Kebangkitan Nasional Indonesia

peristiwa sumpah pemuda awal dari kebangkitan nasional Indonesia

Kebangkitan Nasional Indonesia adalah periode pada paruh pertama abad ke-20 di Nusantara (kini Indonesia), ketika rakyat Indonesia mulai menumbuhkan rasa kesadaran nasional sebagai "orang Indonesia".[1] Masa ini ditandai dengan dua peristiwa penting yaitu berdirinya Budi Utomo (20 Mei 1908) dan ikrar Sumpah Pemuda (28 Oktober 1928).[2]

•Untuk mengejar keuntungan ekonomi dan menguasai administrasi wilayah, Belanda menerapkan sistem pemerintahan kolonial pada orang-orang yang sebelumnya tidak memiliki kesamaan identitas politik. Pada awal abad ke-20, Belanda menetapkan batas-batas teritorial di Hindia Belanda, yang menjadi cikal bakal Indonesia modern.

•Pada paruh pertama abad ke-20, muncul sejumlah organisasi kepemimpinan yang baru. Melalui kebijakan Politik Etis, Belanda membantu menciptakan sekelompok orang Indonesia yang terpelajar. Perubahan yang mendalam pada orang-orang Indonesia ini sering disebut sebagai "Kebangkitan Nasional Indonesia". Peristiwa ini bersamaan dengan peningkatan aktivitas politik hingga mencapai puncaknya pada Proklamasi Kemerdekaan Indonesia tanggal 17 Agustus 1945.[1]

•Kebangkitan nasional juga disebabkan oleh masuknya perkembangan pikiran dari kaum muda.

Faktor pendorong

sunting

Secara garis besar, faktor pendorong kebangkitan nasional terbagi menjadi dua, yakni faktor eksternal dan internal. Faktor internal yaitu (1) penderitaan yang berkepanjangan akibat penjajahan; (2) kenangan kejayaan masa lalu, seperti pada masa Kerajaan Sriwijaya atau Majapahit; dan (3) munculnya kaum intelektual yang menjadi pemimpin gerakan. Sedangkan faktor eksternalnya yakni (1) timbulnya paham-paham baru di Eropa dan Amerika seperti nasionalisme, liberalisme, dan sosialisme; (2) munculnya gerakan kebangkitan nasional di Asia seperti Turki Muda, Kongres Nasional India, dan Gandhisme; dan (3) kemenangan Jepang atas Rusia pada perang Jepang-Rusia yang menyadarkan negara-negara di Asia untuk melawan negara barat.[3]

Pendidikan

sunting
 
Siswa sekolah pertanian di Tegalgondo, Jawa Tengah, sekitar tahun 1900–1940.

Pada awal abad ke-20, orang Indonesia yang mengenyam pendidikan tingkat menengah hampir tidak ada dan sejak saat itu, Politik Etis memungkinkan perluasan kesempatan pendidikan menengah bagi penduduk asli Indonesia.[4] Pada tahun 1925, fokus pemerintah kolonial bergeser ke penyediaan pendidikan kejuruan dasar selama tiga tahun.

Pada tahun 1940, lebih dari 2 juta siswa telah bersekolah sehingga tingkat melek huruf meningkat menjadi 6,3 persen yang tercatat dalam sensus tahun 1930. Pendidikan menengah Belanda membuka cakrawala dan peluang baru, dan sangat diminati oleh orang-orang Indonesia.[4]

Pada tahun 1940, antara 65.000 hingga 80.000 siswa Indonesia bersekolah di sekolah dasar Belanda atau sekolah dasar yang didukung Belanda, atau setara dengan 1 persen dari kelompok usia yang sesuai. Di sekitar waktu yang sama, ada 7.000 siswa Indonesia di sekolah menengah menengah Belanda. Sebagian besar siswa sekolah menengah bersekolah di MULO.[4]

Meskipun jumlah siswa yang terdaftar relatif sedikit dibandingkan dengan total kelompok usia sekolah, pendidikan menengah Belanda memiliki kualitas yang tinggi dan sejak tahun 1920-an mulai menghasilkan elit Indonesia terdidik yang baru.

Nasionalisme Indonesia

sunting
 
Delegasi yang hadir pada Sumpah Pemuda, yang menyepakati kerangka kerja Indonesia, terutama bahasa nasional yang sama.
 
Anggota Partai Nasional Indonesia, salah satu organisasi utama yang pro-kemerdekaan.

Penerapan Politik Etis pada bidang pendidikan tidak memberikan kesempatan pendidikan yang luas kepada penduduk Hindia Belanda, tetapi hanya memberikan pendidikan Belanda untuk anak-anak elit pribumi. Sebagian besar pendidikan dimaksudkan untuk menyediakan tenaga kerja klerikal untuk birokrasi kolonial yang sedang tumbuh. Meskipun demikian, pendidikan Barat membawa serta ide-ide politik Barat tentang kebebasan dan demokrasi. Selama dekade 1920-an dan 30-an, kelompok elit hasil pendidikan ini mulai menyuarakan kebangkitan anti-kolonialisme dan kesadaran nasional.

Pada periode ini, partai politik Indonesia mulai bermunculan. Berdirinya Budi Utomo pada 20 Mei 1908 oleh Dr. Soetomo dinilai sebagai awal gerakan untuk mencapai kemerdekaan Indonesia. Tanggal berdirinya Budi Utomo diperingati sebagai Hari Kebangkitan Nasional. Namun, penetapan waktu tersebut masih mengundang diskusi yang menimbulkan polemik.[5][6] Dasar pemilihan Budi Utomo sebagai pelopor kebangkitan nasional dipertanyakan lantaran keanggotaan Budi Utomo masih sebatas etnis dan teritorial Jawa. Kebangkitan nasional dianggap lebih terwakili oleh Sarekat Islam, yang mempunyai anggota di seluruh Hindia Belanda.[7][8]

Pada tahun 1912, Ernest Douwes Dekker bersama Cipto Mangunkusumo dan Suwardi Suryaningrat mendirikan Indische Partij (Partai Hindia).[9] Pada tahun itu juga, Sarekat Dagang Islam yang didirikan Haji Samanhudi bertransformasi dari koperasi pedagang batik menjadi organisasi politik.[10] Selain itu, K.H. Ahmad Dahlan mendirikan Muhammadiyah, organisasi yang bersifat sosial dan bergerak di bidang pendidikan.[11]

Pada November 1913, Suwardi Suryaningrat membentuk Komite Boemi Poetera. Komite tersebut melancarkan kritik terhadap Pemerintah Belanda yang bermaksud merayakan seratus tahun bebasnya negeri Belanda dari penjajahan Prancis, tetapi dengan pesta perayaan yang biayanya berasal dari negeri jajahannya. Ia pun menulis "Als ik eens Nederlander was" ("Seandainya aku seorang Belanda") yang dimuat dalam surat kabar de Expresm milik Douwes Dekker. Karena tulisan inilah Suwardi Suryaningrat dihukum buang oleh pemerintah kolonial Belanda.[12]

Sementara itu, Partai Komunis Indonesia (PKI), yang dibentuk pada tahun 1920, adalah partai yang memperjuangkan kemerdekaan yang sepenuhnya diinspirasi oleh politik Eropa. Pada tahun 1926, PKI mencoba melakukan revolusi melalui pemberontakan yang membuat panik Belanda, yang kemudian menangkap dan mengasingkan ribuan kaum komunis sehingga secara efektif menetralkan PKI selama sisa masa pendudukan Belanda.

Pada 4 Juli 1927, Sukarno dan Algemeene Studieclub memprakarsai berdirinya Perserikatan Nasional Indonesia sebagai partai politik baru. Pada Mei 1928, nama partai ini diubah menjadi Partai Nasional Indonesia. Menurut sejarawan M.C. Ricklefs, ini merupakan partai politik penting pertama yang beranggotakan etnis Indonesia, semata-mata mencita-citakan kemerdekaan politik.[13]

Pada tanggal 28 Oktober 1928, Kongres Pemuda mendeklarasikan Sumpah Pemuda, yang menetapkan tujuan nasionalis: "satu tumpah darah — Indonesia, satu bangsa — Indonesia, dan satu bahasa — Indonesia".

Represi terhadap nasionalisme Indonesia

sunting

Kebebasan politik di bawah Belanda cukup dibatasi. Walaupun tujuan Belanda untuk "membudayakan" dan "memodernisasi" masyarakat Hindia Belanda terkadang memberi toleransi terhadap organisasi dan publikasi media dari orang Indonesia asli, Belanda juga sangat membatasi konten dari aktivitas-aktivitas ini.

Seperti terhadap banyak pemimpin sebelumnya, pemerintah Belanda menangkap Sukarno pada tahun 1929[14] serta melarang PNI. Pemerintah kolonial Belanda menekan banyak organisasi berbasis nasionalisme dan memenjarakan sejumlah pemimpin politik. Meskipun Belanda tidak dapat sepenuhnya membungkam suara-suara lokal yang menuntut perubahan, mereka berhasil mencegah agitasi secara luas. Walaupun sentimen nasionalisme tetap tinggi pada tahun 1930-an, gerakan-gerakan nyata untuk memperjuangkan kemerdekaan tetap tertahan. Pada akhirnya, Perang Dunia II membuat berbagai perubahan dramatis pada kekuatan politik dunia yang juga memengaruhi Hindia Belanda.

Berakhirnya pemerintahan kolonial

sunting

Seiring dengan Perang Dunia II, nasib politik Hindia Belanda menjadi tidak jelas. Sebagai penguasa, Belanda mendapati negara mereka diduduki oleh Jerman Nazi pada Mei 1940. Dengan didudukinya negara mereka oleh pihak asing, Belanda berada dalam posisi yang lemah untuk mempertahankan kekuasaan mereka di Hindia Belanda. Namun, pemerintah kolonial bertekad untuk melanjutkan kekuasaannya atas Nusantara.

Pada awal 1942, Kekaisaran Jepang menginvasi Hindia Belanda. Belanda hanya memiliki sedikit kemampuan untuk mempertahankan koloninya dari tentara Kekaisaran Jepang dan pasukan Belanda dikalahkan dalam waktu sebulan—yang mengakhiri kekuasaan kolonial Belanda di Nusantara.

Proklamasi 23 Januari 1942

sunting

Dengan semakin lemahnya posisi penjajah Belanda di Indonesia dan sebelum masuknya Jepang ke Nusantara, kemudian dimanfaatkan oleh masyarakat Gorontalo dalam memerdekakan diri dari belenggu penjajahan. Dalam catatan sejarah, momentum perjuangan rakyat Gorontalo dalam memproklamasikan kemerdekaan Indonesia dilaksanakan pada tanggal 23 Januari 1942 yang kemudian dikenal sebagai Hari Patriotik 23 Januari 1942 atau Hari Proklamasi Gorontalo.[15][16] Proklamasi ini terjadi lebih awal 3 (tiga) tahun daripada Proklamasi Kemerdekaan Indonesia oleh Soekarno dan Moh. Hatta di Jakarta pada tahun 1945.[17]

 
Proklamasi Kemerdekaan Indonesia di Gorontalo pada tanggal 23 Januari 1942 dibacakan oleh Pahlawan Nasional Nani Wartabone di depan Kantor Pos, Kota Gorontalo.

Proklamasi Kemerdekaan Indonesia di Gorontalo menjadi katalisator tersendiri dalam sejarah perjuangan kemerdekaan karena menjadi salah satu daerah paling awal yang bebas merdeka dan mengakui kedaulatan Negara Republik Indonesia. Proklamasi 23 Januari 1942 dibacakan oleh Nani Wartabone dan didampingi oleh Kusno Danupoyo.[18] Keduanya dikenal oleh rakyat Gorontalo sebagai "Dwi Tunggal" dari tanah Sulawesi. Proklamasi kemerdekaan mengambil tempat di halaman Kantor Pos Gorontalo, diikuti oleh pengibaran bendera merah putih sekitar pukul 10 pagi waktu setempat serta menyanyikan lagu Indonesia Raya.

Adapun naskah proklamasi kemerdekaan yang dibacakan pada hari tersebut adalah sebagai berikut:[19][20]

“Pada hari ini tanggal 23 Januari 1942,

kita bangsa Indonesia yang berada di sini sudah merdeka

bebas lepas dari penjajahan bangsa manapun juga.

Bendera kita yaitu Merah-Putih,

lagu kebangsaan adalah Indonesia Raya.

Pemerintahan Belanda sudah diambil alih oleh Pemerintah Nasional.

Mari kita menjaga keamanan dan ketertiban”.

Peristiwa proklamasi Indonesia di Gorontalo ini kemudian menjadi salah satu pemantik semangat pergerakan kemerdekaan diantara para tokoh pejuang nasional seperti Bung Karno dan Bung Hatta.

Revolusi Nasional

sunting

Masa pendudukan Jepang di Nusantara selama tiga tahun berikutnya membawa begitu banyak perubahan sehingga Revolusi Nasional Indonesia dimungkinkan.[21]

Setelah Jepang menyerah kepada Blok Sekutu pada tahun 1945, Belanda berusaha untuk melanjutkan kendali kolonial mereka atas Hindia Belanda. Untuk tujuan ini, Belanda memperoleh dukungan militer dari Inggris sehingga terjadi pertempuran berdarah di Jawa untuk memulihkan kekuasaan Belanda. Meskipun mengalami kerugian besar, kaum nasionalis Indonesia tidak bisa dihalangi. Pada tahun 1945, gagasan tentang "Indonesia" tampaknya tidak dapat ditolak.

Peringatan

sunting
 
Peringatan 20 Tahun Hari Kebangkitan Nasional di Yogyakarta, 20 Mei 1948

Sejak 1959, tanggal 20 Mei ditetapkan sebagai Hari Kebangkitan Nasional, disingkat Harkitnas, yaitu hari nasional yang bukan hari libur yang ditetapkan oleh pemerintah Indonesia melalui Keputusan Presiden Nomor 316 Tahun 1959 tanggal 16 Desember 1959 untuk memperingati peristiwa Kebangkitan Nasional Indonesia.

Galeri

sunting

Referensi

sunting

Catatan kaki

sunting
  1. ^ a b Ricklefs (1991), hlm. 163-164.
  2. ^ Hannigan 2015, hlm. 176.
  3. ^ "Faktor Pendorong Munculnya Pergerakan Nasional". Kompas. 11 Februari 2020. 
  4. ^ a b c Reid (1974), hlm. 2-3.
  5. ^ Akira Nagazumi (1989). Bangkitnya nasionalisme Indonesia: Budi Utomo, 1908-1918. Grafitipers. hlm. v. ISBN 978-979-444-066-7. 
  6. ^ "Kebangkitan Nasional". Republika Online. 2015-05-20. Diakses tanggal 2020-08-30. 
  7. ^ Wildan Sena Utama. "110 Tahun Boedi Oetomo: Bukan Satu-Satunya Pelopor Kebangkitan". tirto.id. Diakses tanggal 2020-08-30. 
  8. ^ Valina Singka Subekti (2014). Partai Syarikat Islam Indonesia: Konstestasi Politik hingga Konflik Kekuasaan Elite. Yayasan Pustaka Obor Indonesia. hlm. 1–2. ISBN 978-979-461-859-2. 
  9. ^ "Indo yang Jadi Menteri". Historia - Majalah Sejarah Populer Pertama di Indonesia. Diakses tanggal 2020-08-30. 
  10. ^ M. Fuad Nasar (2017). Islam dan Muslim di Negara Pancasila. Gre Publishing. hlm. 2–3. ISBN 978-602-7677-24-1. 
  11. ^ M. Nasruddin Anshoriy Ch (2010). Matahari pembaruan: rekam jejak K.H. Ahmad Dahlan. Galangpress Group. hlm. 56–57. ISBN 978-602-97032-1-4. 
  12. ^ Anshoriy,Ch, HM Nasruddin (2008-01-01). Rekam Jejak ; Dokter Pejuang & Pelopor Kebangkitan Nasional. Lkis Pelangi Aksara. ISBN 978-979-1283-61-8. 
  13. ^ Merle Calvin Ricklefs (2008). Sejarah Indonesia Modern 1200–2008. Penerbit Serambi. hlm. 392–393. ISBN 978-979-024-115-2. 
  14. ^ Ricklefs (1991), hlm. 185.
  15. ^ Marunduh, S. U. (1988). Peristiwa Merah Putih 23 Januari 1942 di Daerah Gorontalo. Fakultas Sastra, Universitas Sam Ratulangi.
  16. ^ Wartabone;, Nani (2004). 23 januari 1942 dan Nasionalisme (dalam bahasa Indonesia). Dinas Pendidikan dan Kebudayaan Kota Gorontalo. 
  17. ^ Media, Kompas Cyber (2022-08-16). "Inilah Deklarasi Kemerdekaan Indonesia di Gorontalo yang Diumumkan Sebelum 17 Agustus 1945 Halaman all". KOMPAS.com. Diakses tanggal 2022-12-05. 
  18. ^ Al-Rasyid, H. H., & Saprillah, S. (2018). The Nationality Movement in Gorontalo. Analisa: Journal of Social Science and Religion, 3(02), 279-295.
  19. ^ Damis, M. (2019). Daerah Gorontalo Dalam Perubahan Politik Nasional. HOLISTIK, Journal Of Social and Culture.
  20. ^ Moo, I. (1976). Sejarah 23 Januari 1942 di Gorontalo. Jakarta: Yayasan, 23.
  21. ^ Ricklefs (1991), hlm. 199.

Daftar pustaka

sunting