Giri (義理) adalah konsep kewajiban sosial di Jepang. Giri sangat dihargai sebagai standar hubungan manusia: atasan-bawahan, orang tua-anak, suami-istri, kakak-adik, teman, dan kadang-kadang musuh, serta relasi bisnis.[1] Bila harus didefinisikan, giri berarti memedulikan orang lain yang telah memberi kebaikan hati, dan kebulatan tekad untuk mewujudkan kebahagiaan orang itu, meski kadang-kadang dengan mengorbankan diri sendiri.[2]

Memberi hadiah tergolong salah satu giri.[3] Seseorang secara moral wajib memberi hadiah ketika diharuskan oleh adat-istiadat.[3] Pada zaman modern, konsep giri tetap memegang peranan penting dalam masyarakat Jepang, terutama dalam bentuk tradisi memberi hadiah musim panas (chūgen) dan hadiah akhir tahun (seibo). Hadiah cokelat berharga murah yang diberikan pada Hari Valentine disebut giri choco atau cokelat yang diberikan karena giri. Kartu pos nen-gajō yang dikirim untuk mengucapkan selamat tahun baru, kemungkinan ditulis karena giri (giri de kaku).[4]

Giri terkait dengan tradisi memberi hadiah yang bersifat resiprokal. Oleh karena itu, penerima sebuah hadiah secara alami dituntut untuk memberikan hadiah balasan.[3] Kewajiban moral untuk memberi, untuk menerima, dan membalas hadiah berasal dari tradisi Jepang zaman kuno.[3] Padi adalah sumber kehidupan untuk orang Jepang kuno.[4] Kondisi lahan pertanian tidak sulit, tetapi tidak pula semudah menebar benih dan menunggu panen melimpah. Menanam padi memerlukan kerja sama intensif dalam waktu pendek, misalnya sewaktu menandur dan memanen. Kerja fisik seperti ini mendorong terbentuknya perkampungan-perkampungan yang mengharuskan orang untuk bekerja sama satu sama lainnya. Orang yang menerima jasa baik dari orang lain yang telah membantu menanam dan memanen padi di sawah, ingin membalas jasa baik tersebut. Di lain pihak, orang yang telah memberi jasa baik juga mengharapkan sesuatu sebagai balasannya. Selain itu, penduduk di satu perkampungan, harus mencatat dengan teliti apakah mereka benar-benar menerima sesuatu sebagai balasan. Tradisi mengembalikan sesuatu untuk jasa baik yang telah diberikan, sekarang ini disebut giri.[4]

Prinsip resiprokal dalam memberi hadiah menuntut pemberian dikembalikan dalam nilai yang seimbang. Pada upacara pemakaman, jumlah sumbangan uang dupa (kōden) dari setiap pelayat dicatat dengan teliti.[3] Di kemudian hari, sumbangan uang dupa dikembalikan dalam jumlah yang sama ketika keluarga pelayat yang dulu datang, mendapat giliran ditimpa kemalangan.[3]

Istilah giri juga dipakai untuk pertalian saudara dengan orang bukan saudara sedarah, tetapi menjadi sanak saudara secara hukum antara lain karena ikatan perkawinan. Bapak mertua/bapak tiri/bapak angkat disebut gifu (義父) atau giri no otōsan, ibu mertua/ibu tiri/ibu angkat disebut gibo (義母) atau giri no okaasan, dan saudara ipar/saudara tiri/saudara angkat disebut gikyōdai (義兄弟) atau giri no kyōdai.[5] Dari konsep ini, tercipta istilah gikyōdai (persaudaraan sumpah darah) di kalangan yakuza.

Referensi

sunting
  1. ^ Sugiura, Yoichi (1996). Nihon bunka o Eigo de shokaisuru jiten: Traditional Japanese Culture & Modern Japan. Natsumesha. hlm. 150. 
  2. ^ Sugiura, Yoichi (2004). 日本文化を英語で紹介する事典: A Biligual Handbook on Japanese Culture. New Age Publishing Institute. Diarsipkan dari versi asli tanggal 2015-03-12. Diakses tanggal 2013-02-16. 
  3. ^ a b c d e f Lebra, Takie S. (1986). Japanese Culture and Behavior: Selected Readings. University of Hawaii Press. hlm. 162-163. ISBN 0824810554. 
  4. ^ a b c Davies, Roger J. (2002). The Japanese Mind: Understanding Contemporary Japanese Culture. Tokyo: Tuttle Publishing. hlm. 97. ISBN 0804832951. Diakses tanggal 2013-02-16. 
  5. ^ Nelson, Andrew Nathaniel (1996). Kamus Kanji Modern Jepang-Indonesia. Jakarta: Kesaint Blanc. 

Pranala luar

sunting