Hewan buas adalah segala hewan yang memiliki agresivitas yang tinggi. Dalam rantai makanan, keberadaan hewan buas menghasilkan keseimbangan alam dalam dunia hewan. Habitat hewan buas utamanya di pegunungan dan hutan. Salah satu hewan buas yang paling sering menyerang manusia ialah beruang. Di sisi lain, gerakan-gerakan hewan buas telah menginspirasi manusia dalam bela diri seperti pencak silat.

Rantai makanan

sunting

Hewan buas memiliki peran penting dalam rantai makanan di dunia. Sebagian besar spesies hewan buas merupakan karnivor pemangsa hewan lainnya. Sementara sebagian lainnya merupakan herbivor yang memakan tumbuhan dalam skala besar. Keberadaan hewan buas karnivor dan herbivor membentuk keseimbangan alam.[1] Hewan buas yang hidup berkelompok lebih mudah memperoleh makanannya dibandingkan dengan hewan buas yang tidak hidup berkelompok.[2]

Beruang

sunting
 
Beruang sloth, jenis hewan buas yang sering menyerang hingga membunuh manusia.

Beruang memiliki kemampuan menyerang yang kuat karena ukuran tubuhnya besar. Penyerangan beruang ke manusia sangat jarang terjadi, kecuali ketika beruang sakit atau mengalami kesulitan dalam menemukan mangsa alaminya. Kasus pemangsaan beruang atas manusia pernah terjadi pada Juli 2008 di Kamchatka, Rusia. Para beruang membunuh para penjaga keamanan di salah satu lokasi penangkaran ikan salmon akibat kelaparan. Beruang-beruang ini kemudian dibunuh setelah anggota tubuh dari para petugas keamanan ditemukan.

Jenis beruang yang sangat agresif terhadap manusia adalah beruang hitam asia. Ada pula jenis beruang yang temperamennya tidak menentu seperti beruang cokelat eurasia. Beruang cokelat eurasi lebih cenderung menjauhi dan jarang menyerang manusia. Penyerangan beruang cokelat eurasi kepada manusia hanya terjadi ketika merasa terancam atau terkejut. Temperamen yang mudah berubah juga dialami oleh beruang sloth yang habitatnya di Myanmar dan India. Perubahan temperamen yang sulit diperkirakan membuat beruang sloth lebih ditakuti dibandingkan dengan harimau. Selama periode 1989 hingga 1994, di Madhya Pradesh tercatat sebanyak 686 orang dilukai dan 48 orang terbunuh oleh beruang sloth.[3]

Spesies lalat dari famili Asilidae disebut sebagai lalat buas. Penyebutan ini menandakan ciri dari spesiesnya yang bersikap agresifsaat menghadapi mangsa. Pemangasaan dilakukan oleh spesies lalat Asilidae melalui penyerangan yang mendadak dari suatu tempat persembunyian. Penyerangan dengan cara menyuntikkan air liur beracun menggunakan probosis yang ditusukkan ke mangsa. Racun yang memasuki tubuh mangsa kemudian berefek kepada kelumpuhan.[4]

Habitat

sunting

Pegunungan

sunting

Pembukaan lahan secara besar-besaran oleh manusia membuat hewan buas yang tinggal di pegunungan meninggalkan tempat tinggalnya. Manusia membuka lahan untuk dijadikan ladang dan permukiman. Hewan memilik insting untuk bertahan hidup. Keberadaan manusia membuat mereka merasa diganggu dan merasa terancam. Hewan-hewan kecil yang menghuni pengunungan seperti kancil, rusa dan kera akan meninggalkan habitat mereka. Kepergian mereka bertujuan untuk mencari tempat yang lebih aman dari keberadaan manusia. Kondisi ini akhirnya merusak ekosistem. Hewan-hewan buas pun turut meninggalkan pegunungan karena memerlukan daging sebagai makanan, seperti ular piton dan harimau. Mereka akhirnya mulai memakan hewan ternak dan manusia.[5]

Pada ekosistem hutan, kebanyakan hewan buas merupakan pemangsa bagi hewan-hewan berukuran kecil.[6] Kasus hewan buas memangsa hewan ternak dan manusia juga terjadi pada hutan yang ekosistemnya telah rusak akibat aktivitas manusia.[7]

Inspirasi bagi manusia

sunting

Pencak silat

sunting

Gerakan-gerakan yang dilakukan oleh hewan buas telah menginspirasi gerakan-gerakan dalam olahraga. Salah satunya pada pencak silat yang menjadi bagian dari budaya Indonesia. Gerakan-gerakan dalam pencak silat mencontoh gerakan hewan buas yang hidup di hutan hujan tropis seperti harimau, ular, dan buaya. Peniruan ini untuk dijadikan sebagai cara mempertahankan keberlangsungan hidup. Manusia di Indonesia telah mengembangkan gerakan-gerakan pencak silat sejak masa prasejarah.[8]

Referensi

sunting
  1. ^ LingkarKata (2019). Sutedja, Tety R., ed. Buku Pintar Hewan Buas. Jakarta: PT Elex Media Komputindo. hlm. 1. ISBN 978-602-04-9596-5. 
  2. ^ Aristoteles (Agustus 2020). Politik [Politics]. Bantul: Basabasi. hlm. 41. ISBN 978-623-7290-90-2. 
  3. ^ Hanifah, Abu Nuha (Januari 2012). Qoni, ed. Dinosaurus, Hewan Prasejarah dan Hewan Buas. Yogyakarta: Familia. hlm. 106. ISBN 978-602-97660-8-0. 
  4. ^ Atmoko, T., dkk. (November 2016). Boer, Chandradewana, ed. Satwa Liar di Hutan Lembonah (PDF). Balikpapan: Balai Penelitian Teknologi Konservasi Sumber Daya Alam. hlm. 101. ISBN 978-602-73720-3-0. 
  5. ^ Oktaviandi, A., dkk. (September 2020). Sukmawan, Sony, ed. Senjakala Bumi: Serampai Esai Masa Pandemi. Universitas Brawijaya Press. hlm. 141. ISBN 978-623-296-077-0. 
  6. ^ Asril, M., dkk. (2022). Sirait, Matias Julyus Fika, ed. Pengelolaan Hama Terpadu. Yayasan Kita Menulis. hlm. 71. ISBN 978-623-342-684-8. 
  7. ^ Sari, L. H., dkk. (2021). Arsitektur Lingkungan. Banda Aceh: Bandar Publishing. hlm. 17. ISBN 978-623-5669-01-4. 
  8. ^ Diana, F., Sukendro, dan Oktadinata, A. (Oktober 2020). Setiawan, Iwan Budi, ed. Panduan Pencak Silat: Seni Tunggal (PDF). Jambi: Penerbit Salim Media Indonesia. hlm. 1. ISBN 978-623-7638-75-9.