Hermeneutika hukum

Hermeneutika Hukum adalah ajaran filsafat mengenai hal mengerti/ memahami sesuatu, atau sebuah metode interpretasi terhadap teks dimana metode dan tehnik menafsirkannya dilakukan secara holistik dalam bingkai keterkaitan antara teks, konteks, dan kontekstualisasi. Teks tersebut bisa berupa teks hukum, peristiwa hukum, fakta hukum, dokumen resmi negara, naskah kuno atau kitab suci.[1]

Fungsi dan tujuan hemeneutika hukum

sunting

Menurut James Robinson, tujuan dan fungsi hermeneutika hukum adalah untuk memperjelas sesuatu yang tidak jelas supaya lebih jelas. sedangkan murut Greogry, tujuan hemeneutika hukum adalah menempatkan perdebatan kontempores tentang interprestasi hukum didalam kerangka hemeneutika hukum pada umumnya.[1]

Secara filosofis sebagai mana yang telah dijelaskan oleh Gadamer, hermeneutika hukum mempunyai tugas ontologis yang menggambarkan hukungan yang tidak dapat dihindarkan atara teks dan pembaca, masa lalu dan masa mendatang, yang memungkinkan untuk memahami kejadian yang pertama kali (genuine).[2] Urgensi kajan hemeneutika hukum, dimaksudkan tidak hanya akan membabebaskan kajian-kajian hukum dari otoritarianisme para yuris positif yang elitis, tetapi juga dari kajian kajian, hukum kaum strukturalis atau behaviorial yang terlalu empirik sifatnya. Kajian hemeneutika hukum telah membuka kepada para pengkaji hukum untuk tidak berkutat pada paradigma positivisme dan metoda logis formal saja. Hermeneutika hukum juga menganjurkan agar para pengkaji hukum menggali dan meneliti makna-makna hukum dari persepektif para pengguna dan atau bagi para pencari keadilan.[2]

Hermeneutika hukum dalam praktek peradilan

sunting

Pada proses penemuan hukum (recthvinding), perlu dibedakan dua hal yaitu mengenai tahap sebelum pengambilan keputusan (ex ante) dan tahap sesudah pengambilan putusan (ex post). Dalam perspektif teori penemuan hukum modern, yang terjadi sebelum pengembilan keputusan disebut "heuristika" yaitu proses mencari berfikir yang mendahului tindakan pengembilan putusan hukum. pada tahap ini berbagai argument pro-kontra taerhadap suatu putusan tertentu ditimbang-timbang antara yang satu dengan yang lain, kemudian menemukan makna yang tepat.[3]

Sedangkan penemuan hukum yang terjadi setelah putusan yang disebut "letimigasi" dan letimigasi selalu berkenaan dengan pembenaran dari putusan yang telah diambil. Pada tahap ini putusan diberi motivasi (pertimbangan) dan argumentasi secara subtansial, dengan cara menyusun suatu penalaran yang secara rasional dapat dipertanggungjawabkan. apa bila ada suatu putusan yang tidak bisa diterima oleh forum hukum, maka hukum tersebut tidak memperoleh letimigasi. Konsekuensinya, premis-premis baru harus diajukan, dengan tetap berpegang pada penalaran ex ente, untuk meyakinkan forum hukum tersebut agar putusan hukum tersebut dapat diterima.[4]

Disinilah pentingnya hermeneutika hukum berperan sekaligus digunakan oleh para hakim pada saat menemukan hukum. Penemuan hukum oleh Hakim tidak semata-mata hanya penerapan peraturan- peraturan hukum terhadap peristiwa konkrit, tetapi sekaligus penciptaan hukum dan pembentukan hukumnya. Menurut Gadamer, metode hermeneutika hukum pada hakikatnya sangat berguna, ketika seorang hakim menganggap dirinya berhak untuk menambah makna orisinal dari teks hukum. Bahkan menurut Charter, pengalaman Hakim pada saat menemukan hukum dalam praktek dipengadilan memberikan dukungan bagi konsepsi pragmatis dan interpretasinya.[5]

Referensi

sunting
  1. ^ a b B. Arief Sidharta, Refleksi Tentang Struktur Ilmu Hukum, Mandar Maju, Bandung: 1999, hal. 48
  2. ^ a b Hans Georg Gadamer, Truth and Method, terjemah oleh Ahmad sahidah, Kebenaran dan Metode, Pengantar Filsafat hermeneutika, Pustaka Pelajar, Yogyakarta: 1965, hal. 289.
  3. ^ Jazim Hamidi, Hermeneutika Hukum, hal xii-xv.
  4. ^ Samuel Jaya Kusuma, Proses Penemuan Hukum Dalam Perspektif Hermeneutika Hukum, Skripsi pada Fakultas Hukum Universitas Katolik Parahyangan, Bandung, 2002.
  5. ^ Prof. Dr. H. R. Abdussalam, SIK, MH., Adri Desas, SH, MH. (2020). Teori Hukum. Jakarta: PTIK.