Hartono (militer, lahir 1927)

(Dialihkan dari Hartono (KKO))

Letnan Jenderal KKO (Purn.) Hartono (1 Oktober 1927 – 6 Januari 1971) adalah seorang perwira tinggi militer yang sangat loyal kepada Presiden Soekarno. Ia pernah menjabat sebagai Komandan KKO (sekarang Korps Marinir) dan Menteri/Wakil Panglima Angkatan Laut. Saat ini nama nya diabadikan menjadi nama Kesatrian di Brigade Infanteri 2/Marinir Cilandak, Jakarta Selatan. Kesatrian Marinir Hartono. yang diresmikan oleh Komandan Korps Marinir Mayjen TNI (Mar) Nono Sampono.

Hartono
Panglima KKO ke-3
Masa jabatan
1961–1968
Sebelum
Pendahulu
R. Soehadi
Pengganti
Moekijat
Sebelum
Informasi pribadi
Lahir(1927-10-01)1 Oktober 1927
Solo, Hindia Belanda
Meninggal6 Januari 1971(1971-01-06) (umur 43)
Jakarta, Indonesia
Suami/istriGrace Barbara Walandouw
Anak4
AlmamaterSPT Semarang (1945)
ProfesiPurnawirawan TNI
Karier militer
Dinas/cabang TNI Angkatan Laut
Masa dinas1945—1971
Pangkat Letnan Jenderal KKO
NRP221/P
SatuanKKO
Sunting kotak info
Sunting kotak info • L • B
Bantuan penggunaan templat ini

Riwayat Hidup

sunting

Karier Militer

sunting
 
Letjen KKO Hartono saat menjabat Wapangal
 
Sertijab Panglima KKO-AL dari Letjen KKO Hartono kepada Mayjen KKO Moekijat

Jenjang pendidikan awalnya adalah HIS kemudian melanjutkan ke MULO hingga SMP dan melanjutkan ke SPT Semarang yang kini menjadi Politeknik Ilmu Pelayaran Semarang.

Pendidikan militer yang pernah di ikuti antara lain tahun 1959 mengikuti pendidikan militer pada KUTP, Junior School USMC USA dan General Staba (setingkat Seskoal) di USSR. Ia masuk ke TKR Angkatan Laut pada tahun 1945 dengan pangkat Letnan Dua KKO, selama di ALRI (Angkatan Laut Republik Indonesia) kariernya memuncak. Saat menjabat Komandan KKO ke-3 dari tahun 1961 hingga 1968. Ia juga memegang jabatan sebagai Menteri/Wakil Panglima Angkatan Laut pada tahun 1966.[1] (satu satu nya perwira marinir yang menjabat Wakil Panglima Angkatan Laut/Wakasal).

Kepimpinan di KKO

sunting

Pada saat kepimpinannya KKO AL tengah mengalami perkembangan jumlah personil dan materiil yang pesat salah satu pandangannya adalah menyingkat waktu untuk pendidikan Tamtama dan Bintara, Perwira dan dilancarkannya kampanye pembebasan Irian Jaya. Di bidang material saat itu KKO membentuk Pasukan Komando Armada (Paskoarma). Namun sebelum Operasi Jayawijaya terlaksana, tercapai kesepakatan antara RI - Belanda guna melaksanakan tugas pemulihan keamanan wilayah Irian Barat. KKO AL bersama Kodam XVII/Cenderawasih melancarkan Operasi Sadar (1965-1969) dan Operasi Wibawa (1969). Ketika berlangsung konfrontasi RI - Malaysia dalam rangka Dwikora, Panglima KKO AL Hartono mengirim beberapa Pasukan KKO AL yang tergabung dalam Paskoarma ke perbatasan Kalimantan Timur. Pada tahun 1965, dengan meletusnya pemberotakan G 30 S/PKI KKO AL membantu TNI AD dalam usaha membantu pengangkatan jenazah 7 Perwira yang telah jadi korban. Sementara itu dalam penumpasan pemberontakan G 30 S/PKI. KKO AL terlibat dalam Operasi Penegak di Jawa Tengah dan Lampung (1965), Operasi Sapu Bersih (Satgas Sarutomo I-III) (1967-1968) di Kalimantan Barat.[2]

Misteri Kematian

sunting

Pada masa kejatuhan Presiden RI Soekarno, ia menjadikan KKO sebagai benteng pelindung Soekarno seperti yang dicerminkan pidatonya: "Hitam kata Bung Karno, Hitam Kata KKO, Putih kata Bung Karno, Putih Kata KKO", "KKO selalu kompak di belakang Bung Karno". Ia menyelenggarakan demo KKO yang pro–Soekarno pada 1966. Slogan terkenal dalam demo ini ialah "Pejah Gesang Melu Bung Karno" artinya "Mati Hidup Ikut Bung Karno".[3]

Pada masa Orde Baru, Hartono ditugaskan menjadi Duta Besar Indonesia untuk Korea Utara oleh Presiden Soeharto. Lalu pada tahun 1971 ia dipanggil kembali ke Jakarta, tetapi tak lama kemudian pada tanggal 7 Januari, Jakarta dikejutkan dengan berita duka. Letnan Jenderal (KKO) Hartono, Duta Besar Indonesia di Pyongyang, Korea Utara, meninggal dunia di kediamannya, Jalan Soepomo, Jakarta. Sebagai kesuma bangsa dan figur Marinir yang legendaris, ia dimakamkan secara militer di Taman Makam Pahlawan Kalibata, Jakarta Selatan. Kepala Staf Angkatan Laut Laksamana Madya TNI Sudomo bertindak selaku inspektur upacara pada pemakaman tersebut.

Beberapa sahabat korban tidak yakin Letjen KKO Hartono meninggal akibat bunuh diri. Gubernur DKI Jakarta saat itu, Letjen KKO Ali Sadikin, dan Laksaman Madya TNI Rachmat Sumengkar, mantan Wakil KSAL, termasuk yang tidak yakin dengan penyebab kematian misterius itu. Kedua tokoh angkatan laut mengakui sulit memercayai bahwa Letjen KKO Hartono wafat karena bunuh diri hanya dengan data yang ditemukan di kediaman korban pada waktu itu. Apalagi, almarhum tidak divisum oleh dokter Rumah Sakit Angkatan Laut ataupun RSCM. Setelah ditemukan meninggal di rumahnya sekitar pukul 05.30 WIB, jenazah almarhum Letjen KKO Hartono langsung dibawa ke Rumah Sakit Pusat Angkatan Darat. Baru setelah itu, jenazahnya disemayamkan di rumahnya, selanjutnya dibawa ke Taman Makam Pahlawan Kalibata. “Almarhum bukan tipe manusia yang mudah putus asa. Apalagi mau bunuh diri hanya karena ada dugaan ia putus asa atas hasil pekerjaannya yang tidak berhasil sebagai Duta Besar Luar Biasa untuk Korea Utara,” ujar Letjen KKO Ali Sadikin. Namun, keraguan itu ditepis oleh Komandan Korps Marinir ke-12 yang mejabat tahun 1996-1999, Letjen TNI Marinir (Purn.) Soeharto. Menurutnya, sesepuh Korps Marinir itu memang meninggal akibat bunuh diri. Semua data tentang peristiwa kematian Letjen KKO Hartono menguatkan jika mantan komandannya itu bunuh diri dan tidak perlu dijadikan sebagai polemik di masyarakat. “Tidak perlu lagi dipolemikkan,” ujar Letjen TNI Marinir (Purn.) Soeharto. Terlepas apakah kematiannya akibat bunuh diri atau menjadi korban konspirasi pembunuhan, yang jelas Letjen KKO Hartono menjadi salah satu legenda marinir. Ia dikenal sebagai perwira tinggi yang berani terang-terangan mendukung Bung Karno.

Jabatan Militer

sunting
  • Wakil Komandan Batalyon CM I Tegal (1945)
  • Komandan Batalyon II CM Tegal
  • Komandan Grup B CM IV Tegal
  • Komandan Pusat Pendidikan Amphibi
  • Komandan KMB/Lanal Malang (1945—1950)
  • Komandan Kesatrian KKO AL Malang (1950—1953)
  • Kepala Staf KKO (1960—1961)
  • Panglima KKO (1961—1968)
  • Wakil Panglima Angkatan Laut (1966—1968)

Operasi Militer

sunting

Selama kepimpinan Letnan Jenderal KKO Hartono, KKO AL telah terlibat dalam beberapa Operasi disamping Trikora, Dwikora, G 30 S/PKI, juga Operasi Alugoro I (1961), Operasi Tugas (1964), Operasi Mapadeceng (1969), Operasi Tosui (1965), Operasi Pasering I-II (1965), Operasi Sapu I-II (1965), Operasi Daya Tarik II-III (1965).

Tanda Jasa

sunting

Selama hidupnya, beliau mendapatkan tanda kehormatan baik dari dalam maupun luar negeri, diantaranya;

 
     
     
     
     
Baris ke-1 Bintang Dharma
Baris ke-2 Bintang Gerilya Bintang Sewindu Angkatan Perang Republik Indonesia Satyalancana Kesetiaan 16 Tahun
Baris ke-3 Satyalancana Perang Kemerdekaan I Satyalancana Perang Kemerdekaan II Satyalancana G.O.M I
Baris ke-4 Satyalancana G.O.M IV Satyalancana G.O.M V Satyalancana Wira Dharma
Baris ke-5 Satyalancana Raksaka Dharma Satyalancana Penegak Satyalancana Yuda Tama KKO ALRI (Kelas I)
  • Brevet Pelatih
  • Brevet Hiu Kencana

Referensi

sunting
  1. ^ ""KKO Hartono"". Diarsipkan dari versi asli tanggal 2022-10-03. Diakses tanggal 2014-04-19. 
  2. ^ Profil Panglima KKO Ke-3, "LETNAN JENDERAL (KKO) R. HARTONO", Marinir, NO. 73 Edisi Khussus - 15 NOPEMBER 1995 MARINIR, hlm. 30.
  3. ^ ""Kematian Letjen KKO Hartono Misterius"". Diarsipkan dari versi asli tanggal 2022-06-09. Diakses tanggal 2014-04-19. 
Jabatan militer
Didahului oleh:
Mayjen KKO R. Soehadi
Panglima KKO
1961—1968
Diteruskan oleh:
Letjen KKO Moekijat
Jabatan diplomatik
Didahului oleh:
Ahem Erningpradja
Duta Besar Indonesia untuk Korea Utara
1968—1971
Diteruskan oleh:
Moekijat