Hak asasi manusia di Kamboja
Artikel ini adalah bagian dari seri Politik dan Ketatanegaraan Kerajaan Kamboja |
Hubungan luar negeri |
Kondisi hak asasi manusia di Kamboja semakin mengkhawatirkan. Pembatasan ekstrem terhadap hak-hak sipil dan politik yang diterapkan sejak 2017 di Kamboja semakin intensif. Adanya Undang-undang Keadaan Darurat baru menyebabkan bertambahnya kerangka hukum yang melanggar hak asasi manusia di Kamboja. Para pembela hak asasi manusia, demonstran damai, dan anggota partai oposisi terus mengalami pelecehan dan intimidasi akibat penyalahgunaan sistem peradilan. Hak-hak perempuan juga terus-menerus diserang. Salah satunya adalah ketika Perdana Menteri Kamboja, Hun Sen, memimpin kampanye publik dan menggunakan interpretasi sewenang-wenang mengenai "tradisi" dan "budaya" untuk membatasi hak-hak perempuan. Selain itu, orang-orang yang ditahan secara sewenang-wenang di pusat penahanan narkoba mengalami penyiksaan dan diperlakukan secara tidak manusiawi.[1]
Kini, akibat pandemi COVID-19, puluhan ribu pekerja di Kamboja berisiko mengalami kemiskinan, terutama pekerja yang memiliki utang keuangan mikro. Kamboja tercatat sebagai negara yang paling banyak berhutang keuangan mikro di dunia. Hal ini terjadi akibat tindakan keras pemerintah Kamboja pada 2017 sampai 2020 yang menargetkan media independen, organisasi masyarakat sipil yang blak-blakan, dan oposisi politik. Tindakan tersebut kemudian menyebabkan Uni Eropa mencabut sebagian status perdagangan bebas preferensi Kamboja di bawah perjanjian perdagangan Everything But Arms (EBA), karena adanya pelanggaran hak-hak buruh dan hak asasi manusia.[1]
Kebebasan berekspresi
suntingKonstitusi Kamboja memberikan kebebasan berekspresi, termasuk bagi media massa. Namun, sejak 2017, pemerintah Kamboja melakukan kampanye berkelanjutan untuk menghilangkan media berita independen dan media yang berbeda pendapat. Kemudian pemerintah Kamboja memberlakukan pembatasan yang semakin besar terhadap kebebasan berekspresi bagi media massa. Hal ini diketahui sejak semakin banyak individu dan institusi yang melaporkan penyensoran.[2] Pemerintah Kamboja secara signifikan membatasi kebebasan media dengan menargetkan media independen dan jurnalis kritis. Dalam enam bulan pertama tahun 2020, pemerintah Kamboja mencabut izin media independen TVFB, CKV TV Online, serta stasiun radio dan situs berita online Rithysen.[3]
Tindakan yang digambarkan sebagai "serangan tanpa henti" dari pemerintah Kamboja terhadap media massa, seperti penangkapan, undang-undang yang represif, dan pencabutan izin media, mendapat kecaman dari kelompok-kelompok hak asasi manusia. Pada 2 November 2020 yang bertepatan dengan Hari Internasional untuk Mengakhiri Impunitas bagi Kejahatan Terhadap Jurnalis, 57 komunitas dan kelompok hak asasi manusia di Kamboja menandatangani pernyataan untuk menghentikan serangan terhadap jurnalis yang kritis kepada pemerintah dan menuntut hak kebebasan berekspresi.[4]
Referensi
sunting- ^ a b "Cambodia 2020 Archives". Amnesty International (dalam bahasa Inggris). Diarsipkan dari versi asli tanggal 2023-08-07. Diakses tanggal 2021-11-05.
- ^ "Cambodia". United States Department of State (dalam bahasa Inggris). Diarsipkan dari versi asli tanggal 2023-06-06. Diakses tanggal 2021-11-06.
- ^ "Cambodia: Event of 2020". Human Right Watch. 16 Desember 2020. Diarsipkan dari versi asli tanggal 2023-07-05. Diakses tanggal 6 November 2021.
- ^ "Organisasi HAM: Kamboja Harus Akhiri Serangan Hukum terhadap Media". VOA Indonesia. Diarsipkan dari versi asli tanggal 2021-11-06. Diakses tanggal 2021-11-06.