Gamad atau Gamat adalah salah satu jenis musik tradisional Minangkabau yang berkembang di daerah pantai barat Sumatera Barat. Musik ini lahir akibat perbauran antara budaya pribumi Minangkabau dan budaya Barat (akulturasi), yang sampai sekarang tetap hidup dalam masyarakat Minangkabau, khususnya di Kota Padang. Walaupun musik Gamat lahir dari akulturasi budaya pribumi dan budaya Barat, tetapi bagi masyarakat Kota Padang musik tersebut sudah dianggap sebagai milik dan bahagian dari tradisi mereka, sehingga ada rasa tanggung jawab bagi masyarakat tersebut untuk melestarikannya.

Bentuk ansambel musik Gamat terdiri atas gabungan vokal dan instrumental, yang secara tradisional menggunakan biola, akordeon, gitar, gendang, dan bas sebagai instrumennya. Vokal berperan sebagai pembawa lagu yang liriknya berupa pantun-pantun Minangkabau yang bersifat metafor (kiasan).

Dua istilah ini (“Gamad” atau “Gamat”) bagi kalangan tertentu kadang-kadang bisa menjadi suatu hal yang prinsip, dan bagi kelompok lain tidak jadi persoalan. Pada umumnya orang Minang baik yang tinggal di kampung maupun yang berada di rantau (di luar Sumatera Barat) tahu dengan kedua kata ini bila ditanya; setidak-tidaknya mereka tahu salah satu judul lagu yang biasa dinyanyikan oleh musik ini, misalnya lagu Kaparinyo. Bagi mereka yang punya perhatian lebih dalam terhadap musik, mungkin dapat menunjukkan ciri khas musik ini misalnya penggunaan akordeon, biola, dan gendang dalam permainannya yang penyanyi dan pemusiknya biasanya orang tua-tua. Begitulah kira-kira pengetahuan orang awam bila ditanya tentang Gamat.

Kapan pemakaian kedua kata ini (Gamad atau Gamat) jadi persoalan? Biasanya bila telah ditulis di spanduk atau di label kaset, CD, dan DVD. Sebenarnya jika diucapkan dua kata tersebut secara lisan kedengarannya sama saja, sama halnya dengan orang menyebutkan nama Ahmad dan Muhammad. Contoh lain yang dapat dipadankan dalam kasus ini adalah tentang musik Keroncong. Kadang-kadang ditulis orang “Keroncong” dan ada yang menulis “Kroncong”, tetapi dalam konteks musik orang jelas tidak akan membedakan pengertiannya karena jenis musiknya satu tidak dua.

Asal Usul Kata Gamat dan Pengertiannya

sunting

Pemberian nama Gamat terhadap musik ini dapat ditinjau dari beberapa sumber, yang masing-masingnya punya tafsiran yang berbeda. A.A. Navis mengatakan bahwa kata gamat menurut etimologi bahasa berasal dari kata gamit, yang artinya menyentuh seseorang dengan jari untuk mengajak orang bercakap-cakap atau untuk keperluan lain (dalam Rizaldi, 1994:54). Ia berpendapat demikian karena dalam tradisi pertunjukan Gamat Padang biasanyan diikuti dengan tari-tarian spontan oleh dua sampai empat orang. Mereka menari dengan gerakan bebas di hadapan penyanyi dengan menggunakan selendang atau saputangan. Bila selendang atau saputangan diberikan kepada salah seorang penonton yang hadir dalam pertunjukan itu, berarti orang tersebut diminta dengan hormat berpartisipasi untuk menari berikutnya. Cara memberikan selendang atau saputangan itu merupakan menggamit dalam bentuk yang lain, sehingga kemudian musik ini dinamakan musik Gamat.

Rusyid (alm.) seorang pemain biola musik Gamat Padang dalam wawancara dengan penulis tahun 1993 mengatakan bahwa gamat (gamek dalam dialek Padang) artinya kacau. Dalam bahasa Minangkabau dialek Padang kata gamek digunakan untuk menunjukkan cuaca buruk: langit gelap, ombak besar, kilat, petir sabung-menyabung; angin kencang pertanda hujan badai akan turun. Bagi masyarakat Padang terutama para nelayan pantai bila datang cuaca seperti itu, muncullah ucapan lah ka gamek pulo hari lai. Artinya, hujan badai akan turun.

Pengertian “kacau” dalam konteks ini dianalogikan oleh Rusyid dengan musik, yaitu sesuatu yang belum ada aturan atau patokan tertentu antara lagu dan musik. Keharmonisan melodi instrument dengan vokal belum berjalin karena teknik memainkan alat musik Barat (biola dan akordeon) pada masa dahulu belum dikuasai seperti sekarang. Mereka bermain menurut improvisasi masing-masing. Lagi pula musik tradisi rakyat yang ada di Padang sebelum datangnya biola dan akordeon hanya rabab Pesisir dan saluang Pauah. Kedua instrument tradisi tersebut dipakai untuk mengiringi dendang kaba dalam bentuk tempo bebas (free meter), mereka bernyanyi tidak terikat oleh tempo yang teratur. Dendang kaba yang diiringi oleh rabab Pasisia, maupun dendang kaba yang diiringi oleh saluang Pauah pada masa itu belum biasa digabung dengan gendang sebagai pengatur tempo. Setelah diperkenalkannya biola, akordeon, gitar oleh pendatang asing kepada masyarakat Padang, maka para pemusik lokal juga ingin menggunakannya. Oleh karena teknik memainkan alat musik “baru” tersebut belum dikuasai maka lagu-lagu yang mereka nyanyikan terdengar “kacau” tidak harmonis sebagaimana orang-orang asing memainkannya. Biasanya masyarakat mendengar dendang kaba diiringi rabab Pasisia atau saluang Pauah, tapi sejak berkenalan dengan alat-alat musik Barat, dendang diiringi oleh biola, akordeon, gitar, dan gendang. Bagi telinga orang yang belum biasa mendengar lagu-lagu baru tersebut memang terasa kacau, sumbang, tidak harmonis. Akan tetapi, setelah musik tersebut sering didengar, ditonton akhirnya menjadi biasa ditelinga masyarakat yang kemudian mereka sebut sebagai musik Gamat, tapi siapa yang mula-mula memunculkan istilah gamat sebagai nama musik tradisi baru itu tidak diketahui.

Rahim Cik, (alm.) penyanyi Gamat senior grup gamat Ganto Gumarang waktu diwawancarai tahun 1993 mengatakan bahwa asal usul kata gamat adalah singkatan (akronim) dari “Gabungan Musik Alunan Daerah”. Menurut Rahim munculnya istilah itu sebagai nama musik tradisi baru tersebut karena didalamnya bergabung berbagai “alunan” musik daerah seperti Medan, Malaya, Portugis, dan Minangkabau. Akan tetapi jika nama musik gamat itu dibentuk dengan mengambil setiap huruf awal dari gabungan kata tersebut maka akronimnya menjadi GMAD, bukan GAMAD. Bila akronimnya dibentuk dengan mengambil dua huruf awal setiap kata, maka akronimnya menjadi GAMUALDA. Tampaknya akronim yang digunakan adalah dengan mengambil dua huruf dari kata pertama, dan satu huruf untuk kata kedua, ketiga, keempat sehingga menjadi GAMAD.

Sumber lain yang dapat dikaitkan dengan penelusuran istilah gamat adalah buku Budaya Popular dalam Masyarakat Melayu Bandaran karangan Wan Abdul Kadir (Malaysia). Dalam buku ini dikatkan bahwa Ghazal adalah musik Melayu ala Hindustan yang disebut juga dengan istilah “gamat”. Alat-alat musik yang digunakannya seperti: syarenggi, sitar, harmonium, dan tabla, kemudian syarenggi diganti dengan biola, sitar digantikan dengan gambus, tapi harmonium dan tabla tetap dipakai sampai sekarang dalam musik Ghazal. Selanjutnya dari internet juga ditemukan istilah gamat, yang ditulis oleh Navarrus, tanggal 7 Desember 2008 (http://mforum.cari.com.) Dalam tulisan ini dikatakan “Menurut Allahyarham Pak Lomak permainan Ghazal Melayu adalah suatu cara permainan bunyi-bunyian dan nyanyian sebagai hiburan dalam kesenian Melayu yang ditiru menurut cara orang Hindustan. Dalam bahasa Hindustan permainan ghazal disebut Gamat.”

Bila dianalisis kelima sumber ini terlihat jelas bahwa kata “gamat” sebenarnya sudah digunakan oleh orang Hindustan (India) sebagai nama ansambel musik. Kemudian bagi masyarakat Melayu Johor (Malaysia) ansambel musik ini diadopsi menjadi musik Ghazal Melayu yang menggunakan: biola, harmonium, gambus, gitar, tabla, dan marakas. Bila dibandingkan instrumen yang digunakan musik Gamat dengan musik Ghazal Malaysia hampir sama. Orkes Gamat menggunakan biola, gitar, akordeon, gendang dua muka, marakas, dan bas. Bila dilihat formasi alat (penggunaan) instrumen dalam dua jenis musik ini (Ghazal dan Gamat) jelas berasal dari rumpun yang sama. Oleh karena itu mungkin juga kata “gamat” (yang berakhiran dengan huruf “t” ) juga diadopsi dari nama musik Ghazal (Gamat) Malaysia. Dalam musik Gamat Padang hubungan kedua jenis musik ini masih aktual seperti yang disampaikan Tawanto Karim dan Mansyur Zega (wawancara, 2007). Beliau mengatakan bahwa gamat Padang juga sering membawakan lagu-lagu Ghazal dalam acara pertunjukan karena orang-orang keturunan India yang tinggal di Padang sangat senang dengan lagu-lagu Ghazal.

Sekarang, jika dirujuk pendapat Navis tentang pengertian kata “gamat” dan “gamit” dengan Kamus Besar Bahasa Indonesia, ternyata pengertiannya hampir sama. Dalam Kamus Besar Bahasa Indondesia kata “gamit” artinya menyentuhkan jari kepada seseorng untuk memberi isyarat, sedangkan gamat artinya berlagu. Bila kata gamat berasal dari kata “gamit” tentu ada poreses perubahan katanya. Kalau tidak, tentu nama musik itu tetap musik “gamit” sampai sekarang. Sumber data ini memang belum menjelaskan bagaimana proses perubahan kata “gamit” menjadi gamat menurut fonologi bahasa.

Pengertian kata “gamat” dalam Kamoes Bahasa Minangkabau—Bahasa Melajoe-Riau artinya: gaduh, hiru-biru (M. Thaib St. Pamoentjak, 1935:73). Bila dihubungkan pendapat yang dikemukankan Rusyid dengan kamus ini memang ada kemiripan artinya yaitu menunjuk kepada situasi yang tidak tenang atau “kacau”. Jadi ketegasan pengertian yang dapat diambil dari kamus ini adalah bahwa kata “gamat” berasal dari kosakata bahasa Minangkabau lama, yang biasa digunakan untuk menyatakan suasana gaduh, hiruk-pikuk, huru-hara, kacau-balau dan sebagainya. Akan tetapi, dalam konteks ini kata “gamat” belum lagi dipakai sebagai nama jenis musik di Minangkabau.

Bagi sebagian pemusik Gamat Kota Padang, asal-usul dan pengertian kata “gamat” mungkin tidak dipersoalkan, sehingga dalam penulisan kata tersebut sering ditukar-gantikan, belum ada suatu ketetapan atau kesepakatan apakah istilah kata tersebut ditulis dengan “gamat” atau “gamad”. Masyarakat awam memandang dua istilah ini tidak jadi persoalan, karena pengertiannya mengacu pada jenis musik yang sama. Namun demikian, penulis lebih cenderung menggunakan kata Gamat (yang berakhiran huruf “t”) dalam penulisan, bukan yang berakhiran dengan huruf “d” karena kata itu dilihat secara historisnya sudah digunakan sebagai nama jenis musik bagi orang India yang kemudian diubah namanya menjadi musik Ghazal oleh pemusik Melayu Johor Malaysia. Selain itu, sudah sama-sama diketahui bahwa musik Gamat adalah musik akulturasi, ia lahir karena perbauran antara budaya pribumi (lokal) dengan budaya asing. Dalam musik akulturasi terjadi pinjam-meminjam unsur, termasuk meminjam nama dari musik itu sendiri. Adalah sesuatu yang logis bahwa pemberian nama terhadap suatu barang, biasanya setelah barang itu ada. Artinya nama sesuatu muncul setelah barangnya ada. Ide pemberian nama tentang sesuatu itu biasanya dihubungkan dengan kejadian sesuatu itu. Misalnya nama musik Tarling di Cirebon. Kata ini dipakai untuk nama jenis musik itu karena dalam musik tersebut peran gitar dan suling sangat dominan, sehingga masyarakat menamainya Tar-Ling (gitar dan suling). Begitu juga dengan penamaan musik Kroncong, yang diambil dari terjemahan bunyi (onomatophea) dari ukulele, (semacam gitar kecil) yang bila dimainkan menghasilkan bunyi crong, crong, kemudian musik tersebut dinamakan Kroncong.

Rujukan

sunting

M. Thaib, St. Pamoentjak, 1935. Kamoes Bahasa Minangkabau – Bahasa Melayoe Riau. Departemen Van Onerwijs En Eredienst, Batavia.

Navarrus, tanggal 7 Desember 2008 (http://mforum.cari.com.)

Rizaldi, 1994. “Musik Gamat di Kotamadya Padang: Sebuah Bentuk Akulturasi Anatara Budaya Pribumi dan Budaya Barat”, (Tesis Pasca Sarjana Universitas Gadjah Mada Yogyakaarta tahun 1994).

Wan Abdul Kadir, 1998. Budaya Popular Dalam Masyarakat Melayu Bandaran. Dewan Bahasa dan Pustaka Kementerian Pendidikan Malaysia, Kuala Lumpur

Pranala luar

sunting