD (dalam hal RUU yang diajukan berhubungan dengan kewenngan DPD). Presiden harus menunjuk seorang mentri yang akan mewakilinya dalam pembahasan, paling lamat 60 hari setelah diterimanya surat dari DPR. Sedangkan DPD harus menunjuk alat kelengkapan yang akan mewakili dalam proses pembahasan.

Referensi

sunting
  1. ^ "la Family - Tata Urut Produk Hukum di Indonesia". luk.staff.ugm.ac.id. Diakses tanggal 2022-09-28. 
  2. ^ a b Prof. Dr. H. R. Abdussalam, SIK., SH., MH., Adri Desas Furiyanto, SH., MH. (2020). Teori Hukum. Jakarta: PTIK. 
  3. ^ a b M.H, Arasy Pradana A. Azis, S. H. "Proses Pembentukan Undang-Undang di Indonesia". hukumonline.com (dalam bahasa Indonesia). Diakses tanggal 2022-09-28.