Gilang (aktivis)
Gilang, atau dipanggil pula dengan nama kecil Hoho, Tarzan, atau nama aslinya Leonardus Nugroho, 21 Februari 1977 – 23 Mei 1998 adalah pengamen yang juga menjadi aktivis yang terbunuh dalam reformasi 98. Ia dikenal sebagai salah satu dari aktivis yang menghilang dengan misterius dan ditemukan telah terbunuh. Ia aktif dalam Dewan Reformasi Mahasiswa Surakarta, PRD, SMID, Jaringan Kaum Miskin Kota[1], dan Ketua Serikat Pengamen Indonesia Solo.[2]
Gilang | |
---|---|
Lahir | Leonardus Nugroho 21 Februari 1977 Solo, Indonesia |
Meninggal | 23 Mei 1998 Madiun, Indonesia | (umur 21)
Aktivisme
suntingIa pertama kali diajak ke sekretariat Solidaritas Mahasiswa Indonesia untuk Demokrasi (SMID) Solo oleh Widji Thukul. Selanjutnya, mereka mengadakan diskusi buku Pramoedya Ananta Toer pada tahun 1995, yang dibubarkan polisi. Setelahnya, Gilang semakin aktif dalam gerakan ini dengan membuatkan spanduk dan poster, lalu menyebarkannya. Ia sempat menghilang setahun, namun ditemukan kembali oleh Prijo, eks aktivis PRD sedang aktif mengamen pada tahun 1997. Gilang kembali hadir dalam rapat-rapat persiapan aksi dengan menjadi barisan pelopor, juga mengatur jalur aksi dan titik-titik kumpul massa. Sering pula ia mengumpulkan teman-teman pengamen untuk diberi pendidikan politik.[2]
Kronologi
suntingSejak aksi penolakan hasil pemilu mulai ramai pada tahun 1998, beberapa aktivis mulai diculik atau hilang. Pada tanggal 21 Mei 1998, Gilang berpamitan kepada ibunya, dengan alasan diajak seseorang untuk bekerja di Madiun, setelah menitipkan uang Rp 30.000,- untuk membantu membayar listrik. Bapaknya, Fattah, yang curiga karena sebelumnya sudah sering mendengar kabar Gilang dicari, kemudian berusaha menahan dan berjanji akan mengantarnya. Namun Gilang diam-diam pergi saat Fattah sedang salat. Seorang tetangga menyaksikan Gilang dijemput dan dibonceng dua orang yang menggunakan sepeda motor. [2]
Sebelumnya pada pagi hari ia juga menjenguk kekasihnya, Sri Hidayah, di kosan. Sri Hidayah yang baru menjalani operasi usus buntu menunggu janji Gilang akan dijemput lagi sore harinya. Karena tidak kunjung datang, ia menyusul ke rumah Budiarti. Sri Hidayah merasa cerita akan bekerja di Madiun janggal, karena tidak pernah diceritakan kepada dirinya. Ia menceritakan kejadian itu kepada rekannya di Pergerakan Mahasiswa Islam Indonesia dan Dewan Reformasi Mahasiswa Surakarta (DRMS). Pengumuman orang hilang kemudian dibuat dan disebarkan. [2]
Dua hari kemudian, Ulin Yusron mendengar informasi penemuan jenazah di Magetan, dengan ciri-ciri mirip Gilang. Tanggal 31 Mei 1998, rombongan DRMS bersama keluarga GIlang dan Sri Hidayah berangkat ke Magetan untuk mengklarifikasi kabar tersebut ke Polres Magetan. Polisi kemudian memperlihatkan kemeja, dompet, tas, sepatu, jaket, dan cincin merah muda yang memang digunakan oleh Gilang sebelumnya. Identitasnya dipastikan setelah polisi memperlihatkan foto jenazahnya kepada keluarga. Jenazahnya sendiri sudah terlanjur dikuburkan warga dengan identitas Mr X. Upaya membawa jenazahnya kembali ke Solo terhalangi kewajiban melakukan otopsi yang disyaratkan polisi.[2]
Tanggal 5 Juni 1998 berita kematian Gilang memenuhi surat kabar. Otopsi kembali dilakukan untuk kedua kali. Jenazah Gilang dijemput ke Magetan dan disemayamkan di posko DRMS, dan dilayat oleh ribuan orang yang memadati jalan. [2]
Pembunuhan
suntingJenazahnya ditemukan dalam keadaan tidak dikenal di utan Watu Ploso, Kabupaten Magetan, Jawa Timur.[2] Saat ditemukan, satu tangannya terikat di pohon, sementara satu tangan lainnya berada di perut, memegangi ulu hati yang tampaknya dikeluarkan isinya. [3] Berdasarkan otopsi, ia meninggal karena dadanya ditusuk dengan pisau, yang dilakukan oleh orang terlatih. [2]
Kehidupan personal
suntingIa anak dari pasangan Fattah dan Budiarti. Kakeknya, Prijo, adalah tentara yang dituduh terlibat dalam G30S/PKI dan diasingkan ke Pulau Buru, walaupun tidak pernah dibuktikan dan sebelumnya mereka banyak membantu masyarakat di sektiar dengan membiarkan lahannya ditempati. Sepulangnya dari pengasingan, kehidupan mereka menjadi sulit dan Budiarti bersama suaminya harus bekerja keras menyekolahkan anak-anaknya. Gilang yang merasa ikut bertanggung jawab memperbaiki kondisi keluarga kemudian aktif mengamen dan ikut dalam kegiatan aktivis. Budiarti mencari penghasilan untuk menguliahkan anak-anaknya dengan menjahit. Gilang sendiri tidak lulus SMA. [2]
Referensi
sunting- ^ Menolak Lupa, Daftar Catatan Kelam Tragedi Mei 98. dari situs kompas
- ^ a b c d e f g h i Kematian Gilang: Pengamen dari Solo Dibunuh karena Melawan Soeharto. dari situs berita tirto
- ^ Kisah Gilang, Aktivis '98 yang Hanya Pengamen Jalanan. dari situs berita medcom