Gigi hiu pada umumnya berbentuk gerigi dan tajam. Kerusakan tidak terjadi pada gigi hiu karena dilapisi oleh zat fluorida. Jumlah gigi pada hiu umumnya ada beberapa baris. Tiap baris pada gigi hiu terus berganti sepanjang hidupnya. Gigi hiu berfungsi untuk menggigit mangsa. Manusia telah memanfaatkan gigi hiu untuk dibuat sebagai perkakas dan senjata.

Bentuk

sunting

Gigi hiu pada umumnya berbentuk gerigi dengan bagian ujung yang kecil tetapi tajam. Bentuknya seperti gergaji dan ketajamannya seperti pisau cukur.[1] Hanya ada beberapa spesies hiu yang tidak memiliki gigi yang tajam. Misalnya pada hiu smoothhound. Bentuk giginya pipih namun kokoh. Spesies hiu dengan ukuran gigi terbesar adalah hiu putih raksasa. Panjang giginya dapat mencapai 6 cm.[1]

Komposisi

sunting

Ketika hiu dilahirkan, giginya sudah tumbuh secara lengkap. Namun ukuran gigi pada bayi hiu berukuran kecil dibandingkan dengan gigi hiu dewasa.[2] Susunan gigi hiu tidak rapi.[3] Gigi hiu dilapisi oleh zat fluorida di bagian luarnya. Zat ini berfungsi untuk mencegah kerusakan pada gigi hiu. Karena zat ini, hiu tidak memiliki lubang pada giginya.[1] Gigi hiu juga tidak menempel di rahang, melainkan hanya pada gusi saja.[4]

Jumlah

sunting

Spesies hiu dari kelompok hiu pemburu memiliki gigi dalam beberapa baris. Dua spesies ini misalnya hiu putih raksasa dan hiu macan. Beberapa spesies hiu telah memiliki total sebanyak 30 ribu gigi semasa hidupnya.[5]

Mekanisme pertumbuhan

sunting

Gigi hiu mudah tanggal tetapi dapat tumbuh lagi dengan sangat cepat.[6] Seekor hiu memiliki beberapa baris gigi yang akan berpindah posisi. Gusi hiu berperan mengganti baris gigi depan ketika tanggal dengan baris gigi belakang. Pergerakan baris baru menggantikan baris lama terjadi secara perlahan.[5]

Fungsi

sunting

Ketajaman gigi hiu mendukung hiu sebagai hewan pemangsa yang efektif dan cepat.[7] Mangsa dapat dikunyah oleh gigi-gigi hiu yang tajam.[8] Baris gigi pada hiu digunakan untuk menggigit mangsa. Penggigitan hanya terjadi pada dua baris gigi hiu yang paling depan. Sementara baris berikutnya menjadi cadangan ketika dua baris terdepan telah tanggal. Baris yang dibelakang akan maju ke depan setelah baris gigi terdepan tanggal.[5] Gigi hiu yang telah tanggal dapat ditemukan di sekitar pantai.[1]

Pemanfaatan oleh manusia

sunting

Gigi hiu merupakan salah satu bagian dari tubuh hiu yang memiliki nilai ekonomis sebagai sebuah produk.[9] Penduduk asli Kepulauan Pasifik telah memanfaatkan gigi hiu sejak lima ribu tahun lalu. Mereka menggunakan gigi hiu sebagai bahan pembuatan perkakas dan senjata.[10] Gigi hiu juga dapat dibuat menjadi perhiasan. Misalnya untuk dijadikan kalung, gelang, anting, cincin dan kancing baju.[11] Gigi hiu juga memiliki nilai ekonomis sebagai cendera mata.[12]

Gigi hiu menjadi satu-satunya bagian tubuh hiu yang tertinggal ketika menjadi fosil. Ini menandakan bahwa gigi hiu mampu mengalami fosilisasi dan berbeda dengan bagian tubuh hiu lainnya yang merupakan tulang rawan.[13] Penemuan fosil gigi hiu pertama kali pada tahun 1666 di sebuah bebatuan di Italia. Gigi hiu yang pertama kali ditemukan diberi nama batu lidah. Penamaan ini oleh ilmuwan asal Denmark yang bernama Niels Stensen (1638–1686). Ia menamainya demikian karena ketika pertama kali ditemukan, bentuk gigi hiu menyerupai batu. Ia kemudian mengadakan penelitian untuk menjelaskan perbedaan antara fosil gigi hiu tersebut dengan gigi hiu pada masa hidupnya. Ia menyimpulkan bahwa gigi hiu tersebut berasal dari spesies hiu yang telah punah. Alasannya adalah penemuan batu lidah di daratan. Sehingga ia berpendapat bahwa spesies hiu yang memiliki gigi tersebut hidup ketika wilayah daratan masih tertutupi oleh laut.[14]

Referensi

sunting
  1. ^ a b c d Taylor 2020, hlm. 45.
  2. ^ Morgan, Sally (2007). Andarastuti, Tiara D., ed. Hiu. Diterjemahkan oleh Dhyaningrum, Ambhita. Solo: Tiga Serangkai Pustaka Mandiri. hlm. 21. ISBN 979-33-0694-7. Diarsipkan dari versi asli tanggal 2023-08-05. Diakses tanggal 2023-05-01. 
  3. ^ Adib (2020). Hewan Serupa tapi Tidak Sama. Yogyakarta: Laksana. hlm. 53. ISBN 978-602-407-194-3. Diarsipkan dari versi asli tanggal 2023-08-05. Diakses tanggal 2023-05-01. 
  4. ^ Kumala, Farida Nur (2019). Ensiklopedia Hewan (PDF). Kota Malang: Penerbit Ediide Infografika. hlm. 48. ISBN 978-602-50142-9-1. Diarsipkan (PDF) dari versi asli tanggal 2023-01-11. Diakses tanggal 2023-05-01. 
  5. ^ a b c Taylor 2020, hlm. 44.
  6. ^ Seta, Kira (2018). Berkenalan dengan Hewan Herbivor, Karnivor, dan Omnivor. Laksana. hlm. 32. ISBN 978-602-4074-66-1. Diarsipkan dari versi asli tanggal 2023-08-05. Diakses tanggal 2023-05-01. 
  7. ^ Fahmi dan Dharmadi 2013, hlm. 13.
  8. ^ Fauzah, Shafa (2018). Ensiklopedia Fauna Dunia. Laksana. hlm. 62. ISBN 978-602-4073-35-0. Diarsipkan dari versi asli tanggal 2023-08-05. Diakses tanggal 2023-05-01. 
  9. ^ Fahmi dan Dharmadi 2013, hlm. 65.
  10. ^ Taylor 2020, hlm. 310.
  11. ^ Fahmi dan Dharmadi 2013, hlm. 66.
  12. ^ Latuconsina, Husain (Januari 2021). Ekologi Ikan Perairan Tropis: Biodiversitas, Adaptasi, Ancaman dan Pengelolaannya. Sleman: Gadjah Mada University Press. hlm. 195. ISBN 978-602-386-307-5. 
  13. ^ Lestari, P. P., dkk. (2012). Fauna Sangiran Selama 2,4 Juta Tahun Terakhir (PDF). Balai Pelestarian Situs Manusia Purba Sangiran. hlm. 6. Diarsipkan (PDF) dari versi asli tanggal 2023-05-01. Diakses tanggal 2023-05-01. 
  14. ^ Hynes, Margaret (2007). Febiani, T., dan Wardhani, D. K., ed. Seri Pengetahuan Batuan dan Fosil. Diterjemahkan oleh Sabran, Bob. Penerbit Erlangga. hlm. 38. Diarsipkan dari versi asli tanggal 2023-08-05. Diakses tanggal 2023-05-01. 

Daftar pustaka

sunting
  • Taylor, Barbara (2020). Encyclopedia of Sharks [Ensiklopedia Hiu]. Diterjemahkan oleh Dewi, Luh Gede Tri Purwani. Jakarta: PT Elex Media Komputindo. ISBN 978-623-001-686-8.