Haul merupakan tradisi peringatan kematian seseorang yang diadakan setahun sekali dengan tujuan mendoakan ahli kubur agar semua amal ibadah yang dilakukannya diterima Allah sekaligus mengenang keteladanan semasa hidup dari tokoh yang diperingati tersebut.[1]

Tradisi haul biasanya hanya ditemui di kalangan masyarakat Muslim sunni seperti di negeri Yaman, Indonesia, Malaysia, Singapura, dan negara-negara lain dengan komunitas muslim sunni lainnya. Peringatan haul sangat dipengaruhi oleh ajaran tasawuf yang menempatkan guru sebagai panutan atas dedikasi pengajaran ilmu terhadap masyarakat umum dan murid-muridnya, sehingga kewafatan mereka layak diperingati oleh keluarga dan murid-muridnya untuk mengenang keteladanan dan keutamaan tertentu yang tak dimiliki sembarang orang pada masa hidupnya. Acara haul akan terasa lebih besar bila tokoh tersebut terkenal sebagai ulama besar atau pendiri sebuah pesantren.[2]

Sukarelawan Haul Guru Sekumpul di Martapura, Kalimantan Selatan.

Kegiatan haul beberapa tokoh di beberapa kota di Indonesia seringkali juga menjadi sarana wisata religi yang mengundang kedatangan banyak orang dari daerah lainnya. Haul Habib Ali bin Muhammad Al-Habsyi di kawasan Masjid Riyadh, Pasar Kliwon, Surakarta masuk dalam agenda resmi pemerintah Kota Surakarta,[3] haul lain yang tersohor adalah Haul Guru Sekumpul di Martapura, Kalimantan Selatan, haul Habib Ali bin Abdurrahman Alhabsyi di Kwitang, Jakarta Pusat, dan haul Gus Dur di Jakarta dan Tebu Ireng Jombang.

Terminologi

sunting

Kata haul berasal dari bahasa Arab (الحول) yang berarti setahun, meski demikian tradisi haul tak harus diselenggarakan tepat satu tahun pada tanggal tertentu sebagaimana orang merayakan hari ulang tahun, hari pelaksanannya akan sangat bergantung pada ketentuan dan pertimbangan keluarga penyelenggara.[1]

Acara haul juga menjadi pembeda antara ulama dan Rasulullah. Bila Rasulullah Muhammad diperingati hari kelahirannya melalui maulid maka para ulama diperingati hari kewafatannya melalui tradisi haul ini. Hal ini dikarenakan kelahiran Rasulullah memiliki keistimewaan; telah dinanti dan dijanjikan dalam ajaran nabi-nabi sebelumnya dan diiringi dengan mukjizat-mukjizat. Sementara kelahiran ulama adalah layaknya kelahiran bayi-bayi pada umumnya, keistimewaan ulama baru tampak dan bergantung pada bagaimana masa hidup hingga kewafatan ulama tersebut.[4]

Sejarah

sunting
 
Salah satu sudut Provinsi Hadramaut di negeri Yaman, tempat leluhur para sayyid di Asia Tenggara saat ini berasal, mereka banyak bermigrasi sejak abad ke-19.

Awal mula

sunting

Tak ada penjelasan pasti kapan tradisi haul pertama kali dilaksanakan, namun haul diyakini pertama kali berkembang di kalangan masyarakat muslim di Hadramaut, Yaman. Di kawasan tersebut, masyarakat terstratifikasi dalam kelas-kelas sosial yang berdasarkan latar belakang keturunan yakni para sayyid atau keturunan Nabi Muhammad yang berada di jajaran paling atas strata sosial, masyayikh atau keturunan tokoh pemikir Islam yang tidak punya latar belakang keturunan Nabi Muhammad, qabail atau anggota suku-suku terkemuka, dan masaakin atau orang-orang miskin yang tak punya ilmu, harta, maupun latar belakang keturunan seperti kelompok lain yang disebutkan sebelumnya.[5][6]

Sebagai keturunan Nabi Muhammad sekaligus lebih memiliki akses terhadap ilmu pengetahuan, para sayyid memegang peranan kunci sebagai pemimpin spiritual dan panutan masyarakat luas. Ritual dan aspek kehidupan religius lain masyarakat umum akan sangat bergantung pada para sayyid bahkan juga terhadap para sayyid yang telah wafat, mereka diyakini sebagai perantara dari doa-doa masyarakat kepada Allah dan perantara syafa'at dari Nabi Muhammad.[6]

Sekali dalam setahun, para sayyid dan maupun masyayikh akan berkumpul/memperingati haul di makam tokoh spiritual dan mengundang semua orang. Haul akan dipimpin oleh keturunan/penerus tokoh tersebut, di sana mereka mengadakan orasi/ceramah yang dimaksudkan untuk mengingat kembali memori leluhur yang dianggap saleh tersebut, kegiatan ini kemudian semakin memperkuat fungsi sosial para sayyid yang dikenal sebagai pewaris kekuatan spiritual dari para pendahulunya. Yang paling utama dalam acara haul sebenarnya memanggil kenangan kolektif para peziarah terhadap tokoh tersebut melalui hagiografi yang isinya berupa puji-pujian dan puisi terhadap leluhur yang mulia dalam kelompok sayyid tersebut.[6][7]

Penyebaran

sunting

Penyebaran budaya haul turut dibawa semasa migrasi kalangan sayyid dari Hadramaut ke Asia Tenggara yang puncaknya terjadi sekitar abad ke-19. Kalangan sayyid ini kemudian banyak diterima baik oleh pihak Hindia Belanda maupun Malaya Britania yang mengikutsertakan mereka dalam aktivitas perdagangan. Para sayyid ini kemudian mendapat tempat tersendiri di kalangan para penguasa daerah maupun masyarakat setempat karena selain sukses dengan kegiatan perdagangan namun juga dikenal sebagai tokoh spiritual karena kedalaman ilmu agama dan pertalian darahnya dengan Nabi Muhammad. Meski jarak antara Hadramaut dengan kawasan Hindia Belanda dan Malaya Britania terpisah sangat jauh namun pertalian budaya tetaplah kuat, para Hadramis ini kemudian mengembangkan ajaran dan budaya mereka di tanah perantauan ini sebagaimana di tempat asal mereka sehingga semakin mengukuhkan posisi mereka sebagai tokoh yang berpengaruh sepanjang abad ke-19 tersebut.[6]

Pada perkembangan selanjutnya, haul tak lagi jadi acara yang hanya dilakukan kalangan sayyid saja namun juga bagi kalangan kiai/ulama yang tak punya latar pertalian darah dengan Nabi Muhammad. Haul ulama menjadi panggung bagi tokoh agama, baik dari kalangan kiai atau habaib, untuk menjaga eksistensi pengaruh dan gagasan keagamaannya di Indonesia. Kiprah para sesepuh, teladan ulama, kebijaksanaan para habaib, yang mungkin dalam beberapa hal bisa tampak kurang relevan karena arus zaman, ketika dihadirkan kembali dalam ajang haul, diharapkan memberi inspirasi generasi setelahnya.[8]

Meski ditujukan dengan semangat meneladani sifat dan pemikiran orang-orang saleh, namun tak jarang haul dapat juga menjadi sarana politik praktis bahkan hingga provokasi. Haul yang kerap kali dihadiri ribuan ummat sangat rawan disusupi kepentingan-kepentingan sesaat, khususnya ketika pihak penyelenggara justru keliru memilih sosok untuk mengisi ceramah dalam acara haul tersebut.[8]

Rangkaian Acara

sunting

Tidak ada ketentuan pasti terkait rangkaian acara haul, namun secara umum penyelenggaraan haul meliputi:

  • Pembacaan riwayat Nabi yang terangkum dalam berbagai kitab maulid nabi seperti Simtuddurar karya Habib Ali bin Muhammad Al-Habsyi atau maulid Diba' karya Imam Abdur Rahman bin Ali Ad-Diba'í. Pembacaan maulid ini juga diiringi dengan pembacaan puji-pujian atau kasidah kepada Rasulullah dan alat musik hadrah.
  • Pembacaan doa dan tahlil yang ditujukan untuk meminta pengampunan dan harapan bagi tokoh yang sedang diperingati kewafatannya maupun untuk diri orang-orang yang hadir.[3]
  • Pengajian umum, biasanya diisi oleh sambutan keluarga dan tokoh-tokoh masyarakat, pembacaan riwayat/manaqib tokoh yang sedang diperingati, dan ceramah agama dari ulama pilihan panitia penyelenggara.[3]
  • Penyajian hidangan kepada seluruh hadirin. Sajian khas yang biasanya tersedia dalam acara ini adalah nasi kebuli karena menilik sejarahnya, tradisi ini dibawa oleh masyarakat Muslim Arab.[3]

Lihat Pula

sunting

Referensi

sunting
  1. ^ a b "Tradisi Haul". islam.nu.or.id (dalam bahasa Inggris). Diarsipkan dari versi asli tanggal 2021-03-20. Diakses tanggal 2020-04-12. 
  2. ^ Fattah, Munawir Abdul, 1945- (2006). Tradisi orang-orang NU (edisi ke-Cet. 1). Yogyakarta: Pustaka Pesantren. ISBN 979-8452-21-6. OCLC 124031603. Diarsipkan dari versi asli tanggal 2023-08-17. Diakses tanggal 2020-04-12. 
  3. ^ a b c d Setiawan, Muhammad Ferri. (2016). Commodification of Religious Tradition (Critical Study on Tourism of Islamic Tradition Haul at Pasar Kliwon, Surakarta). Proceeding of The 3rd Conference on Communication, Culture and Media Studies ISBN 978-602-71722-1-0 [1] Diarsipkan 2023-02-08 di Wayback Machine.
  4. ^ Muslih, M. Hanif (2006). Peringatan Haul: Ditinjau dari Hukum Islam. Semarang: Karya Toha Putra. 
  5. ^ Lambert, Jean (2003-07-01). "Ulrike Freitag: Indian Ocean, Migrants and State Formation in Hadhramaut. Reforming the Homeland. Ulrike Freitag & William Clarence-Smith : Hadhrami Traders, Scholars and Statesmen in the Indian Ocean, 1750s-1960s". Chroniques yéménites (11). doi:10.4000/cy.167. ISSN 2308-6122. Diarsipkan dari versi asli tanggal 2023-08-17. Diakses tanggal 2020-04-12. 
  6. ^ a b c d Alatas, Ismail F. (2007-12-01). "THE UPSURGE OF MEMORY IN THE CASE OF HAUL: A Problem of Islamic Historiography in Indonesia". JOURNAL OF INDONESIAN ISLAM (dalam bahasa Inggris). 1 (2): 267–279. doi:10.15642/JIIS.2007.1.2.267-279. ISSN 2355-6994. Diarsipkan dari versi asli tanggal 2022-08-16. Diakses tanggal 2020-04-12. 
  7. ^ Algar, Hamid (2018-10-25). "Sufism: A New History of Islamic Mysticism By Alexander Knysh". Journal of Islamic Studies. 30 (1): 97–103. doi:10.1093/jis/ety050. ISSN 0955-2340. Diarsipkan dari versi asli tanggal 2023-08-17. Diakses tanggal 2020-04-16. 
  8. ^ a b "Haul untuk Melestarikan Kiprah Ulama dan Habaib di Indonesia". Islami[dot]co (dalam bahasa Inggris). 2018-12-24. Diarsipkan dari versi asli tanggal 2022-12-01. Diakses tanggal 2020-04-16.