Gamaliel (gəmā'lēəl) atau Gamaliel I (bahasa Inggris: Gamaliel the Elder,[1] atau Rabban Gamaliel I, bahasa Ibrani: רבן גמליאל הזקן; bahasa Yunani: Γαμαλιήλ ο Πρεσβύτερος) adalah seorang Guru atau Rabi Yahudi pada zaman dahulu yang sangat terkemuka dan sangat disegani di antara tiga aliran Yahudi, yaitu Farisi, Saduki, dan Eseni. Pemikirannya turut memberikan kontribusi bagi terbentuknya cara hidup orang-orang Yahudi pada akhir abad pertama hingga sekarang pada abad ke-21. Gamaliel juga adalah guru Rasul Paulus.

Gamaliel

Latar Belakang Gamaliel

sunting

Gamaliel adalah cucu dari Hilel, yang dijuluki "Sang Penatua" (The Elder), yang telah mengembangkan pemikiran yang menjadi cikal-bakal kaum Farisi. Metode pengajaran Hilel dianggap lebih lunak dengan metode tokoh pengajar saingannya, Shamai. Setelah Bait Allah di Yerusalem di hancurkan pada tahun 70 M, Bet Hilel (Rumah Hilel; "House of Hillel") lebih disukai dibandingkan dengan Bet Shamai (Rumah Shamai). Rumah Hilel menjadi wakil resmi dari Yudaisme, karena semua sekte lain lenyap bersamaan dengan kehancuran Bait Allah. Keputusan-keputusan Bet Hilel sering kali menjadi dasar bagi hukum Yahudi dalam Mishnah, yang menjadi fondasi dari Talmud, dan pengaruh Gamaliel tampaknya merupakan faktor utama dalam dominasi Rumah Hilel.

Gamaliel sebegitu dihormati sehingga ia menjadi orang pertama yang dijuluki rabban, sebuah gelar yang lebih tinggi daripada rabbi. Setelah suatu waktu, Gamaliel menjadi orang yang sangat dihormati sehingga Mishnah berkata tentang dia, :"Sewaktu Raban Gamaliel sang penatua wafat, kemuliaan dari Torah berakhir, dan kemurnian serta kekudusan pun lenyap" (Sotah 9:15).

Pengajaran Gamaliel

sunting

Rasul Paulus memberi tahu orang banyak di Yerusalem bahwa ia dididik di kaki Gamaliel.[2] Menurut Profesor Dov Zlotnick dari Seminari Teologi Yahudi di Amerika Serikat menulis, "Kesaksamaan dari hukum lisan, jadi keterandalan hukum tersebut, hampir seluruhnya bergantung pada hubungan antara guru dan murid: perhatian yang diberikan oleh sang guru dalam mengajarkan hukum dan kesungguhan dari murid untuk mempelajarinya. . . . Oleh karena itu, murid-murid didesak untuk duduk di kaki para cendekiawan tersebut . . . 'dan dengan rasa dahaga meminum kata-katanya'" (Avot 1:4).

Dalam bukunya A History of the Jewish People in the Time of Jesus Christ, Emil Schürer menjelaskan metode-metode pengajaran para rabi pengajar pada abad pertama. Ia menulis, "Rabi-rabi yang lebih terkenal sering kali mengumpulkan di sekitar mereka sejumlah besar pria muda yang berhasrat untuk diajar, dengan tujuan membuat mereka mengenal dengan saksama 'hukum lisan' yang begitu beraneka ragam dan banyak jumlahnya. . . . Pengajaran tersebut terdiri dari pelatihan daya ingat secara terus-menerus tanpa kenal lelah. . . . Sang guru mengajukan beberapa pertanyaan tentang hukum kepada murid-muridnya yang keputusannya harus mereka ambil dan membiarkan mereka memberi jawaban atau ia yang menjawabnya sendiri. Murid-murid juga diperbolehkan untuk mengajukan pertanyaan kepada sang guru".

Dari sudut pandangan para rabi, apa yang dipertaruhkan murid-murid itu jauh lebih penting daripada sekadar menerima suatu tanda lulus. Mereka yang belajar di bawah bimbingan para guru demikian diberi peringatan, "Siapa saja yang melupakan satu hal dari apa yang telah ia pelajari—menurut Tulisan-Tulisan Kudus, itu adalah soal hidup atau mati". (Avot 3:8) Pujian terbesar dianugerahkan ke atas siswa yang seperti "sebuah sumur yang diplester, yang tidak kehilangan setetes air pun". (Avot 2:8) Jenis pelatihan demikianlah yang diterima Paulus, yang pada waktu itu dikenal dengan nama Ibraninya, Saulus, dari Gamaliel.

Semangat dari Pengajaran Gamaliel

sunting

Selaras dengan pengajaran kaum Farisi, Gamaliel menganjurkan kepercayaan akan hukum lisan. Dengan demikian ia memberikan penekanan yang lebih besar kepada tradisi para rabbi daripada kepada Tulisan-Tulisan Kudus yang terilham.[3] Mishnah yang mengutip kata-kata Gamaliel sebagai berikut, "Dapatkan seorang guru [seorang rabbi] dan bebaskan dirimu dari keraguan, karena kamu tidak boleh memberikan sepersepuluhan yang melebihi batas melalui dugaan". (Avot 1:16) Ini berarti bahwa bila Kitab-Kitab dalam Alkitab Ibrani tidak secara eksplisit mengatakan apa yang harus dilakukan, seseorang tidak boleh menggunakan daya nalarnya sendiri atau mengikuti hati nuraninya untuk membuat keputusan baginya. Menurut Gamaliel, hanya dengan cara demikianlah seseorang menghindari berbuat dosa. (Bandingkan dengan Surat Roma 14:1-12).

Akan tetapi, pada dasarnya Gamaliel dikenal karena sikapnya yang lebih toleran dan liberal dalam keputusannya dalam segi hukum keagamaan. Misalnya, ia memperlihatkan timbang rasa kepada para wanita ketika ia memutuskan bahwa ia "mengizinkan seorang istri untuk menikah kembali atas dasar kesaksian satu orang saksi [mengenai kematian suaminya]". (Yevamot 16:7) Selain itu, untuk melindungi mereka yang diceraikan, Gamaliel mengajukan sejumlah pembatasan dalam hal dikeluarkannya surat perceraian.

Semangat ini juga terlihat dalam cara Gamaliel berurusan dengan para pengikut Yesus Kristus pada masa awal. Buku Kisah Para Rasul menceritakan bahwa sewaktu para pemimpin Yahudi lain berupaya membunuh rasul-rasul Yesus yang telah mereka tangkap karena melakukan pengabaran Injil, maka dicatat kejadian berikut:

Tetapi seorang Farisi dalam Mahkamah Agama itu, yang bernama Gamaliel, seorang ahli Taurat yang sangat dihormati seluruh orang banyak, bangkit dan meminta, supaya orang-orang itu disuruh keluar sebentar. Sesudah itu ia berkata kepada sidang: "Hai orang-orang Israel, pertimbangkanlah baik-baik, apa yang hendak kamu perbuat terhadap orang-orang ini!
Sebab dahulu telah muncul si Teudas, yang mengaku dirinya seorang istimewa dan ia mempunyai kira-kira empat ratus orang pengikut; tetapi ia dibunuh dan cerai-berailah seluruh pengikutnya dan lenyap.
Sesudah dia, pada waktu pendaftaran penduduk, muncullah si Yudas, seorang Galilea. Ia menyeret banyak orang dalam pemberontakannya, tetapi ia juga tewas dan cerai-berailah seluruh pengikutnya.
Karena itu aku berkata kepadamu: Janganlah bertindak terhadap orang-orang ini. Biarkanlah mereka, sebab jika maksud dan perbuatan mereka berasal dari manusia, tentu akan lenyap, tetapi kalau berasal dari Allah, kamu tidak akan dapat melenyapkan orang-orang ini; mungkin ternyata juga nanti, bahwa kamu melawan Allah."[4]

Nasihat Gamaliel itu diterima, dan para rasul dibebaskan.

Gamaliel dan Paulus

sunting

Paulus telah dilatih dan dididik oleh Gamaliel sebagai salah satu rabbi terbesar pada abad pertama. Ia mengaku dengan terus terang mengenai riwayat hidupnya pada waktu ia berbicara kepada orang-orang yang hendak membunuhnya di Yerusalem:

Aku adalah orang Yahudi, lahir di Tarsus di tanah Kilikia, tetapi dibesarkan di kota ini; dididik dengan teliti di bawah pimpinan Gamaliel dalam hukum nenek moyang kita, sehingga aku menjadi seorang yang giat bekerja bagi Allah sama seperti kamu semua pada waktu ini.[2]

Tidak diragukan, dengan menyebutkan Gamaliel sang rasul membuat orang banyak memberikan perhatian istimewa kepada ucapannya. Tetapi ia berbicara kepada mereka tentang seorang Guru yang jauh lebih unggul daripada Gamaliel, yaitu Yesus Kristus, sang Mesias. Sekarang, sebagai murid Yesus, bukan murid Gamaliel, Paulus berbicara kepada kumpulan orang banyak.

Tampaknya, pengajaran yang ketat dalam Kitab-kitab suci dan hukum Yahudi terbukti bermanfaat bagi Paulus sebagai seorang guru Kristen. Namun, surat-surat Paulus yang diilhamkan ilahi yang terdapat dalam Alkitab dengan jelas memperlihatkan bahwa ia menolak inti kepercayaan Farisi dari Gamaliel. Paulus mengarahkan rekan-rekan sesama bangsa Yahudinya dan orang-orang lain, bukan kepada para rabi dari Yudaisme atau kepada tradisi-tradisi buatan manusia, melainkan kepada Yesus Kristus.

Jika Paulus terus menjadi murid Gamaliel, ia bisa menikmati kehormatan besar. Orang-orang lain dari kelompok Gamaliel membantu menentukan masa depan Yudaisme. Misalnya, putra Gamaliel, Simeon, yang bisa jadi teman pelajar Paulus, memainkan peranan penting dalam pemberontakan orang Yahudi melawan Kekaisaran Roma. Setelah kehancuran bait Yerusalem pada tahun 70 M di bawah pimpinan seorang Jenderal Roma, Titus, maka seorang cucu Gamaliel, Gamaliel II, memulihkan kekuasaan Sanhedrin, dengan memindahkannya ke Yavneh. Kemudian, cucu Gamaliel II, Judah Ha-Nasi, menjadi penyusun Mishnah, yang telah menjadi batu fondasi dari konsep kepercayaan Yahudi sampai saat ini.

Tokoh lain dengan nama Gamaliel

sunting
  • Gamaliel bin Pedazur adalah pemimpin suku Manasye pada waktu bangsa Israel keluar dari tanah Mesir di bawah pimpinan Musa. Ia hadir pada saat penghitungan laskar Israel yang pertama kali,[5] dan penentuan tempat perkemahan suku Manasye di sisi barat.[6] Selanjutnya setelah Kemah Suci selesai didirikan untuk pertama kalinya, Gamaliel mewakili suku Manasye menyampaikan persembahan kepada Allah pada hari kedelapan dalam bentuk perkakas emas, perak, tepung, minyak dan sejumlah hewan ternak.[7] Yang terakhir ia disebutkan mengepalai laskar suku bani Manasye ketika mereka memulai perjalanan dari gunung Sinai ke tanah Kanaan.[8] Tidak dicatat kematiannya, meskipun ia termasuk ke dalam orang-orang yang mati di padang gurun dan tidak pernah menginjakkan kaki di tanah Kanaan, karena terhitung ke dalam mereka yang bersungut-sungut setelah kembalinya dua belas pengintai dari tanah Kanaan[9] dan sebab itu Allah telah berfirman "Di padang gurun ini mereka akan habis dan di sinilah mereka akan mati."[10]

Lihat pula

sunting

Referensi

sunting
  1. ^ Dilafalkan /ɡəˈmljəl/ menurut Jones, Daniel (1977). Everyman's English Pronouncing Dictionary. London: J.M. Dent & Sons Ltd. hlm. 207.  – juga /ɡəˈmli.əl/; /ɡəˈmɑːli.əl/ atau /ˌɡæməˈləl/ dalam penggunaan Yahudi.
  2. ^ a b Kisah Para Rasul 22:3
  3. ^ Matius 15:3–9
  4. ^ Kisah Para Rasul 5:34–40
  5. ^ Bilangan 1:10
  6. ^ Bilangan 2:20
  7. ^ Bilangan 7:54–59
  8. ^ Bilangan 10:23
  9. ^ Bilangan 13 dan 14
  10. ^ Bilangan 14:35

Pustaka tambahan

sunting