Hadanah adalah upaya memberikan perlindungan serta pemeliharaan kepada anak yang masih kecil hingga ia mencapai usia dewasa. Kewajiban memberikan hadanah berlaku untuk anak-anak yang belum mampu menjalani kehidupan secara mandiri. Bentuk pemeliharaan yang diberikan dalam hadanah ialah pemeliharaan secara fisik, akal dan agama.[1]

Peristilahan

sunting

Kata "hadanah" secara bahasa berasal dari kata al-hidinu yang berarti tempat berkumpul. Sedangkan secara istilah, kata "hadanah berarti mendidik anak yang dilakukan oleh orang yang memiliki hak untuk mendidik. Kata ini juga dapat diartikan secara istilah sebagai kegiatan mendidik dan menjaga orang yang tidak bisa mengurus dirinya secara mandiri atas hal-hal yang dapat menyakiti dirinya. Kata ini dikhususkan bagi anak kecil, orang tua dan orang yang menderita penyakit gila. Pengasuhan di dalam lingkup hadanah meliputi perlindungan atas bahaya dan pemberian bekal kehidupan berupa penjagaan kesehatan dan makanan.[2]

Pelaksana

sunting

Kewajiban hadanah dibebankan kepada kedua orang tua dari anak yang masih kecil. Jika anak tersebut memiliki orang tua yang keduanya telah meninggal, maka kewajiban ini dialihkan kepada kerabat yang memiliki hubungan kekerabatan yang terdekat. Jika anak tersebut sebatang kara dan tidak memiliki kerabat sama sekali, maka kewajiban hadanah dibebankan kepada seorang muslim ataupun pemerintah.[1]

Penerima hak

sunting

Hak untuk memberikan hadanah kepada seorang anak yang paling utama adalah ibu dari anak tersebut. Pemberlakuan hak ini terjadi ketika suami dan istri melakukan perceraian akibat talak. Ibu dari anak tersebut juga memperoleh hak ini jika suaminya meninggal. Syarat pemberian hak ini ialah ibu dari anak tersebut tidak mengadakan pernikahan yang baru. Ketentuan ini didasarkan kepada salah satu hadits yang menyebutkan bahwa seorang ibu lebih berhak atas anaknya selama tidak melakukan pernikahan kembali.[3]

Jika anak tersebut tidak memiliki ibu, maka hak untuk memberikan hadanah diberikan kepada nenek dari jalur keluarga ibunya. Pemberian hak ini didasari bahwa nenek dari jalur ibu sama dengan ibu anak itu. Jika anak tersebut tidak mempunyai nenek, maka hak dialihkan ke bibi dari anak tersebut dari jalur keluarga ibunya. Dasar yang sama berlaku untuk hak ini yaitu bahwa bibi dari jalur ibu sama dengan ibu dari anak itu. Ketentuan ini didasarkan kepada salah satu hadits yang menyatakan bahwa bibi dari jalur ibu memiliki kedudukan yang sama dengan ibu dari anak tersebut. Hak hadanah ini kemudian beralih lagi jika bibi dari jalur ibu tidak ada. Pengalihan hak ini secara berurutan yaitu ke nenek dari jalur bapak, saudara perempuan dari jalur bapak, bibi dari jalur bapak dan anak perempuan dari saudara laki-lakinya. Jika seluruh penerima hak tersebut tidak ada, maka hak dilaihkan ke bapaknya dan jalur kekerabatan bapaknya.[4]

Pembatalan hak

sunting

Hak hadanah dibatalkan dari ibunya ketika ibu dari anak tersebut melakukan pernikahan kembali. Pernikahan ini dilakukan dengan orang lain yang bukan kerabat dari anak tersebut. Hak ibu dari anaknya menjadi hilang dan digantikan oleh kerabatnya. Ini berdasarkan kepada salah satu hadits yang menyatakan bahwa hak ibu atas anaknya berlaku selama ia belum mengadakan pernikahan baru. Jika ia telah menikah lagi, maka hak ini pun hilang. Pembatalan hak ibu untuk melakukan hadanah terhadap anaknya juga berlaku pada beberapa kondisi, yaitu mengalami kegilaan atau menderita penyakit menular. Pembatalan hak juga berlaku bagi para wanita yang mempunyai hak tetapi belum dewasa, belum mampu memberikan perlindungan kepada anak, atau kafir. Pengguguran hak hadanah bagi wanita yang belum dewasa dikarenakan belum adanya kemampuan untuk menjaga fisik, akal dan agama dari anak. Sedangkan kekafiran dianggap sebagai penggugur hak hadanah karena adanya kekhawatiran terhadap kerusakan akidah dari anak tersebut.[5]

Hak anak

sunting

Anak memiliki hak dalam memilik orang yang akan menerima hadanah darinya ketika ia telah memahami pilihan tersebut. Dalam kasus perceraian, anak dapat memilik tinggal bersama ibunya atau tinggal bersama bapaknya. Ketentuan ini diperoleh dari hadits yang diriwayatkan oleh Ibnu Majah dan Muhammad bin Isa at-Tirmidzi. Dalam hadits ini, anak diberikan pilihan untuk tinggal bersama ibu atau bapaknya jika ia telah memahami kondisinya.[6]

Referensi

sunting

Catatan kaki

sunting
  1. ^ a b Al-Jaza'iri 2020, hlm. 811.
  2. ^ Muzammil, Iffah (2019). Fikih Munakahat: Hukum Pernikahan dalam Islam (PDF). Tangerang: Tira Smart. hlm. 247. 
  3. ^ Al-Jaza'iri 2020, hlm. 811-812.
  4. ^ Al-Jaza'iri 2020, hlm. 812.
  5. ^ Al-Jaza'iri 2020, hlm. 813.
  6. ^ Jamaluddin, dan Amalia, N. (2016). Faisal, ed. Buku Ajar Hukum Perkawinan (PDF). Lhokseumawe: Unimal Press. hlm. 74. ISBN 978-602-1373-44-6. Diarsipkan (PDF) dari versi asli tanggal 2018-08-26. Diakses tanggal 2022-01-23. 

Daftar pustaka

sunting
  • Al-Jaza'iri, Abu Bakar Jabi (2020). Minhajul Muslim: Konsep Hidup Ideal dalam Islam [Minhajul Muslim]. Diterjemahkan oleh Aini, Musthofa; Fachrudin, Amir Hamzah; Mutaqin, Kholif. Jakarta: Darul Haq. ISBN 978-979-3407-85-2.