Hang Tuah

Laksamana kesultanan Melaka

Hang Tuah merupakan seorang tokoh pahlawan pada suatu hikayat berlatar pada masa pemerintahan Kesultanan Malaka pada masa pemerintahan Sultan Mansur Shah pada abad ke-15.[1] Hang Tuah lahir di Pulau Singkep, Lingga Kepulauan Riau. Hal ini didasarkan pada redaksi kisah Hang Tuah yang diceritakan dalam kitab Hikayat Hang Tuah, sebuah karya sastra Melayu yang ditulis di Johor antara tahun 1688 - 1710. Dalam hikayat tersebut, Hang Tuah digambarkan sebagai seorang laksamana yang berasal dari kalangan rendah dan lahir di sebuah gubug reyot — tidak spesifik disebutkan apa pekerjaan atau profesi kesehariannya. Namun dalam Kitab Salalatus Salatin dia dikatakan seorang nelayan miskin yang Lahir di Pulau Duyung, Singkep sebelum merantau Pulau Bintan sehingga membawa namanya menjadi masyhur.

Mural perunggu Hang Tuah di lobi Museum Sejarah Nasional Malaysia

Kendati keberadaan dan kejelasannya diyakini hanya karya sastra klasik yang bersifat fiksi atau tidak nyata, tetlebih sering dijumpai beberapa kitab hikayat memceritakannya dengan saling bertubrukan seperti Salalatus Salatin dengan Kitab Hikayat Hang Tuah — pun demikian Hang Tuah cukup melekat di benak rakyat Indonesia sebagai karya sastra klasik fiktif berlatar sejarah dan kisahnya pun masyhur sampai Malaysia[1] Dia lebih dikenal sebagai seorang laksamana, namun dalam beberapa redaksi penceritaan oleh penulis lainnya ditampilkan sisi seorang diplomat dan ahli silat yang cukup cenderung dominan. Hang Tuah adalah salah satu tokoh fktif yang masyhur dalam dunia sastra Indonesia yang amat masif terkendala kontroversi dan perselisihan tentang hikayat faktualnya, hingga sulit disebut legenda atau pernah terjadi seperti Damarwulan dan kisah-kisah heroisme perintis kemerdekaan lainnya.[2]

Sumpah Hang Tuah

sunting

Sumpah Hang Tuah tidak dapat ditemukan dari manuskrip-manuskrip mengenai Hang Tuah itu sendiri, ini sepertinya muncul belakangan kemungkinan pada masa modern dalam novel-novel baru. Lihat MCP (Malay Concordance Project).

Kalimat Masyhur

sunting

" Tak akan Melayu hilang di bumi "

— Sumpah Hang Tuah dalam Sulalatus Salatin.

 
Petilasan Hang Tuah

Ringkasan Hikayat

sunting

Penggambaran Hang Tuah dari beberapa versi Sulalatus Salatin berbeda, ada yang menyebutkan bahwa ia dahulunya adalah seorang nelayan miskin. Hang Tuah ialah seorang pahlawan legenda berbangsa Melayu pada masa pemerintahan Kesultanan Melaka pada abad ke-15 (Kesultanan Melayu Melaka) bermula pada abad ke-15.[3]

Pada masa mudanya, Hang Tuah beserta empat teman seperjuangannya, Hang Jebat, Hang Kasturi, Hang Lekir, dan Hang Lekiu membunuh sekelompok bandit-bandit dan dua orang yang berjaya menghancurkan desa dengan amarahnya. Bendahara (sederajat dengan Perdana Menteri dalam sistem pemerintahan sekarang) dari Melaka mengetahui kehebatan mereka dan mengambil mereka untuk berkerja di istana.

Semasa ia bekerja di istana, Hang Tuah telah menemani Sultan Mansur Syah dalam berbagai tugas kenegaraan. Dalam kunjungan diplomatik ke Majapahit, Hang Tuah berduel dengan seseorang petarung dari Jawa yang terkenal dengan sebutan Taming Sari. Dalam duel tersebut Hang Tuah berhasil membunuh Taming Sari, dan keris peninggalan Taming Sari lalu dianugerahkan oleh Raja Suraprabhawa kepada Hang Tuah.

Hang Tuah pernah dituduh berzina dengan pelayan Raja, dan di dalam keputusan yang cepat, Raja menghukum mati Laksamana yang tidak bersalah. Namun, hukuman mati tidak pernah dikeluarkan, karena Hang Tuah dikirim ke sesebuah tempat yang jauh untuk bersembunyi oleh Bendahara.

Setelah mengetahui bahwa Hang Tuah akan mati, teman seperjuangan Hang Tuah, Hang Jebat, dengan murka ia membalas dendam melawan raja, mengakibatkan semua rakyat menjadi kacau-balau. Raja menyesal menghukum mati Hang Tuah, karena dialah satu-satunya yang dapat diandalkan untuk membunuh Hang Jebat. Secara tiba-tiba, Bendahara memanggil kembali Hang Tuah dari tempat persembunyiannya dan dibebaskan secara penuh dari hukuman raja. Setelah tujuh hari bertarung, Hang Tuah merebut kembali keris Taming Sarinya dari Hang Jebat, dan membunuhnya. Setelah teman seperjuangannya gugur, Hang Tuah menghilang dan tidak pernah terlihat kembali.

Penggunaan Nama Hang Tuah

sunting

Hang Tuah, cukup menginspirasi masyarakat bersuku melayu untuk tetap mengabadikan namanya. Selain digunakan untuk nama jalan, namanya juga amat sering dikaitkan dengan sesuatu yang tidak hanya berhubungan dengan bahari naumu juga yang tidak memiliki unsur kebaharian sama sekali. Hal tersebut cukup mendasar karna bagaimanapun juga Indonesia adalah negara kepulauan dengan 17.000 lebih pulau bertebaran dari Sabang sampai Merauke yang berhak menyandang gelar Negara Maritim. Nama Hang Tuah digunakan untuk beberapa institusi pendidikan seperti Taman Kanak-kanak Hang Tuah, Universitas Hang Tuah di Surabaya serta Sekolah Menengah Kejuruan Pelayaran Hang Tuah di Kediri Jawa Timur. Selain itu salah satu kapal perang frigat Tentara Nasional Indonesia, juga menggunakan namanya yakni, KRI Hang Tuah.

Lihat pula

sunting

Catatan kaki

sunting
  1. ^ a b Arman Ahmad (12 December 2015). "Hang Tuah 'did not exist', claims historian". New Straits Times. Diarsipkan dari versi asli tanggal 20 May 2016. 
  2. ^ Nadia, Alena (2022-05-15). "Filmmakers attempt to piece together fragments of Hang Tuah". Malaysiakini. Diakses tanggal 2022-05-17. 
  3. ^ "Britannica CD - Sejarah Melayu". Diarsipkan dari versi asli tanggal 2011-10-25. Diakses tanggal 2012-12-27.