Gerakan antiglobalisasi

Gerakan politik di seluruh dunia melawan perusahaan multinasional

Gerakan anti-globalisasi atau gerakan kontra-globalisasi[1] adalah gerakan sosial yang kritis terhadap globalisasi kapitalisme perusahaan. Gerakan ini sering dikaitkan dengan gerakan keadilan global,[2] gerakan alter-globalisasi, gerakan anti-globalis, gerakan globalisasi anti-perusahaan,[3] atau gerakan melawan globalisasi neoliberal.

Ribuan orang berkumpul dalam unjuk rasa di Warsawa, Polandia, ketika negara tersebut bersiap-siap bergabung dengan Uni Eropa tahun 2004.

Para aktivis anti-globalisasi melontarkan kritiknya berdasarkan sejumlah pemikiran terkait.[4] Aktivis pada umumnya menentang perusahaan multinasional besar yang memiliki kekuasaan politik tak terbatas; kekuasaan politik tersebut dimanfaatkan melalui perjanjian perdagangan dan pasar keuangan yang minim intervensi pemerintah. Lebih rincinya, perusahaan dituduh memaksimalkan laba dengan mengorbankan standar keselamatan kerja, standar perekrutan dan upah tenaga kerja, prinsip konservasi lingkungan, dan integritas kewenangan legislatif, kemerdekaan, dan kedaulatan negara. Sejumlah pengamat menyebut perubahan drastis ekonomi global sebagai "turbo-kapitalisme" (Edward Luttwak), "fundamentalisme pasar" (George Soros), "kapitalisme kasino" (Susan Strange),[5] dan "McWorld" (Benjamin Barber).

Banyak aktivis anti-globalisasi menuntut integrasi global yang memberikan perwakilan demokratis, memajukan hak asasi manusia, perdagangan adil, dan pembangunan berkelanjutan sehingga mereka merasa istilah "anti-globalisasi" sangat meleset.[6][7][8]

Ideologi dan tema perjuangan dalam gerakan ini

sunting
 

Gerakan antiglobalisasi berkembang pada akhir abad ke-20 untuk melawan globalisasi aktivitas ekonomi korporasi dan perdagangan bebas dengan negara-negara berkembang yang dapat ditimbulkan oleh aktivitas tersebut.

Para anggota gerakan anti-globalisasi ini biasanya mendukung alternatif-alternatif sosialis atau sosial demokrat terhadap ekonomi kapitalis, dan berusaha melindungi penduduk dunia dan lingkungan hidup dari apa yang mereka yakini sebagai dampak globalisasi yang merusak. Dukungan untuk LSM hak asasi manusia adalah batu penjuru yang lain dari agenda gerakan anti-globalisasi. Mereka mendukung hak-hak buruh, gerakan untuk pelestarian lingkungan hidup, feminisme, kebebasan untuk migrasi, pelestarian budaya masyarakat adat, keanekaragaman hayati, keanekaragaman budaya, keamanan makanan, dan mengakhiri atau memperbarui kapitalisme. Banyak dari para penentang antiglobalisasi ini adalah veteran dalam kampanye-kampanye dengan tema tunggal, termasuk aktivis anti penebangan liar, upah yang layak, mengorganisasi serikat buruh, dan kampanye anti-pabrik garmen biaya rendah. Meskipun kebanyakan anggota gerakan menganggap kebanyakan atau semua tujuan yang disebut di atas saling melengkapi yang lainnya, sejumlah masalah (dan kadang-kadang masalah yang kontradiktif) telah membangkitkan kritik bahwa gerakan ini tidak memiliki tema perjuangan yang konsisten, utuh, atau realistik.

Meskipun para pendukung gerakan ini sering bekerja bersama-sama, gerakan itu sendiri heterogen. Ia mencakup pemahaman yang berbeda-beda dan kadang-kadang malah saling berlawanan tentang proses globalisas, dan memadukan visi-visi, strategi, dan taktik alternatif. Banyak dari kelompok dan organisasi ini yang dianggap sebagaib agian dari gerakan ini tidak dibentuk sebagai antiglobalis, tetapi mempunyai akar dalam berbagai gerakan-gerakan sosial dan politk yang telah ada sebelumnya (kecuali mungkin ATTAC). Pendahulu gerakan antiglobalisasi ini adalah gerakan 1968 di Eropa dan protes melawan Perang Vietnam di Amerika Serikat. Gerakan antiglobalisasi seperti yang dikenal sekarang berasal dari bertemunya berbagai pengalaman politik ini ketika para anggotanya mulai melakukan unjuk rasa bersama pada pertemuan-pertemuan internasional seperti pertemuan WTO 1999 di Seattle atau Pertemuan Puncak Genoa G/8

Oposisi terhadap lembaga keuangan internasional dan perusahaan transnasional

sunting
 

Pada umumnya, para pengunjuk rasa percaya bahwa lembaga-lembaga keuangan internasional dan perjanjian-perjanjian internasional merusakkan metode-metode pengambilan keputusan lokal. Banyak pemerintah dan lembaga-lembaga perdagangan bebas yang dilihat bertindak untuk kebaikan perusahaan-perusahaan transnasional (atau multinasional) (misalnya Microsoft dan Monsanto). Perusahaan-perusahaan ini dianggap mempunyai hak-hak istimewa yang tidak dimiliki oleh kebanyakan manusia: bergerak bebas melintasi perbatasan, menggali sumber-sumber alam yang diingini, dan memanfaatkan keanekaragaman sumber-sumber manusia. Mereka dianggap mampu bergerak terus setelah melakukan kerusakan yang permanen terhadap modal alam dan keanekaragaman hayati suatu negara, dalam cara yang tidak mungkin dilakukan oleh warganegara di tempat itu. Para aktivis juga mengklaim bahwa perusahaan-perusahaan itu memaksakan suatu "monokultur global". Karenanya, tujuan bersama dari sebagian gerakan itu adalah mengakhiri status hukum perusahaan-perusahaan itu sebagai subyek hukum dan pembubaran atau pembaruan dramatis atas Bank Dunia, IMF, dan WTO.

Para aktivis secara khusus menggugat apa yang mereka lihat sebagai "penyalahgunaan globalisasi" dan institusi-institusi internasional yang dirasa mempromosikan neoliberalisme tanpa rasa hormat terhadap standart adat. Target umum meliputi Bank Dunia, Dana Moneter Internasional (IMF), Organisation for Economic Co-operation and Development (OECD) dan Organisasi Perdagangan Dunia (WTO) serta perjanjian "pasar bebas" seperti NAFTA, FTAA, Multilateral Agreement on Investment (MAI) dan GATS. Mengingat kesenjangan ekonomi antara negara-negara kaya dan miskin, penganut gerakan ini mengklaim bahwa "pasar bebas" sesungguhnya akan menyebabkan bertambahnya kekuasaan negara-negara industri (sering diistilahkan sebagai "Utara" sebagai tandingan "Selatan" yang terdiri atas negara-negara berkembang).

Para aktivis juga sering menentang aliansi bisnis seperti Forum Ekonomi Dunia (WEF), Trans Atlantic Business Dialogue (TABD) dan Asia Pacific Economic Cooperation (APEC), maupun pemerintah-pemerintah yang mempromosikan persetujuan-persetujuan atau institusi-institusi seperti itu. Yang lainnya berpendapat bahwa, jika perbatasan dibuka bagi modal, perbatasan pun harus dibuka dengan cara yang sama untuk memungkinkan para migran dan pengungsi secara bebas serta berpindah-pindah dan memilih tempat tinggalnya. Para aktivis seperti ini cenderung menjadikan sasaran organisasi-orgasisasi seperti International Organization for Migration dan Schengen Information System.

Terkadang ada juga argumentasi bahwa AS mempunyai keuntungan khusus dalam ekonomi global karena hegemoni dolar. Klaim ini menyatakan bahwa dominasi dolar bukanlah semata-mata konsekuensi dari keunggulan ekonomi AS. Sejarahwan globalisasi mengakui bahwa dominasi dolar juga didapat melalui kesepakatan politis seperti Bretton Woods System dan pedagangan minyak OPEC hanya dalam dolar, setelah AS meninggalkan standar emas dan menggantikannya dengan dollar.

Antiglobalisasi sebagai Antineoliberalisme

sunting

Banyak pihak melihat gerakan ini sebagai tanggapan kritis terhadap pengembangan neoliberalisme, yang secara luas dianggap telah dimulai oleh kebijakan Margaret Thatcher dan Ronald Reagan menuju kapitalisme laissez faire pada tingkat global dengan mengembangkan privatisasi ekonomi negara-negara dan melemahkan peraturan perdagangan dan bisnis. Para penganjur neoliberal berpendapat bahwa peningkatan perdagangan bebas dan pengurangan sektor publik akan membawa manfaat bagi negara-negara miskin dan kepada orang-orang yang miskin di negara-negara kaya. Kebanyakan pendukung antiglobalisasi sangat tidak sependapat, dan menambahkan bahwa kebijakan neoliberal dapat menyebabkan hilangnya kedaulatan lembaga-lembaga demokratis.

Pengembangan "antiperang"

sunting

Pada 2003, banyak bagian dari gerakan ini yang menunjukkan perlawanan luas terhadap perang Irak 2003. Banyak dari mereka bergabung dengan sekitar 10 juta atau lebih pengunjuk rasa dalam protes global anti perang Irak pada akhir pekan tanggal 15 Februari. Sebuah editorial New York Times menyebutnya sebagai "adikuasa kedua dunia". Pertemuan pencinta damai lainnya telah diorganisir gerakan antiglobalisasi dalam cara yang sama. Misalnya demonstrasi besar anti perang Irak yang terjadi di Forum Sosial Eropa pada November 2002 di Florence, Italia.

Kaum militan anti-globalisasi khawatir akan berfungsinya lemaga-lembaga demokratis sebagaimana mestinya, ketika para pemimpin dari banyak negara-negara demokratis (Spanyol, Italia, Polandia) bertindak melawan keinginan mayoritas rakyat mereka dengan mendukung peperangan. Noam Chomsky memaparkan bahwa para pemimpin ini "menghina demokrasi". Para pengkritik argumentasi seperti ini cenderung menunjuk bahwa ini adalah kritik yang lazim dalam demokrasi perwakilan — suatu pemerintahan yang terpilih tidak akan selalu bertindak searah dengan pendukung publik terbesar — dan karena itu, posisi para pemimpin itu tidak berarti tidak konsisten, karena memang negara-negara ini menganut sistem demokrasi parlementer.

Dalam pandangan banyak orang di dalam gerakan ini, isu-isu ekonomi erat terkait dengan isu-isu militer.

Ketepatan istilah

sunting

Banyak pihak mempertimbangkan istilah "antiglobalisasi" tidak tepat, dan istilah itu telah digunakan untuk kritik yang tidak akurat bagi gerakan ini. Misalnya, mereka mengatakan istilah ini menyiratkan suatu perspektif negatif bahwa gerakan ini hanya membela proteksionisme atau bahkan nasionalisme. Kenyataannya, demikian kata mereka, gerakan ini sesungguhnya secara sadar bersifat internasionalis, mengorganisir serentak dan memihak orang-orang tertindas di seluruh dunia. Satu unsur yang ikut membentuk gerakan ini adalah Jaringan Tanpa Perbatasan, yang berjuang untuk migrasi yang tidak terbatas dan penghapusan semua perbatasan nasional.

Sementara istilah "antiglobalisasi" muncul dari perlawanan gerakan ini terhadap perjanjian-perjanjian pasar bebas (yang sering dianggap sebagai bagian dari apa yang disebut "globalisasi"), banyak peserta yang berpendapat bahwa mereka menentang hanya aspek-aspek tertentu saja dari globalisasi dan sebaliknya menyebut diri mereka sebagai "anti-kapitalis", "antiplutokrasi", atau "antikorporasi".

Dua pendekatan utama untuk mendapatkan sebuah istilah umum bagi gerakan ini dapat dibedakan menjadi: gerakan yang dapat digambarkan sebagai antiglobalis atau regionalis, atau gerakan yang memeluk beberapa aspek globalisasi (seperti pertukaran informasi antar budaya atau pengurangan peran negara kebangsaan) sementara menolak yang lainnya (misalnya ekonomi neoliberal).

Sementara pendukung kedua pendekatan itu sering beerja sama dan menjadi sebuah reaksi terhadap fenomena yang sama, perbedaan mereka bisa jadi lebih besar dari landasan bersama mereka. Pendekatan gerakan yang pertama dapat digambarkan sebagai antiglobalis total (pada umumnya termasuk apa yang dianggap sebagai "Amerikanisasi" kebudayaan), sementara pendekatan yang kedua lebih tepat disebut "kritikus globalisasi". Namun pada praktiknya, tidak ada batasan yang jelas antara kedua pendekatan ini, dan istilah "anti globalisasi" sering digunakan tanpa peduli terhadap perbedaan-perbedaan dari keduanya.

Keprihatinan lain dari sejumlah aktivis tentang istilah "antiglobalisasi" adalah bahwa istilah itu tidak membedakan posisi mereka dari perlawanan yang bersifat nasionalis semata-mata terhadap globalisasi. Banyak gerakan nasionalis seperti Front Nasional Prancis yang juga menentang globalisasi, tapi berpendapat bahwa alternatif bagi globalisasi adalah perlindungan terhadap negara kebangsaan, kadang-kadang dengan pengertian-pengertian yang jelas-jelas rasis atau fasis. Beberapa kelompok fasis yang dipengaruhi oleh Posisi Ketiga telah berusaha menyesuaikan pesan mereka agar memikat gerakan antiglobalisasi. Namun gerakan ekstrem kanan ini ditolak mentah-mentah oleh gerakan antiglobalisasi, ditandai dengan Peoples Global Action yang dengan tegas menolak rasisme, dan banyak di dalam gerakan yang juga aktif dalam kelompok anti-fasis seperti ANTIFA.

Pengaruh gerakan antiglobalisasi

sunting

Beberapa tulisan kritis yang berpengaruh telah mengilhami gerakan antiglobalisasi. No Logo, buku karangan wartawan Kanada, Naomi Klein, yang mengkritik praktik produksi perusahaan-perusahaan multinasional dan kehadiran pemasarannya yang didorong oleh merek di mana-mana dalam budaya populer, telah menjadi sebuah "manifesto" dari gerakan ini, menyajikan dalam cara yang sederhana tema-tema yang dengan lebih akurat telah dikembangkan dalam tulisan-tulisan yang lain. Di India, beberapa acuan intelektual dari gerakan ini dapat ditemukan pada tulisan-tulisan Vandhana Shiva, seorang ahli lingkungan hidup dan feminis, yang dalam bukunya Biopiracy mendokumentasikan bagaimana kapital alam masyarakat pribumi dan ecoregion telah diubah ke dalam bentuk-bentuk kapital intelektual, yang kemudian diakui sebagai properti komersial tanpa membagikan manfaat pribadi yang telah diperolehnya dengan asalnya. Penulis Arundhati Roy terkenal dengan aktivitas dan posisi anti-nuklirnya menentang proyek bendungan pembangkit tenaga listrik raksasa di India yang disponsori oleh Bank Dunia. Di Prancis majalah bulanan terkenal Le Monde Diplomatique mendukung perjuangan anti-globalisasi dan sebuah editorial yang dituliso oleh salah seorang direkturnya, Ignacio Ramonet menghasilkan dasar bagi pembentukan ATTAC. Tulisan-tulisan dari Jean Ziegler dan Immanuel Wallerstein memberikan rincian mengenai keterbelakangan dan ketergantungan dunia yang dikuasai oleh sistem kapitalis. Tradisi pasifis dan anti-imperialis sudah betul-betul memengaruhi gerakan ini. Para pengecam kebijakan luar negeri AS seperti Noam Chomsky, dan almarhumah Susan Sontag, serta perusak komputer anti-globalis The Yes Men telah secara luas diterima di dalam gerakan.

Walaupun mereka mungkin tidak menyebut diri mereka sebagai antiglobalis dan kenyataannya adalah pro-kapitalisme, beberapa ekonom yang tidak sepakat dengan pendekatan neoliberal terhadap lembaga-lembaga ekonomi internasional sudah sangat memengaruhi gerakan ini. Development as Freedom karangan Amartya Sen (pemenang penghargaan Nobel dalam Ilmu Ekonomi) berpendapat bahwa pembangunan negara dunia ketiga harus dipahami sebagai perluasan kemampuan manusia, bukan semata-mata sebagai peningkatan pendapatan perkapita nasional, dan oleh sebab itu memerlukan kebijakan-kebijakan yang juga mempertimbangkan kesehatan dan pendidikan, tidak hanya PDB. Usul penerima Penghargaan Nobel dalam Ilmu Ekonomi, James Tobin, untuk mengenakan pajak terhadap transaksi finansial (kemudian dikenal dengan Pajak Tobin) telah menjadi bagian dari agenda gerakan.

George Soros, Joseph E. Stiglitz (peraih Nobel lainnya, pernah menjabat di Bank Dunia, penulis Globalization and Its Discontents) dan David Korten telah membuat argumen untuk meningkatkan transparansi secara drastis, untuk penghapusan utang, reformasi agraria, dan restrukturisasi sistem pertanggung jawaban perusahaan. Sumbangan Korten dan Stiglitz terhadap gerakan ini termasuk ikut serta dalam aksi langsung dan protes jalanan.

Beberapa negara Katolik Roma seperti Italia dirasakan pula pengaruh peranan agama, terutama dari para misionaris yang lama tinggal di Dunia Ketiga (yang paling terkenal adalah Alex Zanotelli). Pertemuan antara tradisi ini dan tradisi pasca-komunis sering dirasa aneh, tetapi tidak sepenuhnya berselisih.

Sumber Internet dan situs web yang memberikan informasi bebas, seperti Indymedia, adalah sarana penyebaran gagasan bagi gerakan ini. Kumpulan materi-materi yang luas tentang gerakan spiritual, anarkisme, sosialisme libertarian, dan Gerakan Hijau yang sekarang tersedia di Internet mungkin lebih berpengaruh daripada buku cetakan. Tulisan-tulisan Arundhati Roy, Starhawk, dan John Zerzan, khususnya, yang mulanya tidak dikenal, telah mengilhami kritik yang membela feminisme, proses konsensus dan pemisahan diri politik.

Organisasi

sunting

Walaupun tahun-tahun sebelumnya penekanan lebih telah diberikan untuk alternatif kontruksi akar rumput bagi globalisasi (kapitalis), gerakan ini semakin besar dan terbuka dalam mengorganisir massa pendukung dengan kampanye luas untuk aksi-aksi langsung dan pembangkangan sipil. Model pengorganisiran seperti ini, kadang-kadang dibawah jaringan Peoples' Global Action, berusaha menyatukan berbagai kasus berbeda untuk bergabung bersama dalam satu perjuangan global.

Dalam beberapa hal, proses pengorganisiran dapat menjadi lebih penting bagi para aktivis, dibandingkan dengan gol atau pencapaian bagi komponen-komponen dalam gerakan.

Pada pertemuan-pertemuan korporasi, tujuan yang dinyatakan oleh kebanyakan demonstran adalah untuk menghentikan cara-cara bekerja korporasi. Walaupun demonstrasi jarang sekali berhasil lebih dari menunda atau mengganggu pertemuan-pertemuan itu, hal ini memotivasi mobilisasi dan memberikan mereka sebuah pandangan tujuan jangka pendek. Walau tidak didukung oleh banyak pihak di gerakan, bentrokan tetap terjadi di Genoa, Seattle, dan London dan kerusakan yang besar dapat terjadi di wilayah tersebut, terutama target "kapitalis" seperti restoran McDonalds.

Karena tidak adanya badan resmi yang mengkoordinir, justru gerakan ini berhasil melaksanakan protes-protes besar dalam sebuah basis global, menggunakan teknologi informasi untuk menyebarkan informasi dan mengatur gerakan. Pengunjuk rasa mengatur diri mereka sendiri dalam "kelompok kecil" (affinity groups), dengan ciri khas sebagai kelompok-kelompok tanpa hierarki dengan orang-orang dekat dan berbagi suatu tujuan politis umum. Kelompok-kelompok kecil ini kemudian akan mengirimkan wakilnya ke pertemuan perencanaan. Bagaimanapun juga, karena kelompok-kelompok kecil ini masik dapat disusupi aparat intelijen, rencana yang penting dari aksi protes sering tidak dibuat sampai menit terakhir. Salah satu taktik yang umum digunakan dalam aksi protes adalah memecah dengan kesadaran untuk melawan hukum. Ini dirancang, dengan berbagai keberhasilan, untuk melindungi risiko secara fisik dan ancaman hukum akibat konfrontasi dengan aparat.

Sebagai contoh, di Praha sepanjang protes anti IMF dan World Bank pada September 2000, pengunjuk rasa memecah menjadi tiga kelompok yang terpisah, mendekata pusat konferensi dari tiga penjuru: satu dengan berbagai bentuk pembangkangan sipil (pawai gerakan Kuning), satu (pawai gerakan Pink/Silver) dengan "tactical frivolity" (kostum, tarian, teater, musik, dan seni) dan satu lagi (gerakan Biru) tergabung dalam konflik kekerasan dengan polisi yang dipersenjatai, di mana pengunjuk rasa melemparkan batu-batu kerikil yang didapat dari jalanan. [1] Diarsipkan 2008-07-20 di Wayback Machine.

Demonstrasi-demonstrasi ini tumbuh menjadi sebuah masyarakat kecil. Banyak pengunjuk rasa mengambil pelatihan pertolongan pertama dan bertindak sebagai medis bagi pengunjuk rasa lainnya yang terluka. Beberapa organisasi seperti National Lawyer's Guild dan ACLU menyediakan bantuan hukum bila terjadi konfrontasi dengan aparat. Pengunjuk rasa mengaku bahwa media-media massa besar tidak sungguh-sungguh melakukan liputan, oleh karena itu, sebagian dari mereka kemudian mendirikan Independent Media Center, sebuah kolektif pengunjuk rasa yang dapat meliput berita saat aksi sedang berlangsung.

Demonstrasi dan Pertemuan

sunting

Salah satu protes Antiglobalisasi berskala internasional pertama yang diorganisir di belasan kota di seluruh dunia pada 18 Juni 1999, terutama London, Inggris dan Eugene, Oregon. Protes di Eugene, Oregon berubah menjadi kekacauan ketika kelompok anarkis lokal menggiring polisi keluar dari sebuah taman kecil. Seorang anarkis, Robert Thaxton ditangkap dan dihukum karena melemparkan batu ke arah polisi.

Seattle/N30

sunting

Mobilisasi besar yang kedua dari gerakan ini, dikenal sebagai N30, terjadi pada 30 November 1999, ketika para pengunjuk rasa menutup pintu masuk delegasi menuju pertemuan WTO di Seattle, Amerika Serikat. Pengunjuk rasa memaksakan pembatalan upacara pembukaan dan terus bertahan sepanjang pertemuan sampai 3 Desember. Sebuah aksi besar diizinkan, dilakukan oleh anggota AFL-CIO, dan aksi besar lainnya yang tanpa izin terbagi dalam berbagai kelompok. Para pengunjuk rasa dan polisi anti huru-hara Seattle bentrok di jalan-jalan setelah polisi menembakkan gas air mata pada pengunjuk rasa yang menutup jalan. Lebih dari 600 pengunjuk rasa telah ditangkap dan puluhan terluka.

Tiga orang polisi terluka oleh tembakan sesama polisi, dan satu orang terkena lemparan batu. Kaum anarkhis Black Bloc menghancurkan jendela toko dari bisnis yang dimiliki atau yang merupakan waralaba dari perusahaan-perusahaan sasaran seperti sebuah toko besar Nike dan beberapa jendela Starbucks. Wali Kota kemudian menempatkan kota besar itu dalam apa yang setara dengan undang-undang darurat dan mengumumkan jam malam. Sejak 2002, kota Seattle telah membayar lebih dari $200.000 dalam penyelesaian tuntutan perkara terhadap Departemen Polisi Seattle untuk penyerangan dan penangkapan yang tidak sah, dengan suatu tuntutan class action yang masih menunggu keputusan.

Reaksi penegak hukum

sunting

Meskipun polisi setempat terpana oleh besarnya N30, para penegak hukum telah bereaksi di seluruh dunia untuk mencegah gangguan terhadap peristiwa-peristiwa pada masa depan dengan berbagai taktik, termasuk dengan mengerahkan jumlah yang sangat besar, perembesan ke dalam kelompok-kelompok untuk mengetahui rencana-rencana mereka, dan persiapan-persiapan untuk menggunakan kekerasan untuk menyingkirkan para demonstran.

Di sejumlah tempat demonstrasi, polisi telah menggunakan gas air mata, semprotan cabe, granat yang menyebabkan gegar otak, peluru karet dan kayu, tongkat malam, meriam air, anjing, kuda, dan sesekali peluru hidup untuk mengusir para pengunjuk rasa. Setelah protes November 2000 G-8 di Montreal, di mana sejumlah demonstran dipukuli, diinjak-injak, dan ditangkap dalam apa yang dimaksudkan sebagai pesta unjuk rasa, diperkenalkanlah taktik memilah-milah para pemrotes menjadi zona-zona "hijau" (diizinkan), "kuning" (resminya tidak diizikan tetapi dengan sedikit konfrontasi dan risiko kecil ditangkap), dan "merah" (melibatkan konfrontasi langsung).

Di Quebec City, para pejabat pemerintah kota membangun dinding setinggi 3 m lebih di sekitar bagian kota tempat berlangsungnya Pertemuan Puncak Negara-negara Amerika. Hanya penghuni, delegasi ke pertemuan itu, dan beberapa wartawan yang terakreditasi yang boleh melewatinya. Meskipun polisi mengklaim bahwa unsur-unsur kekerasan di antara para demonstran harus dihadapi dengan tegas, mereka konon menembakkan gas air mata dan peluru karet dengan sembarangan, membubarkan kelompok-kelompok damai dan bahkan tim-tim medis yang membantu mereka yang terluka. Diklaim pula bahwa mereka melemparkan gas air mata ke daerah-daerah yang tidak terlibat dalam protes itu, menembakkan dari puncak gunung tempat berlangsungnya konfrontasi ke kota di bawahnya.

Protes KTT G8 di Genoa pada 18 Juli hingga 22 Juli 2001 adalah salah satu protes yang paling berdarah dalam sejarah terbaru Eropa Barat, terbukti dengan terbunuhnya seorang pemuda penduduk Genoa bernama Carlo Giuliani saat demonstrasi dan dirawatnya beberapa pengunjuk rasa di rumah sakit. Setelah itu polisi dituduh brutal, menyiksa, dan menindak terlalu jauh terhadap aksi damai. Beberapa ratus demonstran dan polisi terluka dan ratusan lainnya ditangkap selama hari-hari pertemuan G8; kebanyakan dari mereka yang ditangkap kemudian didakwa dengan pasal "asosiasi kriminal" di bawah undang-undang Anti-Mafia Italia dan Anti-Teroris . Sebagai bagian dari lanjutan penyelidikan, polisi kemudian menggerebek pusat sosial, pusat media, gedung-gedung serikat buruh, dan kantor hukum terus berlanjut di seluruh Italia sejak pertemuan puncak G8 di Genoa. Banyak petugas polisi atau pejabat terkait yang hadir di Genoa sepanjang pertemuan puncak G8, yang kini diselidiki oleh hakim Italia, dan beberapa di antara mereka mengundurkan diri. Sejak itu, beberapa orang telah mengakui bahwa mereka menempatkan sejumlah bom Molotov untuk mengesahkan penggerebekan Sekolah Diaz, serta melaporkan berita bohong tentang penikaman atas seorang polisi untuk menyudutkan para aktivis [2] Diarsipkan 2012-03-14 di Wayback Machine..

Gleneagles

sunting
 
Aksi anti G8

Di seluruh Skotlandia, berbagai macam organisasi seperti jaringan akar rumput Dissent dan koalisi konservatif besar "make poverty history" melakukan protes menentang pertemuan G8 yang ke 31, yang berlangsung di Gleneagles pada 2 Juli hingga 8 Juli 2005.

Protes dimulai akhir pekan sebelumnya dengan demonstrasi Make Poverty History di Edinburgh dengan sekitar 200.000 orang yang memakai t-shirts putih. Keesokan harinya, juga terjadi demonstrasi di Glasgow dengan tema Make Borders History yang menyoroti racist asylum dan politik imigrasi negara-negara G8 dan negara lain yang menutup perbatasan mereka bagi orang-orang yang ingin melepaskan diri dari kemiskinan dan penyiksaan politis, dan ini menjadi awal dari tiga konferensi tandingan di Edinburgh.

Hari-hari berikutnya para pengunjuk rasa menduduki gerbang Faslane, kompleks kapal selam nuklir, karnaval di Edinburg, demonstrasi di Penjara Dungavel, dan ribuan pengunjuk rasa berusaha mendekati lokasi pertemuan di Gleneagles Hotel. [3] Diarsipkan 2006-06-27 di Wayback Machine.

Bob Geldof mengadakan konser Live 8, mengingatkan para pemimpin negara G8 dengan mengangkat tema Make Poverty History.

Jerman

sunting

Hong Kong

sunting
 
Aksi anti WTO di Hong Kong

Konferensi Tingkat Menteri ke-6 WTO berlangsung pada 13-18 Desember 2005 di Hong Kong. Negosisai berlanjut pada titik-titik isu kontroversial seputar pertanian, jasa, dan akses pasar bagi industri barang dan sumber daya alam.

Ribuan pengunjuk rasa yang diorganisir oleh Hong Kong People’s Alliance on WTO berpusat di Victoria Park. Aksi protes pada konferensi kali ini ternyata adalah rentetan protes yang paling dapat mendekati lokasi pertemuan sepanjang sejarah konferensi WTO. Polisi menggunakan cairan merica dan gas air mata untuk mencegah pengunjuk rasa mendobrak membuka jalan menuju lokasi konferensi WTO, Hong Kong Convention and Exhibition Centre. Setelah rententan bentrokan antara pengunjuk rasa dan polisi, pada 18 Desember lebih dari 1.000 pengunjuk rasa, mayoritas dari petani Korea Selatan, ditangkap dan puluhan lainnya terluka. [4][pranala nonaktif permanen]

Petani, buruh migran, dan aktivis dari Indonesia turut serta dalam rentetan aksi ini. 22 orang pengunjuk rasa dari Indonesia juga sempat ditangkap dan ditahan.

Jakarta

sunting

Federasi Serikat Petani Indonesia (FSPI) bersama dengan La Via Campesina mengadakan "Konferensi Rakyat Asia Pasifik untuk Beras dan Kedaulatan Pangan" (The Asia-Pacific People’s Conference on Rice and Food Sovereignty) yang diselenggarakan di Jakarta, 14 hingga 18 Mei 2006, bersamaan dengan "FAO Regional Conference for Asia and the Pacific" yang juga berlangsung di Jakarta.

Konferensi selama lima hari ini bertujuan terutama untuk menekan FAO agar mengadopsi konsep kedaulatan pangan, menekan pemerintah untuk tidak melakukan impor beras, dan menyebarkan informasi secara luas mengenai dampak buruk liberalisasi perdagangan pertanian melalui GATT dan WTO. Konferensi ini juga akan membahas tuntas mengenai konsep alternatif dari petani, yakni kedaulatan pangan (food sovereignty) yang merupakan konsep yang berpihak kepada petani, dan bukan pada pedagang dan korporasi.

Konferensi rakyat ini dihadiri oleh 10 organisasi petani anggota La Via Campesina dari 9 negara di Asia Pasifik, 12 serikat petani anggota FSPI dari 12 provinsi di Indonesia, dan LSM Internasional. Mereka yang hadir antara lain, organisasi petani dari Filipina (Paragos dan KMP), Thailand (AOP), Korea Selatan (KPL dan KWPA), Jepang (Nouminren), India (KKRS), Srilangka (Monlar), Nepal (ANPA), Banglades (BKF), Amerika Serikat NCFFC), Indonesia (FSPI), Timor Leste (Hasatil) dan Vietnam (VNFU). [5] Diarsipkan 2006-06-14 di Wayback Machine. [6] Diarsipkan 2007-09-28 di Wayback Machine. [7] Diarsipkan 2007-12-25 di Wayback Machine.

Hadir pula Front Mahasiswa Nasional(FMN) yang berwatak demokrasi nasional. Tergabung dalam International Leagues People Struggle(ILPS) yang bersifat Global. FMN sendiri mempunyai garis anti Imperialisme, anti Feodalisme, dan anti Kapitalis Birokrat. FMN lahir pada tahun 2003 yang isinya berupa gabungan beberapa organisasi dari seluruh wilayah dan daerah diIndonesia. Pada Tahun 2006, FMN melaksanakan Kongres II diBandung.

Berbarengan dengan pertemuan IMF dan Bank Dunia di Singapura, di Batam dilangsungkan "International Peoples Forum vs the IMF & World Bank" [8] Diarsipkan 2006-10-06 di Wayback Machine. [9][pranala nonaktif permanen] yang dihadiri oleh LSM dari berbagai negara pada 15-17 September 2006. Pertemuan ini akan membahas berbagai persoalan global, mulai dari kebijakan Bank Dunia IMF terhadap negara ketiga. Juga membahas berbagai isu sosial yang merebak di berbagai belahan dunia, termasuk di Indonesia.

Pada pembukaan pertemuan itu 15 September 2006, diisi dengan pembicara Walden Bello dan Kwik Kian Gie. Walden Bello merupakan pengamat ekonomi internasional yang dikenal dengan sikapnya yang kritis terhadap berbagai kebijakan Bank Dunia, WTO dan IMF terhadap negara ketiga. Seluruh rangkaian rencananya akan berpusat di kompleks Asrama Haji Batam Centre. [10] Diarsipkan 2006-10-06 di Wayback Machine. [11] [12] Diarsipkan 2006-08-31 di Wayback Machine. [13] Diarsipkan 2008-05-24 di Wayback Machine.

Forum-forum sosial internasional

sunting

Lihat artikel penting: Forum Sosial Dunia, Forum Sosial Eropa, Forum Sosial Asia

Rencana penting pertemuan antiglobalisasi militan telah terwujud dalam Forum Sosial Dunia (WSF). WSF yang pertama merupakan suatu prakarsa pemerintah Porto Alegre di Brasil. Semboyan Forum Sosial Dunia adalah "Another World Is Possible". Di sinilah Charter of Principles dari WSF telah diadopsi untuk menjadi kerangka bagi forum-forum.

WSF menjadi suatu pertemuan berkala: pada 2002 dan 2003 diselenggarakan kembali di Porto Alegre dan menjadi suatu titik pertemuan bagi protes di seluruh dunia melawan invasi Amerika ke Irak. Pada 2004 pertemuan berpindah ke Mumbai (dahulu dikenal dengan Bombay, di India), agar menjadikan pertemuan ini semakin mudah diakses oleh populasi dari Asia dan Afrika. Pertemuan terakhir ini dihadiri oleh 75.000 delegasi.

Pada waktu bersamaan, forum-forum regional terselenggara dengan mencontoh WSF, mengadopsi Charter of Principles. Forum Sosial Eropa (ESF) pertama diselenggarakan pada November 2002 di Florence. Semboyannya adalah "Melawan perang, melawan rasisme dan melawan neoliberalisme". Tercatat keikutsertaan 60.000 delegasi dan diakhiri dengan suatu demonstrasi anti perang yang sangat besar (melibatkan 1.000.000 orang, menurut organisator). Dua pelaksanaan ESF lainnya mengambil tempat di Paris dan London, berturut-turut pada 2003 dan 2004.

Baru-Baru ini telah ada beberapa diskusi di balik gerakan tentang peran forum-forum sosial itu. Beberapa pihak melihatnya sebagai sebuah "universitas rakyat", suatu kesempatan untuk membuat banyak orang sadar akan permasalahan globalisasi. Yang lainnya lebih suka bila delegasi memusatkan perhatian pada usaha mereka untuk mengkoordinasi dan mengorganisasi gerakan serta merencanakan kampanye baru.

Pengaruh bagi negara-negara berkembang

sunting

Sebagian orang mengklaim bahwa di negara-negara maju umumnya yang memiliki tradisi yang kuat dalam kebebasan berpendapat, pengendalian atas polisi, hak-hak sipil, dan penegakan hukum, terjadi mobilisasi besar-besaran. Di negara-negaraini, salah satu tujuannya adalah membuktikan bahwa para pengunjuk rasa ini lebih dapat mengatur dirinya dibandingkan apabila mereka dikendalikan dengan kekerasan. Pada 15 Maret 2002 di Barcelona, 250.000 orang "mengadakan kerusuhan" selama beberapa hari tanpa menimbulkan cedera kepada siapapun pada kedua belah pihak. Dibandingkan kerusuhan sepak bola yang sering terjadi di Eropa, cedera yang terjadi jauh lebih sedikit. Namun beberapa kerusakan hak milik pribadi dan masyarakat toh terjadi, yang mestinya dapat dihindari dalam sebuah unjuk rasa masyarakat.

Di Argentina, pada krisis ekonomi 2001/2002, jutaan warga biasa turun ke jalan selama beberapa hari, dengan hasil yang sama dengan protes di Barcelona, yang hasilnya sejumlah perubahan dalam pemerintahan federal. Pada 19 dan 20 Desember 2001, kerusuhan di Buenos Aires dan sejumlah kota besar lainnya menyebabkan presiden Fernando de la Rúa yang saat itu berkuasa, mengundurkan diri, meskipun 32 orang demonstran terbunuh. Pada saat yang sama dan juga selama 2002, ribuan rakyat kelas menengah turun ke jalan menentang lembaga-lembaga keuangan dan perusahaan-perusahaan asing sambil memukuli poci dan panci (hal ini menyebabkan timbulnya istilah cacerolazo), untuk memprotes pembekuan rekening-rekening bank mereka dalam apa yang disebut corralito. Pada bulan-bulan berikutnya, rakyat Argentina mengembangkan sejumlah sistem ekonomi alternatif, struktur sosial dan sistem pemerintahan otonom sendiri yang berbasis lingkungan. Slogan yang populer dalam gerakan tersebut adalah ¡Que se vayan todos! ("Semua keluar [dari pemerintahan]!"), menunjukkan frustrasi para demonstran bukan hanya terhadap korupsi dalam pemerintahan, tetapi juga dengan kseluruhan struktur pemerintahan.

Di India, pandangan-pandangan Vandana Shiva, Amartya Sen dan Arundhati Roy sangat populer, dan memperoleh status selebriti penuh. Gagasan-gagasan mereka yang diterima dan diminati, seperti halnya juga dengan gagasan-gagasan Mohandas Gandhi menjadi tantangan besar dan spesifik terhadap fundamentalisme Hindu dan Muslim. Ketiganya juga menghasilkan dampak yang cukup besar di dalam gerakan "antiglobalisasi".

Mobilisasi

sunting

Catatan bahwa dimulainya garis waktu ini hanyalah mencerminkan awal dari mobilisasi utama di Amerika; mobilisasi antikorporasi globalisasi internasional yang terjadi setelah Seattle.

artikel utama: S11

Catatan

sunting
  1. ^ Jacques Derrida (May 2004) Enlightenment past and to come Diarsipkan 2017-07-19 di Wayback Machine., speech at the party for 50 years of Le Monde diplomatique
  2. ^ Della Porta, Donatella, ed. (2006). The Global Justice Movement: Cross-national And Transnational Perspectives. New York: Paradigm. ISBN 978-1-59451-305-3. 
  3. ^ Juris, Jeffrey S. (2008). Networking Futures: The Movements against Corporate Globalization. Durham: Duke University Press. hlm. 2. ISBN 978-0-8223-4269-4. 
  4. ^ No Logo: No Space, No Choice, No Jobs by Canadian journalist Naomi Klein.
  5. ^ Strange, Susan: Casino Capitalism. Oxford: Blackwell, 1986.
  6. ^ Morris, Douglas Globalization and Media Democracy: The Case of Indymedia Diarsipkan 2009-03-04 di Wayback Machine. (pre-publication version)
  7. ^ Podobnik, Bruce, Resistance to Globalization: Cycles and Evolutions in the Globalization Protest Movement Diarsipkan 2008-02-28 di Wayback Machine., p. 2. Podobnik states that "the vast majority of groups that participate in these protests draw on international networks of support, and they generally call for forms of globalization that enhance democratic representation, human rights, and egalitarianism." [pranala nonaktif]
  8. ^ Stiglitz, Joseph & Andrew Charlton. 2005. Fair Trade for All: How Trade Can Promote Development. p. 54 n. 23 (writing that "The anti-globalization movement developed in opposition to the perceived negative aspects of globalization. The term 'anti-globalization' is in many ways a misnomer, since the group represents a wide range of interests and issues and many of the people involved in the anti-globalization movement do support closer ties between the various peoples and cultures of the world through, for example, aid, assistance for refugees, and global environmental issues.")

Pranala luar

sunting