Gurut uma atau disebut juga sebagai punen gurut uma adalah upacara adat dalam Suku Mentawai yang dilakukan untuk merayakan penyelesaian pembuatan sebuah uma, rumah tradisional suku Mentawa. Upacara ini diselenggarakan oleh kelompok suku pemilik uma baru atau disebut sikebbukat uma dan dipimpin oleh seorang sikerei. Prosesinya diwarnai ritual-ritual yang dianggap sakral menggunakan daun-daun yang menurut kepercayaan Arat Sabulungan bisa menjadi perantara hubungan manusia dengan tuhan. Seluruh anggota suku terlibat dalam masa persiapan hingga pelaksanaan gurut uma, yang pelaksanaannya membutuhkan waktu satu hingga dua bulan.[1][2]

Uma, rumah tradisional Mentawai. Setelah uma selesai, anggota suku pemilik uma atau disebut sikebbukat uma akan mempersiapkan pesta perayaan atau peresmian yang disebut gurut uma

Tujuan

sunting

Suku Mentawai meyakini semua benda dan makhluk hidup memiliki roh sehingga layak untuk dihormati. Rangkaian ritual dalam gurut uma merupakan bentuk penghormatan manusia terhadap alam sekitarnya yang menjadi sumber pemenuhan kebutuhan hidun masyarakat, khususnya dalam pembuatan uma yang bahan-bahanya diperoleh dari hutan. Upacara ini dipimpin oleh seorang sikerei, yakni dukun tradisional Mentawai. Sikerei meyakini bahwa roh-roh leluhur dan roh penguasa alam memiliki peran terhadap keselamatan pemilik uma yang akan ditempati.[3]

Bagi suku Mentawai, keberadaan uma tidak sekadar tempat hunian, melainkan mempunyai fungsi sebagai wadah terjadinya interaksi sosial. Di uma, dilakukan berbagai kegiatan kebersamaan seperti gotong royong. Setelah uma selesai, anggota suku pemilik uma atau disebut sikebbukat uma akan mempersiapkan pesta perayaan atau peresmian yang disebut gurut uma.[4] Dengan upacara gurut uma, penghuni uma diharapkan merasa nyaman untuk tinggal di uma.[5]

Persiapan

sunting

Sebelum memulai upacara gurut uma, kepala suku pemilik uma baru atau disebut sikebbukat uma terlebih dulu memasuki uma sambil melafalkan mantra-mantra. Mantra-mantra tersebut menyatakan bahwa pemilik rumah akan segera menempati rumah baru. Hal ini, menurut keyakinan setempat, sebagai bentuk permintaan izin kepada roh-roh yang ada di sekeliling uma "agar apapun yang akan dilakukan selanjutnya tidak mengganggu satu sama lain".[6][2]

Setelah pembacaan mantra, anggota suku memasukkan semua perlengkapan dan peralatan rumah tangga (misalnya peralatan tidur dan peralatan dapur) dan peralatan budaya milik (seperti gajeumak ngong dan perhiasan manik-manik) sikebbukat uma ke dalam rumah baru.[7] Selanjutnya, sikebbukat uma beserta istri dan anak-anaknya memasuki uma. Mereka terlebih dahulu berkumpul di ruangan yang disebut puiligat. Mereka dimandikan dengan air yang diambil dari mata air yang dianggap sakral.[6][2]

Memasuki rumah

sunting

Tahapan berikutnya, yakni memasuki ruangan di bagian dalam uma yang disebut puiringan. Pertama, sikebbukat uma bertindak membuka pintu uma. Salah seorang pemimpin suku yang disebut sikautet lulak terlebih dulu masuk dan meminta izin kepada roh-roh.[8][2]

Setelah selesai, semua anggota suku dapat masuk ke dalam uma. Sikebbukat uma lalu memandikan atau memercikkan air ke tubuh seluruh anggota suku yang berkumpul sambil berkata: siagai pangisei rauk mai tatoga ku bara paruruk kai senek mugauk-gauk nganga mai sasarainangku simaleppet tubu kair. Kalimat ini bertujuan agar suara gaduh yang ditimbulkan dari kumpulan anggota suku ini tidak mendatangkan masalah seperti penyakit dan lain-lain.[8][2]

Makan bersama

sunting

Pada tahap ini, disajikan hidangan untuk pesta makan bersama atau disebut punen. Hidangan berupa babi sikabaugat (babi berukuran kecil) dan beberapa ekor ayam. Pekerjaan menyembelih dan memasak dikerjakan oleh kaum laki-laki dewasa, sedangkan kaum perempuan atau ibu-ibu mengolah serta memasak sagu, pisang, dan keladi.[7] Setelah makanan terhidang, seluruh anggota suku makan bersama di dalam uma.[8][2]

Setelah makan bersama usai, prosesi berikutnya yakni pembuatan ramuan daun-daunan khusus bagi anggota suku yang disebut rauk sipauma. Rauk diletakkan di dalam bambu muda dengan ukuran yang tidak terlalu besar dan tidak terlalu kecil (sedang) yang disebut rauk kasinem. Dalam ramuan daun-daunan, dicampur sedikit serpihan bahan-bahan pembuatan uma seperti dari tiang atap dan lain-lain serta air yang diambil dari mata air yang dianggap sakral. Isi ramuan dalam bambu yang telah dicampur akan disiramkan oleh sikebbukat uma ke tubuh seluruh anggota suku sebelum mereka kembali ke rumah masing-masing. Bersamaan dengan itu, sikebbukat uma akan melafalkan mantra-mantra.[8][2]

Upacara inti

sunting
 
Sikerei memimpin upacara inti gurut uma dengan perlengkapan pakaian lengkap

Setelah serangkaian persiapan dilakukan, sikebbukat uma akan meminta seorang sikerei untuk memulai upacara inti. Upacara inti biasanya dilakukan pada malam hari. Apabila di suku yang mengadakan upacara gurut uma tidak ada sikerei, harus mengudang sikerei dari suku atau uma lain. Setelah semua anggota suku berada di uma, Sikerei memimpin upacara menurut kepercayaan Arat Sabulungan, pertama-tama dengan menyebutkan nama-nama semua daerah tempat bersemayamnya roh-roh para leluhur. Dalam mantra-mantra sikerei, disampaikan maksud dan tujuan upacara yang sedang mereka lakukan serta mengundang roh para leluhur untuk ikut serta dalam punen gurut uma. Selain itu, Sikerei lewat mantra meminta izin kepada penguasa hutan, bukit, laut dan sungai agar semua bahan pembuatan uma tidak menimbulkan masalah atau musibah.[3][2]

Pada keesokan harinya, sikerei melakukan ritual pembersihan uma dari roh-roh halus yang disebut masijaineng uma sibeu, ritual pengusiran atau menjauhkan roh-roh jahat atau disebut bibibit sakatai, dan ritual memohon rezeki dan umur panjang atau disebut bibit simaheru.[9][7]

Setelah ritual selesai, dilakukan kembali upacara di uma. Sikerei melafalkan mantra-mantra dan menyanyikan lagu diiringi alunan gendang dari tukang gendang. Sikerei meminta salah seorang anggota suku menyerahkan dua ekor gouk-gouk simaingo, yakni ayam jantan yang berwarna merah. Gouk-gouk simaingo akan diserahkan kepada kepada salah satu anggota suku untuk disembelih. Gouk-gouk simaingo dipotong sama besar dan dibagi rata kepada semua anggota suku. Sebelum upacara selesai, sikebbukat uma mengingatkan agar semua kepala keluarga datang di uma dengan membawa subbet dan beberapa potong daging untuk acara penutupan yang disebut irik. Tidak boleh ada satu keluarga yang boleh makan sebelum irik selesai.[9]

Penutupan

sunting

Apabila sikebbukat uma sudah siap untuk melaksanakan irik, gong dibunyikan tanda irik akan dimulai. Subbet bersama daging yang dibawa oleh masing-masing kepala keluarga tidak dimakan di acara irik tapi dimakan pada waktu makan yang sudah ditentukan waktunya oleh kepala suku.[9]

Setelah ritual irik selesai, sikebbukat uma menyuruh anggota suku kembali ke rumah masing-masing. Selagi menunggu bunyi gong sebagai tanda anggota suku sudah boleh makan, anggota suku mempersiapkan makanan untuk acara puncak atau penutupan uma yang dilakukan pada malam hari. Sesudah gong berbunyi dan semua anggota suku makan, dilakukan acara hiburan seperti tari-tarian.[9]

Rujukan

sunting
Catatan kaki
Daftar pustaka
  • Pirja Pirus Satairarak (14 September 2015). "Gurut Uma". Puailiggoubat. Diarsipkan dari versi asli tanggal 2022-07-16. Diakses tanggal 23 April 2019. 
  • Pirja Pirus Satairarak (15 September 2015). "Gurut Uma". Puailiggoubat. Diarsipkan dari versi asli tanggal 2022-07-12. Diakses tanggal 23 April 2019. 
  • Tarida Hernawati, ed. (2015). Upacara Adat Mentawai. Padang: Yayasan Citra Mandiri Mentawai. ISBN 978-979-98602-9-3. 
  • M. Gullit Agung W.; Eni Purwaningsih; Lucky Zamzami; Sugeng Rahanto (2014). Tri Juni Angkasawati, ed. Turuk Sikerei (PDF). Padang: Lembaga Penerbitan Balitbangkes. ISBN 978-602-1099-11-7. Diarsipkan dari versi asli (PDF) tanggal 2019-07-13. Diakses tanggal 2019-04-23. 
  • "Program Curriculum Update". Progress Report March 2018 (PDF) (dalam bahasa Inggris). Yayasan Pendidikan Suku Mentawai. 2018. Diarsipkan dari versi asli (PDF) tanggal 2019-04-23. Diakses tanggal 2019-04-23.