Gedangdowo, Jepon, Blora

desa di Kabupaten Blora, Jawa Tengah


Gedangdowo adalah desa di kecamatan Jepon, Kabupaten Blora, Jawa Tengah.

Gedangdowo
Negara Indonesia
ProvinsiJawa Tengah
KabupatenBlora
KecamatanJepon
Kode pos
58261
Kode Kemendagri33.16.08.2020 Edit nilai pada Wikidata
Luas... km²
Jumlah penduduk... jiwa
Kepadatan... jiwa/km²
Peta
PetaKoordinat: 6°56′52″S 111°27′42″E / 6.94778°S 111.46167°E / -6.94778; 111.46167

Geografi

sunting

Desa Gedangdowo terletak pada 6°56'55.3"S, 111°27'46.5"E Garis bujur -6°57'4.89", dan Garis Lintang: 111°27'15.18". [1]

Batas Wilayah

sunting
  • Timur – Tenggara: berbatasan dengan desa Geneng
  • Selatan – Barat Daya: berbatasan dengan desa Gersi
  • Barat – Barat Laut: berbatasan dengan desa Patalan
  • Utara: berbatasan dengan desa Puledagel
  • Timur Laut: berbatasan dengan desa Kawengan

Dengan elevasi daerah yang didominasi dataran rendah, iklim di desa Gedangdowo juga berpengaruh pada kondisi cuaca yang berbeda.

  • jika musim hujan, air relatif banyak (cukup) dan suhu udara terasa dingin
  • jika musim panas, air relatif sedikit (kurang) dan suhu udara terasa panas.

Pembagian Wilayah

sunting

Desa Gedangdowo terdiri dari 4 bagian wilayah yaitu:

  • Brang Kulon; yang terletak di seberang Barat sungai
  • Brang Etan; yang terletak di seberang Timur sungai
  • Brang Lor; yang terletak di seberang Utara Balai Desa
  • Brang Kidul; yang terletak di seberang Selatan Balai Desa

Beberapa dukuh/ dusun diantaranya:

  • Banjardowo
  • Gedangan
  • Keduwang

Ekonomi dan Mata Pencaharian

sunting

Dalam memenuhi kebutuhan pokok sehari-hari, masyarakat desa Gedangdowo bermata pencaharian Petani (35%), Pedagang (20%), PNS (20%), Swasta (15%), Lain (10%). Dengan mayoritas penduduk sebagai petani, masyarakat melestarikan hasil alamnya dengan dengan menanam padi pada musim hujan, dan jagung pada musim panas, yang keduanya ditanam sebagai hasil pokok. Sedangkan hasil alam yang kedua (cadangan), masyarakat menciptakannya dengan hasil alam yang tak jauh beda dengan mayoritas penduduk di Blora sebagai hasil pendukung pertanian Indonesia, antara lain yakni tebu, lombok, ketela pohon, ubi jalar, tomat, kacang panjang, dan lain-lain, dimana hasil tersebut ditanam menyesuaikan kondisi alam yang berbeda-beda.

Sejarah

sunting

Asal usul desa di Kecamatan Jepon

sunting

Banyak versi tentang lahirnya nama-nama desa di daerah kecamatan Jepon.

Pada era Kerajaan Demak dua orang pemuda murid dari Sunan Muria yaitu Gentiri (Kenthiri) dan Kapa (Kopo) ditugaskan oleh sang guru untuk mengejar Adipati Pathak Warak yang telah menculik putri dari Sunan Ngareng yang bernama Dewi Roronoyo. Pengejaran sang Adipati dimulai dari sebuah Kademangan Tanjung Anom (sekarang desa Geneng), dimana sang Adipati bersembunyi dalam perlindungan sang kakak Jaka Selakon (disebut juga Jaka Selokaton) selaku Demang di Tanjung Anom. Karena kesaktian Jaka Selokaton yang tak tertandingi dipertarungan darat, Gentiri yang kewalahan terpaksa mengeluarkan senjata andalannya Tombak Dorodasih dan pusaka Srigunting, dan meminta bantuan sang Kapa dengan Ajian Pager Wesi untuk melumpuhkan sang Demang Jaka Selokaton dengan menggiringnya ke sebuah Kolam Lumpur (sekarang Wuni). Selama pertarungan berlangsung, sang kakak Kapa terpental ke arah utara karena ajiannya Pager Wesi terlalu liar (sekarang desa Gersi) dan Gentiri langsung bertindak sigap dengan melempar tombak Dorodasihnya yang menghujam ke dada sang Demang dan tersungkur dengan kondisi dada bolong (berlubang) disebuah persawahan (Sekarang Balong). Melihat sang kakak dengan dada berlubang Adipati Pathak Warak ketakutan dan melarikan diri kearah selatan dan dikejar oleh Kapa untuk ditangkap dan diadili (sekarang Seso). Selama pertarungan tersebut, Dewi Roronoyo berhasil melarikan diri ke arah utara. Kedua kakak beradik tersebut (Gentiri & Kapa) melakukan pencarian sampai pada suatu hutan yang banyak ditumbuhi pisang dengan pohonnya tinggi dan panjang (sekarang desa Gedangdowo) dan ternyata Dewi Roronoyo telah bertemu dengan sang ayah yang akan menjemput dengan seratus bala pasukan bantuan dari Juwana. Sunan Ngareng yang telah berjanji, bahwa yang menyelamatkan sang anak akan dijadikan menantu jika laki-laki dan putri dia jika dia perempuan akhirnya menikahkan sang anak dengan Gentiri di tengah hutan dekat sungai (sekarang jadi makam desa Gedangdowo). Sunan Ngareng lalu memerintahkan Gentiri untuk berbuat bijak dengan membantu rakyat Kademangan Tanjung Anom dengan benar.

Setelah beberapa tahun mencoba membantu rakyat miskin didaerah tersebut Gentiri akhirnya putus asa, karena kaum kaya tidak mau memperdulikan kaum miskin. Akhirnya Gentiri mengambil jalan pintas dengan mencuri, sehingga dia dijuluki "Maling Gentiri" berserta beberapa pengikutnya. Setelah pengembaraannya mencuri dari kaum kaya dan menjadi buronan, Gentiri kembali ke sang istri yang telah sakit, sang istri meninggal dan dikuburkan didekat rumah (sekarang menjadi makam mbah Buyut Naya).

Beberapa sumber menceritakan bahwa Gentiri sangat terpukul dengan kematian sang istri sehingga dia lupa akan beberapa pantangan dan akhirnya dia mati di sebuah desa karena terjerat batang-batang talas (sekarang Kawengan, makam Gentiri).

Asal usul desa Gedangdowo

sunting

Awal mulanya, nama desa Gedangdowo adalah desa Gedangan. Kemudian terdapat perluasan wilayah, antara desa Gedangan dengan desa Banjardowo. Sehingga kata "Gedang"- diambil dari desa Gedangan, dan kata -"dowo" diambil dari kata Banjardowo.

Budaya

sunting

Budaya desa Gedangdowo masih menggunakan tradisi Jawa (kejawen) pada umumnya, namun tak lepas juga untuk tetap mengikuti tradisi modernitas zaman sekarang.

Tradisi yang masih eksis dan masih melekat yakni Sedekah Bumi. Sedekah bumi merupakan adat yang dilaksanakan sebagai ungkapan rasa syukur kepada Sang Maha Pencipta, yang telah memberikan nikmat dan rezekinya berupa hasil panen yang melimpah. Di dalam pelaksanaannya, terdapat ritual yang masyarakat menyebutnya dengan istilah “Awur-Awur” yaitu Tawuran tumpeng yang dilakukan masyarakat desa Gedangdowo sendiri.

Hampir dipastikan, semua masyarakat desa Gedangdowo menganut agama Islam, dengan prosentase 90%, dan 10% yaitu kepercayaan dinamisme atau animisme.

Kepercayaan yang dianut oleh masyarkat di desa Gedangdowo, tak jauh beda dengan di desa-desa lain di kabupaten Blora.

Masjid yang terdapat di desa Gedangdowo sendiri sejumlah 4 masjid yaitu:

  • · Masjid Baitus Sa’id (Brang Kulon)
  • · Masjid Baitus Salam (Brang Etan)
  • · Masjid Sabilul Abror (Keduang)
  • · Masjid Al Barokah (Talok)

Sedangkan Musholla yang terdapat di desa Gedangdowo sejumlah 10 musholla yaitu:

  • · Musholla al-Ma’arij

Serta para Imam kaum Islam (Kiai) di desa ini cukup banyak, berperan aktif dalam pengembangan moral desa, dan aktif pula dalam Organisasi Masyarakat (Ormas) Islam di Blora masing-masing.

Seni di desa Gedangdowo tak bisa lepas dari tradisi adat yang pernah tertuang melalui legenda sejarah nenek moyang. Antara lain yaitu:

Seni Barong

sunting

Seni Barong sendiri merupakan seni tradisional produk kabupaten Blora. Seni Barong desa Gedangdowo bernama “Seni Barong Seto Kumoro Joyo” pimpinan mas Rabu

Kerajinan Tangan

sunting

Kerajinan produk desa Gedangdowo yaitu Kalo. Kalo merupakan hasta karya dari masyarakat dukuh Keduwang, yang sampai saat ini masih eksis memproduksinya.

Kalo merupakan kerajinan tangan, terbuat dari bambu yang dibuat (membelah) tipis, kemudian dianyam menyesuaikan bentuk. Kalo berfungsi sebagai alat untuk menyaring khususnya santan kelapa.

Komunitas

sunting

Gedangdowo memiliki nama lain sebagai berikut

  • Gedangan

yaitu penyebutan nama alternatif yang digunakan oleh beberapa daerah sekitar di Blora,

  • Long Banana

yaitu nama yang diambil dari bahasa Inggris, yang digunakan dalam bentuk ajang eksistensi pemuda desa Gedangdowo, dan dijadikan nama dari Karang Taruna desa Gedangdowo,

  • Long Banana D'rantau

yaitu komunitas pemuda-pemudi perantau desa Gedangdowo.

Referensi

sunting
  1. ^ "Google Maps". Google Maps. Diakses tanggal 2016-09-05.